Edisi Ketujuh ini menyajikan 5 Wilayah Teratas untuk Dipantau, yang terindikasi mengalami penebangan hutan ilegal selama periode 1 Juli – 30 September 2019.

#1 Indikasi Penebangan Pohon Ilegal seluas 480,96 Ha

Wilayah terindikasi pertama (#1) seluas 480,96 ha berada di Desa Asemi Nunulai, Kecamatan Asera, Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Indikasi penebangan pohon ilegal ini terjadi di kawasan hutan lindung dengan tutupan hutan lahan kering primer, dalam wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Unit XX Laiwoi Tengah.

Dari pengamatan citra satelit resolusi tinggi, penebangan pohon diduga dilakukan secara tebang pilih dan dimulai sekitar pertengahan bulan Mei hingga awal Juli 2019. Blok-blok penebangan berukuran kecil terlihat menyebar mengikuti alur perbukitan dan di sepanjang jalan yang terhubung ke sungai. Jalan dan sungai tersebut diduga sebagai jalan akses untuk penebangan pohon dan/atau mengangkut kayu tebangan.

Penebangan pohon ilegal dalam kawasan hutan lindung di Kabupaten Konawe Utara telah diberitakan sejak tahun 2017.

#2 Indikasi Penebangan Hutan Ilegal seluas 349,83 Ha

Wilayah terindikasi kedua (#2) berada di Desa Persiapan Rababaka, Kecamatan Woja, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat. Indikasi penebangan hutan seluas 349,83 ha ini berada dalam kawasan hutan lindung KPHL Unit XIX NTB dan berdekatan dengan wilayah konsesi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu – Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI).

Hasil pengamatan citra satelit resolusi tinggi menunjukkan kehilangan tutupan hutan terjadi secara bertahap dalam blok-blok luasan kecil. Kehilangan tutupan hutan paling banyak ditemukan di daerah barat dan selatan wilayah terindikasi. Tanda bekas terbakar setelah penebangan banyak terlihat di beberapa tempat wilayah terindikasi, tetapi faktor pendorong kehilangan tutupan hutan belum dapat diidentifikasi karena belum tampak pemanfaatan di area bekas tebangan.

Diberitakan pada April 2019, Kepala Balai Kesatuan Pengelola Hutan Ampang Riwo Soromandi Provinsi Nusa Tenggara Barat menyatakan sebagian besar kerusakan hutan di wilayah kerjanya terjadi di Kabupaten Dompu. Walaupun lokasi pemberitaan tersebut berbeda dengan wilayah terindikasi #2, hal ini menunjukkan bahwa penebangan hutan ilegal merupakan masalah kronis di Kabupaten Dompu, NTB.

#3 Indikasi Penebangan Pohon Ilegal seluas 231,21 Ha

Penebangan pohon ilegal terindikasi #3 terjadi di Desa Walatana, Kecamatan Dolo Selatan, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah seluas 231,21 ha. Wilayah terindikasi (#3) ini terjadi dalam kawasan hutan lindung, KPHL Unit VII Banawa Lalundu dan Unit VIII Kulawi. Penebangan pohon diduga dilakukan secara tebang pilih dalam blok-blok tebangan kecil yang tersebar mengikuti alur perbukitan. Blok-blok tebangan terhubung dengan aliran sungai di bagian lembah bukit, yang diduga menjadi area pengangkutan kayu tebangan. Dari pengamatan citra satelit resolusi tinggi, terlihat penebangan pohon sudah dilakukan sejak setahun yang lalu dan berlanjut hingga periode ini.

Aktivitas penebangan liar di Kabupaten Sigi diduga merupakan penyebab utama banjir pada April 2019 yang menjadikan Desa Walatana sebagai salah satu wilayah tedampak. Temuan Walhi Sulawesi Tengah juga mempertegas bahwa banjir bandang yang terjadi tahun lalu merupakan akibat aktivitas penebangan pohon ilegal di sekitar desa terdampak.

