This article is currently only available in Indonesian.

Artikel ini sebelumnya diterbitkan di Harian Kompas pada 10 November 2024.


Anggaran Program Makan Bergizi Gratis (MBG) telah ditetapkan sebesar Rp 71 triliun melalui RUU APBN 2025. Anggaran ini meliputi biaya penyediaan makanan, distribusi (safeguarding), dan operasional lembaga yang menangani program MBG. Program ini diharapkan memberikan beberapa dampak positif bagi peningkatan asupan nutrisi siswa dan mendorong mereka untuk belajar lebih berkualitas, mengurangi angka absensi, dan meningkatkan prestasi para peserta didik.

Dalam waktu yang berdekatan dengan penetapan anggaran MBG tersebut, Presiden juga menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2024 tentang Percepatan Penganekaragaman Pangan Berbasis Potensi Sumber Daya Lokal untuk mendukung pengembangan potensi sumber pangan sesuai dengan kearifan lokal yang ada di daerah masing-masing serta peningkatan konsumsi pangan lokal. Hal ini dapat berjalan beriringan dengan implementasi program MBG yang juga mendorong pemanfaatan pangan lokal.

Dengan 15 persen kabupaten/kota di Indonesia berpenduduk miskin paling tinggi, dan banyak provinsi dengan prevalensi tengkes (stunting) di atas rata-rata nasional 21,6 persen, maka prioritas program MBG kemungkinan besar akan lebih banyak di wilayah luar pulau Jawa, terutama wilayah timur Indonesia dan beberapa provinsi di Sumatra. Karena itu, sangat krusial bagi program MBG untuk mengoptimalkan penggunaan pangan lokal yang sejalan dengan implementasi Perpres No 81/2024.

Selain untuk memenuhi asupan nutrisi dari anak-anak usia sekolah, penggunaan pangan lokal berpotensi menjadikan program ini lebih berkelanjutan karena bisa meminimalisir buangan karbon dari logistik, memotong rantai distribusi yang panjang, meningkatkan penyerapan tenaga kerja lokal, dan mendorong pertumbuhan ekonomi lokal.

Grafik Angka Penduduk Miskin di Indonesia



Untuk optimalisasi penggunaan pangan lokal dalam program MBG ada beberapa hal krusial yang perlu dilakukan. Pertama, perlu dilakukan pemetaan terhadap potensi pangan lokal, terutama di wilayah implementasi awal program MBG. Sampai saat ini yang paling sulit adalah memetakan, mendokumentasikan, dan menghitung ketersediaan pangan lokal di sejumlah daerah di Indonesia.

Tanpa ketersediaan data yang memadai, tentu akan sangat sulit untuk menentukan jenis pangan lokal yang dapat dipergunakan dalam menu makanan program MBG. Pemetaan pangan lokal ini perlu mencakup pangan yang berasal dari produk pertanian, pangan dari laut dan air tawar, dan sumber daging hewani yang ada di daerah masing-masing.

Upaya-upaya memetakan pangan lokal ini sudah diinisiasi oleh sejumlah pihak secara mandiri, salah satunya adalah melalui situs Nusantara Food Diversity. Situs ini mengajak individu dan komunitas untuk memetakan pangan lokal di sekitarnya berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki. Namun, tentu diperlukan upaya lanjutan untuk mengakselerasi berbagai pemetaan yang dilakukan para penggiat pangan lokal.

Upaya tersebut dapat dilakukan salah satunya dengan membuat produk turunan dari Perpres No 81/2024 agar setiap wilayah melaksanakan pemetaan potensi pangan lokal melalui kerja sama antara pemerintah daerah, akademisi, dan para penggiat pangan lokal yang telah terlebih dahulu melakukan pemetaan awal. Hal ini tentu untuk mempercepat pemetaan di berbagai wilayah, tetapi dengan dukungan anggaran dari pemerintah pusat ataupun daerah.

