Saat ini tulisan hanya tersedia dalam bahasa Indonesia

Dalam dua bulan pertama tahun ini, ada 513 kejadian bencana (banjir, longsor, puting beliung, kebakaran hutan, dan lainnya di Indonesia yang menyebabkan 72 orang tewas dan hilang. Kerugiannya diperkirakan mencapai puluhan triliun rupiah karena rusaknya rumah, jalan, dan gedung-gedung layanan publik.

Walau pembangunan infrastruktur di era Presiden Joko Widodo begitu pesat, konteks perubahan iklim menjadi sangat penting diperhatikan. Banjir dan tanah longsor yang terjadi sepanjang tahun lalu memberikan pembelajaran bahwa meniadakan isu perubahan iklim dalam pembangunan nasional dapat menimbulkan kerugian yang lebih besar di masa depan.

Gagasan untuk mengaitkan agenda perubahan iklim dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) sungguh relevan. Sejak konvensi PBB 1992 di Rio de Janeiro yang melahirkan Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC) untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, berbagai negara telah memulai dialog guna menyelaraskan konservasi lingkungan dalam proyek pembangunan global. Lambat atau cepat pemanasan global akan terjadi di bumi ini.

Pada 2015, dua agenda besar ini menjadi semakin kerap diperbincangkan ketika Perjanjian Paris tentang perubahan iklim serta agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan diadopsi oleh sebagian besar negara di dunia.

Dua langkah satu tujuan

Dalam Pertemuan Para Pihak (CoP 23) di Bonn Jerman, November 2017, pemerintah Indonesia mengajukan inisiatif pembangunan rendah karbon pertama sebagai konsep utama dari rencana pembangunan lima tahun nasional di masa depan. Guna mendukung analisis tersebut, World Resources Institute dalam platform Climate Watch menyediakan kajian hubungan antara agenda nasional dalam pembangunan berkelanjutan dan komitmen iklim Indonesia dalam mengurangi emisi gas rumah kaca.

Inisiatif tersebut mendukung komitmen perubahan iklim Indonesia dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC)’ yang memuat target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29% hingga 41% dari skenario business-as-usual pada 2030. Di saat yang sama, 2030 juga menjadi batas akhir bagi Indonesia dalam mencapai target SDGs sebagai kiblat pembangunan ekonomi global.

Presiden Joko Widodo pada Juli tahun lalu menerbitkan Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, yang memuat Rencana Aksi Nasional Sustainable Development Goal (RAN SDGs). Peraturan ini akan menjadi salah satu referensi bagi penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2020-2024) guna terselenggaranya pembangunan ekonomi yang hijau dan rendah karbon.

Lantas, apakah upaya mengintegrasikan dokumen NDC dan RAN SDGs tersebut sudah dilakukan oleh pemerintah dan para pihak?

Tampilan platform Climate Watch tentang keterkaitan antara target SDG dalam dokumen NDC Indonesia. https://www.climatewatchdata.org/provided author

Kajian terbaru World Resources Institute dalam platform daring Climate Watch menemukan keterkaitan antara dokumen NDC Indonesia dengan target SDGs, yang ditandai dengan titik-titik tebal di gambar di atas.

Keterpaduan antara perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan semakin mendesak, mengingat Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dalam laporan terakhirnya menitikberatkan kepada dampak perubahan iklim yang dapat menyebabkan kerugian besar di sektor sosial dan ekonomi. Artinya, isu perubahan iklim tidak bisa lagi dipandang sebagai isu satu atau dua sektor saja, tapi diperlukan upaya untuk mengintegrasikannya ke dalam agenda besar pembangunan nasional.

Analisis Climate Watch menemukan dari 169 target SDGs, terdapat 20 target yang selaras dengan arahan kebijakan yang tertulis dalam teks NDC. Kajian dilakukan dengan menghubungkan target yang linier dengan program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Sebagai contoh, kebijakan pengelolaan hutan lestari dan pengurangan deforestasi yang selaras dengan SDGs 15 yakni meningkatkan pengelolaan hutan secara berkelanjutan, serta target penggunaan energi baru terbarukan sebesar 23% pada 2025 dan 31% pada 2050 yang selaras dengan SDGs 7 yakni meningkatkan pangsa energi terbarukan dalam bauran energi global.