#4 Indikasi Penebangan Hutan Ilegal seluas 205,38 Ha

Desa Cantung Kiri Hulu kembali muncul dalam Pantau Jejak edisi ini setelah sebelumnya muncul dalam edisi keenam. Desa isi berlokasi di Kabupaten Kota Baru, Kalimantan Selatan. Penebangan hutan seluas 205,38 ha berada dalam kawasan hutan produksi dan berbatasan langsung dengan kawasan hutan lindung. Sebagian wilayah terindikasi keempat ini (#4) masuk dalam wilayah pengelolaan KPHP Unit VI Kusan, Kalimantan Selatan.

Jika dilihat dari pola penebangan yang teratur membentuk blok-blok ukuran besar dan terhubung dengan jaringan jalan, lahan ini umumnya akan dijadikan perkebunan, walaupun sampai akhir periode pengamatan belum terlihat kegiatan penanaman.

#5 Indikasi Penebangan Hutan Ilegal seluas 105,12 Ha

Wilayah terindikasi kelima (#5) berada di Desa Cantung Kiri Hulu, Kecamatan Hampang, Kabupaten Kota Baru, Kalimantan Selatan, dan terletak di sebelah barat daya wilayah terindikasi #4. Penebangan hutan seluas 105,12 ha ini berada di kawasan hutan produksi. Pola penebangan hutan dilakukan dalam blok-blok besar yang teratur dan terhubung dengan jaringan jalan, serta mulai dilakukan dalam kurun waktu antara bulan Mei dan Juli 2019. Belum terlihat adanya penanaman diatas lahan yang dibuka, sehingga tidak diketahui penyebab pembukaan lahan tersebut.

Penebangan hutan ini terhubung dengan lahan terbuka di bagian selatan yang telah ada sebelum periode pengamatan ini. Wilayah terindikasi #5 ini berbatasan langsung dengan konsesi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu – Hutan Alam (IUPHHK-HA) di bagian timur laut. Di dalam wilayah konsesi tersebut, terlihat adanya kebun sawit dengan luasan yang besar.

Langkah Selanjutnya

Daftar Kelima Wilayah Teratas tersebut masih berupa indikasi yang merupakan hasil analisis menggunakan sejumlah instrumen yakni GLAD Alert, Peta Status Kawasan Hutan, dan Peta Tutupan/Penggunaan Lahan. Namun demikian, hasil analisis ini dapat menjadi petunjuk dalam menentukan wilayah hutan prioritas untuk dipantau dari ancaman penebangan ilegal. Berikut ini langkah-langkah yang perlu ditempuh sesegera mungkin.

1. Verifikasi Lapangan dan Tindakan untuk Mencegah Perluasan Kegiatan Penebangan Hutan Ilegal di Kelima Wilayah Terindikasi.

Kelima Wilayah Terindikasi menunjukkan bahwa penebangan hutan merupakan lanjutan/ perluasan dari aktivitas yang telah ada sebelumnya, bukan penebangan hutan yang dilakukan untuk pertama kali. Hal ini menandakan bahwa Kelima Wilayah Terindikasi tersebut memerlukan perhatian khusus untuk mencegah meluasnya penebangan ilegal ke areal hutan di sekitarnya.

Selain itu, kelima Wilayah Terindikasi juga menunjukkan gentingnya aspek mitigasi dampak kerusakan lingkungan, khususnya pada area yang berada di kawasan hutan lindung dan telah berkontribusi pada meningkatnya bencana lingkungan hidup.

Oleh karena itu, institusi yang berwenang dalam perlindungan kawasan hutan di Kelima Wilayah Terindikasi, seperti unit pengelola KPH terkait, Ditjen Gakkum KLHK, Dinas Kehutanan Provinsi setempat, dan kepolisian setempat, perlu secara kolaboratif segera melakukan verifikasi lapangan dan tindakan pencegahan terhadap perluasan penebangan dan pemanfaatan kawasan hutan secara ilegal.