Kedua, pemetaan terhadap kebutuhan nutrisi siswa di tiap wilayah yang berbeda juga perlu dilakukan. Salah satu pemetaan penting telah dilakukan oleh SEAMEO REFCON, yang diterbitkan dalam dokumen Panduan Gizi Seimbang Berbasis Pangan Lokal bagi 50 Kabupaten Prioritas Stunting di Indonesia.

Menariknya, studi tersebut kemudian disandingkan dengan ketersediaan sumber pangan lokal yang ada. Jadi, setelah pemetaan, diperlukan analisis kebutuhan nutrisi siswa di wilayah-wilayah yang menjadi prioritas awal implementasi program MBG.

Ketiga, pengaturan menu yang perlu disesuaikan dengan anggaran, kebutuhan gizi, dan ketersediaan pangan lokal. Penyusunan menu sebaiknya melibatkan pakar kesehatan dan gizi, serta disesuaikan dengan usia, porsi yang dibutuhkan, dan kearifan lokal setiap daerah. Pengaturan menu yang berbasis pangan lokal ini juga dapat menguatkan ekonomi sirkuler dan menyediakan lapangan pekerjaan di setiap wilayah implementasi program MBG.

Selain itu, pengaturan menu sangat diperlukan untuk meminimalkan makanan yang terbuang karena porsi yang terlalu besar atau rendahnya preferensi anak-anak untuk memakan makanan yang sehat (McKelvie-Sebileau, et al). Perlu diingat, rata-rata angka susut dan sisa pangan per kapita di Indonesia mencapai 115-184 kilogram per tahun. Kita tentu tidak ingin program MBG menambah angka ini.

Keempat, memastikan keamanan pangan dan kesesuaian pangan yang diberikan kepada para siswa. Pemerintah merencanakan dapur bagi program MBG ini adalah UMKM. Karena itu, para UMKM yang terlibat dalam program ini perlu mendapatkan pelatihan dan pendampingan terkait dengan standar keamanan pangan.

Beberapa contoh masalah keamanan pangan yang perlu diperhatikan, antara lain, ialah pencemaran makanan dari bahan kimia berbahaya, kuman dari bakteri dan parasit, serta bahaya fisik, seperti kemasan makanan yang tidak aman bagi anak-anak.

Kesesuaian pangan termasuk di dalamnya adalah memastikan makanan yang disiapkan sesuai dengan konteks. Misalnya, memastikan kehalalan makanan bagi siswa beragama Muslim, tidak menggunakan sapi untuk siswa beragama Hindu, atau memastikan anak-anak berkebutuhan khusus memiliki makanan yang sesuai dengan kebutuhan mereka.

Kelima, tentu saja sosialisasi dan kampanye untuk kembali mengonsumsi pangan lokal yang sehat dan beragam. Secara umum sudah terjadi transisi pola makan di dunia saat ini yang lebih banyak mengonsumsi produk ultra processed food (UPF) dan pangan tinggi gula dan lemak. Di Indonesia, transisi pola makan juga terjadi, baik di Jawa maupun Papua, yang secara umum memperlihatkan penurunan konsumsi pangan lokal dari masyarakat di kedua wilayah tersebut.

Keenam, dukungan terhadap kesiapan penyedia hasil produksi pertanian, perikanan, dan peternakan lokal agar siap memenuhi permintaan untuk memasok program MBG. Hal ini termasuk penyiapan stok produksi, mengatur tata cara pemesanan, proses logistik, serta tata cara pembayaran yang diintegrasikan dalam rencana strategis ketersediaan pangan.

Langkah-langkah di atas dapat mendukung terlaksananya program MBG yang tidak hanya aman dan bergizi, tetapi juga rendah emisi dan dapat meningkatkan perekonomian setempat. Penggunaan pangan lokal akan memastikan kualitas pangan yang dikonsumsi, meminimalkan beban emisi karbon dari proses logistik, mengurangi susut dan sisa pangan, meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah, serta meningkatnya penyerapan tenaga kerja lokal.