Hal ini menunjukkan adanya potensi kolaborasi antara kedua dokumen tersebut, walau banyak hal lain yang bisa diselaraskan dalam implementasi kedua agenda pembangunan nasional. Misalnya, ada hubungan yang kuat antara kesehatan manusia (SDGs 2) dan iklim. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya jumlah persebaran penyakit malaria yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan meningkatnya temperatur bumi, seperti disebut WHO pada 2015.

Angka ini akan terus bertambah, dan diproyeksikan mencapai 300 juta manusia berpotensi terinfeksi penyakit malaria pada 2070, baik mengikuti model skenario iklim terendah (asumsi kenaikan temperatur 0,4–1,6 derajat Celcius) hingga skenario iklim tertinggi (kenaikan temperatur 1,4–2,6 derajat Celcius).

Hal ini sejalan dengan SDG 3.3 (mengakhiri penyakit malaria) yang diturunkan dalam Sasaran Nasional RPJMN 2015-2019 yang berupaya menekan angka penyebaran penyakit malaria di tingkat kabupaten. Melalui program eliminasi malaria, Kementerian Kesehatan diharapkan dapat meningkatkan kemampuan adaptasi masyarakat terhadap kondisi iklim saat ini.

Hal yang sama terjadi pada isu gender (SDGs 5). Perbedaan akses memperoleh informasi tentang adaptasi perubahan iklim antara laki-laki dan perempuan mempengaruhi perbedaan tingkat kerentanan keduanya. Misalnya, dalam kasus program pemulihan pasca bencana yang berlangsung di Aceh, yang dilatih keterampilan di sektor perikanan adalah laki-laki. Sering kali rehabilitasi seperti ini berfokus pada kepala rumah tangga yang didominasi kaum laki-laki.

Adapun upaya untuk meningkatkan keterampilan perempuan masih berfokus pada hal-hal yang bersifat tradisional seperti pembuatan kue dan menjahit. Akibatnya, perempuan hanya mendapatkan akses yang minim untuk peningkatan kapasitas merespon perubahan iklim. Karena itu, diperlukan adanya kebijakan terkait perubahan iklim yang responsif terhadap isu gender dan mendukung pemberdayaan perempuan untuk lebih adaptif terhadap isu ini (SDGs 5.1).

Sekali dayung, dua tujuan besar terlampaui

Fakta bahwa integrasi NDC dan SDG melibatkan isu multidimensi membuat sinergisitas dan kolaborasi antar lembaga sektoral menjadi penting. Beberapa hal yang menjadi dasar pertimbangan bagi terjalinnya kolaborasi nyata mencakup:

1. Penyelenggaraan program pembangunan berkelanjutan yang kontinu

Berbeda dari kebijakan ekonomi dan infrastruktur yang memperlihatkan hasil dalam waktu relatif singkat, pembangunan sektor lingkungan memerlukan waktu lebih lama untuk menunjukkan manfaat yang signifikan. Hal ini mengakibatkan sulitnya memperoleh akses finansial dan dukungan politik yang stabil terhadap penyelenggaraan kegiatan terkait perubahan iklim.

Kondisi ini berlawanan dengan tuntutan pembangunan berkelanjutan yang membutuhkan adanya sinergisitas antara pengelolaan lingkungan dengan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional. Selain itu, diperlukan juga adanya pertimbangan daya dukung dan tampung (kemampuan menciptakan lingkungan yang kondusif terhadap kelangsungan hidup di dalamnya) dalam pengambilan kebijakan publik. Hal ini akan memberikan manfaat ekonomis serta menjamin ketersediaan sumber daya alam yang lebih baik untuk masa depan.

2. Kerjasama antarsektor

Untuk mengurangi dampak perubahan iklim, diperlukan ketahanan yang kuat dalam menjaga sumber daya alam dan lingkungan dengan mengintegrasikan upaya mitigasi dan adaptasi ke dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Indonesia juga perlu memastikan pembangunan menuju rendah karbon dan berketahanan iklim dapat terlaksana secara konsisten supaya dapat berkontribusi dalam mencapai sasaran SDGs pada 2030.

Target ambisius ini memerlukan dukungan semua pihak untuk tercapainya target penurunan emisi gas rumah kaca dan tujuan pembangunan berkelanjutan dalam sekali dayung. Hal ini membuka peluang yang lebih lebar bagi para pihak untuk membangun kolaborasi di tingkat internasional, nasional sampai tingkat provinsi.

Melalui data dan analisis dari Climate Watch, kami berharap dapat membantu pemerintah dalam menentukan kebijakan yang dapat mencapai SDGs dan NDCs secara bersamaan.