Urun daya masyarakat setempat dengan memberikan informasi dari lapangan juga dapat mempercepat proses verifikasi tersebut. Jika verifikasi lapangan tidak dilakukan dengan segera, penebangan hutan ilegal akan semakin masif dan dampak negatif kerusakan lingkungan tidak dapat terelakkan. Semakin luas kawasan hutan yang dibuka dan dimanfaatkan untuk kegiatan non-kehutanan, upaya penanggulangan dan pemulihan akan semakin sulit dilakukan.

Wilayah Terindikasi Keempat (#4) dan Kelima (#5) perlu menjadi fokus perhatian karena berada di lokasi yang berdekatan. Selain itu, Wilayah Terindikasi #4 telah muncul di Pantau Jejak Edisi Keenam dan juga berbatasan langsung dengan kawasan hutan lindung.

2. Setelah Verifikasi Lapangan Dilakukan, Upaya Penanganan Harus Mempertimbangkan Aspek Sosial-Ekonomi Masyarakat Setempat.

Indikasi penebangan hutan di Kelima Wilayah Terindikasi tersebut sarat dengan kegiatan ekonomi masyarakat berskala kecil. Oleh karena itu, setelah verifikasi dilakukan, upaya penanganan perlu mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi masyarakat setempat. Mekanisme penanganan yang dilakukan sebaiknya memuat skema penyelesaian konflik, melihat potensi perhutanan sosial, reforma agraria, dan penanganan hukum yang logis dan adil. Tidak hanya itu, penelusuran pelaku juga perlu dilakukan sampai kepada dalang (pelaku intelektual) dan penerima manfaat dari perambahan hutan yang mengambil keuntungan dari kegiatan penebangan hutan secara ilegal tersebut.


Catatan Kaki:

Pantau Jejak dikembangkan dengan modifikasi minor dari metodologi Places to Watch untuk mengidentifikasi area yang terindikasi mengalami penebangan hutan secara ilegal. Penebangan hutan secara ilegal melingkupi penebangan dalam kawasan hutan tanpa izin yang sah dan penebangan dengan izin yang sah namun tidak sesuai dengan ketentuan dalam izin sebagaimana diatur dalam UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Namun demikian, karena keterbatasan data, Pantau Jejak saat ini baru merepresentasikan lingkup yang pertama.

Metodologi Pantau Jejak, seperti metodologi Places to Watch, mengidentifikasi area dengan jumlah peringatan GLAD tertinggi yang terdeteksi1. Peringatan GLAD adalah peringatan kehilangan tutupan pohon mingguan. Modifikasi yang dilakukan di metodologi Pantau Jejak, dibandingkan dengan Places to Watch adalah sebagai berikut:

Kami menggunakan ukuran sel grid 5x5 km, dan bukan ukuran 10x10 km seperti di Places to Watch, karena kemampuan data lebih baik di dalam sel grid 5x5km untuk menangkap penyebab kehilangan tutupan hutan secara individual. Kami memotong area fokus yang terkait dengan penebangan hutan ilegal dalam kawasan hutan tanpa izin yang sah, atau dengan izin sah namun tidak sesuai dengan ketentuan, menggunakan lapisan di bawah ini:

1. Tutupan hutan terdiri dari hutan primer dan sekunder dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Tutupan hutan diekstrak dari data tutupan lahan yang diproduksi oleh KLHK, mengambil kelas tutupan hutan primer dan sekunder, dan mengeluarkan hutan tanaman industri. Kami melakukan tumpang susun peringatan GLAD dengan tutupan hutan untuk mengidentifikasi pembukaan di area dengan tutupan hutan secara biofisik, terlepas dari status hukum hutan tersebut. Sumber: http://geoportal.menlhk.go.id/arcgis/rest/services/KLHK diakses pada Oktober 2018.

