Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia, yakni 22,6% dari total luas hutan mangrove yang ada. Hutan ini tumbuh dan berkembang di zona peralihan antara daratan dan lautan. Keberadaannya secara ekologis menuntut adanya peran berbagai pihak dalam pengelolaannya mengingat banyaknya manfaat yang diberikan bagi lingkungan.

Undang-Undang Kehutanan memberikan wewenang kepada Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) untuk menguasai dan mengelola hutan negara, termasuk di dalamnya hutan mangrove.

Selanjutnya, pelaksanaan dan pengelolaan hutan negara harus berpedoman kuat pada rencana tata ruang wilayah yang telah diatur dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UU PR). Oleh karenanya, fungsi kawasan hutan mangrove nantinya akan termuat dalam alokasi ruang yang telah di tetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). UU PR sendiri dalam pelaksanaannya memisahkan pengaturan ruang laut dan udara dalam UU yang berbeda.

Berdasarkan ketentuan tersebut, dibentuklah UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP3K). Ruang lingkup pengaturannya meliputi daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, dengan pembagian ke arah darat yang mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis pantai. Wilayah pengaturan UU PWP3K tersebut merupakan tempat tumbuh dan berkembangnya hutan mangrove.

Kedua UU tersebut menunjukkan adanya pengaturan ruang darat dan ruang laut yang berbeda. Secara normatif keduanya seharusnya disusun secara terpadu untuk dapat saling bersinergi. Sebagai contoh, PWP3K mengamanatkan pengelolaan kawasan konservasi WP3K berada dalam wewenang Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan diatur lebih lanjut dalam peraturan Menteri. Tetapi dalam pelaksanaannya masih ditemukan beberapa kawasan konservasi di perairan yang juga masuk dalam wewenang KLHK yang pengaturan pemanfaatannya mengikuti RTRW (Gambar 1).

Pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus di kawasan konservasi Taman Nasional Komodo menjadi salah satu contoh belum adanya perpaduan yang selaras antara rencana pemerintah dalam RTRW dan RZWP3K. Hal ini mempengaruhi mekanisme perizinan pengelolaan di Kawasan tersebut yang nantinya dikhawatirkan akan mengganggu ekosistem mangrove.

Gambar 1. Alokasi Ruang di sekitar perairan Pulau Komodo

Note: Dalam peraturan RZWP3K (Peta A) menunjukan perairan laut sekitar Pulau Komodo dan Pulau Rinca masuk dalam kawasan konservasi, sedangkan pada Peta B wilayah perairan laut tersebut juga diatur dalam peraturan berbeda yaitu RTRW sebagai kawasan lindung.

Secara substansi, RTRW dan RZWP3K berisi muatan yang berbeda. Merujuk pada UU PR, alokasi ruang RTRW dibagi menjadi 2, yaitu kawasan lindung dan kawasan budidaya. RTRW membagi dengan jelas ruang pemanfaatan dan ruang perlindungan ke dalam kawasan yang berbeda sehingga memudahkan proses evaluasi dan monitoring. Sedangkan RZWP3K dalam UU PWP3K menetapkan alokasi ruang laut ke dalam 4 kawasan, yaitu kawasan pemanfaatan umum, kawasan konservasi, kawasan strategis nasional tertentu, dan kawasan alur laut yang selanjutnya diatur lebih detail dalam beberapa zonasi. Ruang pemanfaatan dan budidaya dalam RZWP3K tidak berdiri sendiri layaknya kawasan budidaya dalam RTRW, tetapi terbagi ke beberapa zonasi dalam kawasan yang ada. Sebagai contoh, zona pemanfaatan, zona perikanan berkelanjutan, dan zona lainnya berada dalam kawasan konservasi. Hal ini kemudian menjadi tantangan dalam proses penyelarasan antara RTRW dan RZWP3K.

Saat ini, pemerintah telah menyediakan terobosan baru dalam integrasi dan penyederhanaan produk rencana tata ruang melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang dalam Pasal 6, 13, dan 14.

Peran Kelembagaan dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove

Peran dan wewenang lembaga pemerintah yang jelas dalam pengaturan tata ruang memberikan kontribusi besar untuk terciptanya harmonisasi antara RTRW dan RZWP3K. Sebagai institusi utama yang berwewenang dalam pengelolaan mangrove di Indonesia, kebijakan yang diterbitkan oleh KLHK dan KKP harus saling bersinergi. Peran masing-masing institusi tergambarkan dari kebijakan yang dihasilkan seperti Permen KP yang mengatur tata cara rehabilitasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan Permen LHK yang mengatur tata cara teknis dalam pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan. Fungsi pengawasan dan pengendalian sepenuhnya berada dalam wewenang KKP karena ekosistem mangrove merupakan bagian dari wilayah pesisir. Sementara itu dalam pelaksanaan rehabilitasi tetap berpedoman pada tata cara teknis yang dikeluarkan oleh KLHK mengingat mangrove sebagai bagian dari hutan yang pengusaannya berada dalam wewenang KLHK.

Memadukan Perencanaan Tata Ruang untuk Pengelolaan Mangrove yang Berkelanjutan

Sinkronisasi kebijakan pengaturan darat dan laut dalam penetapan kawasan pengelolaan mangrove sangatlah penting karena dapat mempengaruhi kelestarian dan keberlanjutan ekosistem tersebut. Adanya kepastian dan kejelasan ruang pemanfaatan dalam kawasan hutan mangrove tidak hanya dapat menjaga dan melindungi fungsi ekologis ekosistem mangrove, tetapi juga dapat menjaga dan melindungi produktivitas masyarakat.

Penyelenggaraan penataan ruang merupakan bagian yang esensial untuk mewujudkan wilayah yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. Oleh sebab itu, penyelarasan dan integrasi diperlukan dalam setiap perencanaan pola ruang baik di ruang darat maupun laut oleh instansi terkait agar tercapai pengelolaan mangrove secara berkelanjutan dan terpadu. Transparansi dan keterlibatan masyarakat secara aktif dalam pembentukan tata ruang dan kawasan juga diperlukan untuk menjamin efektivitas dan implementasi dari rencana tata ruang tersebut.