2. Kawasan hutan menunjukkan status legal Kawasan hutan yang ditunjuk oleh kementerian terkait. Kami menggunakan data ini untuk mengidentifikasi indikasi pembukaan illegal di dalam Kawasan hutan. Sumber http://geoportal.menlhk.go.id/arcgis/rest/services/KLHK diakses pada Juli 2019. Kawasan hutan adalah areal yang ditetapkan oleh Pemerintah, yaitu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sebagai hutan tetap sehingga tidak boleh digunakan untuk kegiatan non-kehutanan. Kawasan ini dibagi menjadi tiga fungsi utama, yaitu konservasi (untuk pemeliharaan dan perlindungan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya), lindung (untuk perlindungan sistem penyangga kehidupan seperti air, mitigasi bencana dll), serta produksi (untuk memproduksi hasil hutan). Kawasan konservasi dan lindung pada dasarnya tidak boleh dimanfaatkan kayunya, sementara di kawasan hutan produksi, pemanfaatan kayu dapat diizinkan dengan penghutanan kembali. Kawasan hutan produksi dibagi menjadi tiga, yaitu kawasan hutan produksi terbatas, produksi tetap, dan produksi yang dapat dikonversi. Ketiga jenis kawasan hutan produksi ini memiliki kriteria yang berbeda dan secara berurutan memiliki gradasi dari yang paling terbatas lingkup pemanfaatannya sampai ke yang paling luas. Kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi merupakan kawasan hutan yang dapat dimanfaatkan secara luas, misalnya untuk areal pencadangan pengembangan kegiatan non-kehutanan, seperti transmigrasi, pemukiman, pertanian, dan perkebunan. Sedangkan untuk pengembangan non-kehutanan perlu melalui prosedur pelepasan kawasan hutan.

3. Izin konsesi. Data ini menunjukkan izin untuk berbagai konsesi termasuk izin tebang pilih atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA), Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman Industri (HTI), Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman Rakyat (HTR), hutan desa, Hutan Kemasyarakatan (HKm), perhutanan sosial, dan izin pinjam pakai kawasan hutan. Berdasarkan peraturan, pembukaan di dalam konsesi tersebut dapat dilakukan, sehingga kami menggunakan lapisan ini untuk mengeluarkan pembukaan hutan yang legal. Sumber: http://geoportal.menlhk.go.id/arcgis/rest/services/KLHK diakses pada Juli 2019.

Kemudian, kami melakukan tumpang susun peringatan GLAD dengan area fokus, dan sel 5x5km. Skor untuk setiap sel grid dihitung dengan melihat jumlah peringatan GLAD terhadap proporsi area fokus di setiap grid 5 km. Lalu, kami memilih 10 area teratas untuk diverifikasi lebih lanjut dengan citra satelit resolusi tinggi. Kemudian, kami menggunakan metode Queen's Case Neighborhood untuk mendeteksi lokasi 10 area teratas dengan mengidentifikasi lokasi yang memiliki sel saling berdempetan secara diagonal dan tegak lurus yang juga terdeteksi adanya peringatan GLAD dalam jumlah besar. Metode ini mengelompokkan sel 5x5km yang berdempetan ke dalam satu grup sel yang berdekatan. Seluruh area tersebut kemungkinan merepresentasikan penyebab kehilangan tutupan hutan spesifik yang serupa (misal karena kegiatan pertambangan, atau pembukaan untuk perkebunan). Setelah diverifikasi dengan citra satelit resolusi tinggi dan diidentifikasi penyebab kehilangan tutupan hutan, kami memilih lima area teratas untuk ditampilkan dalam blog ini.

Setelah itu, kami melakukan verifikasi awal melalui studi literatur yang bertujuan untuk memberikan informasi tambahan dari data sekunder bagaimana perkembangan isu penebangan hutan ilegal di lima area teratas yang ditampilkan. Data sekunder dimaksud tentunya tidak dapat diartikan sebagai verifikasi final terhadap indikasi tersebut, tetapi dapat menjadi petunjuk awal untuk verifikasi lebih lanjut.


  1. Peringatan GLAD dari University of Maryland via Global Forest Watch. Peringatan GLAD menunjukkan kehilangan tutupan pohon mingguan berdasarkan piksel ukuran 30x30 meter, yang dianalisis dari citra satelit Landsat. Setiap peringatan GLAD mewakili piksel 30x30m dengan estimasi kehilangan kanopi 50% atau lebih pada area 0.01 hektar, seperti pada artikel ini↩︎