This article is currently only available in Indonesian.

Jakarta, 3 Mei 2024 – Forum Kajian Pembangunan (FKP) berkolaborasi dengan WRI Indonesia dan Koalisi Sistem Pangan Lestari (KSPL) menginisiasi seminar bertajuk “Pertanian Berkelanjutan untuk Ketahanan Sistem Pangan dan Iklim”. Seminar yang berlokasi di kantor WRI Indonesia ini berupaya untuk menjadi wadah bagi peneliti dalam berbagi hasil temuannya kepada publik dan dapat menjadi rekomendasi bagi kebijakan.

Untuk itu, kolaborasi ini mengangkat penelitian terkait penerapan agroekologi dalam pertanian padi. Secara khusus, diskusi ini berangkat dari penelitian yang dilakukan Winda Ika Susanti, Sri Noor Chalidah, dan Prof. Fahmuddin Agus berjudul “Agroecological Nutrient Management Strategy for Attaining Sustainable Rise Self-Sufficiency in Indonesia”. Penelitian ini menjadi penting melihat kondisi pertanian sawah di Indonesia kerap mengalami tantangan dalam menghadapi perubahan iklim dan semakin meningkatnya alih fungsi lahan di Indonesia.  

“Mengingat 98,35% dari masyarakat Indonesia masih bergantung pada beras. Saya pikir tema yang kita usung kali ini sangat penting dan sangat sentral di kehidupan kita sehari-hari mengenai ketahanan pangan... kenapa kita sebut ketahanan pangan, karena ketika terjadi kerawanan, ketika stok menurun ini akan menjadi masalah besar bagi bangsa, jadi krisis bagi kita,” ungkap Tomi Haryadi, Director for the Food, Land, and Water (FLW) Programme di WRI Indonesia.

Seminar yang berlangsung secara hybrid ini dihadiri oleh lebih dari 50 peserta daring dan lebih dari 30 peserta luring. Peserta yang hadir pun berdiskusi langsung setelah paparan materi yang disampaikan oleh Prof. Fahmuddin Agus dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) serta Ratna Rizki Amalia dari Badan Pusat Statistik (BPS). 

Seminar Agroekologi FKP 2
Prof. Fahmuddin Agus memaparkan hasil penelitiannya.
Kredit foto: Diah Pramesti

Prof. Fahmuddin Agus yang juga merupakan Peneliti Senior Ilmu Tanah dari BRIN menyatakan, “agroecological nutrient management berfungsi agar bisa diimplementasikan, contohnya melalui optimalisasi penggunaan pupuk dengan lebih efisien, dan berdampak secara langsung  terhadap lingkungan. Selain itu, contoh lainnya adalah dengan mengurangi ketergantungan terhadap pupuk buatan dengan mendorong penggunaan pupuk organik sebagai fertilizer dan juga diarahkan ke penghematan penggunaan air.”  

Penggunaan pendekatan agroekologi dalam pengelolaan pertanian membuat upaya untuk meningkatkan produktivitas menjadi lebih efisien. Selain menjaga kesehatan tanah, pendekatan ini juga turut meminimalisir pembukaan lahan pertanian baru yang kerap berdampak pada deforestasi.  

Menurut data FAO (2019), pertanian berkontribusi pada 31% dari total emisi gas rumah kaca. Deforestasi menjadi penyumbang terbesar di sektor pertanian yang mencapai 3.058 Mt CO2. “Pendekatannya [agroekologi] di sini untuk meningkatkan produktivitas dengan mempertahankan sawah yang ada, jangan dikonversi lagi. Karena mencetak yang baru itu lebih banyak tantangannya, dari kesuburannya dan sebagainya, ketersediaan air juga tidak mudah,” ungkap Fahmuddin Agus. 

Seminar Agroekologi FKP 3
Prof. Fahmuddin Agus dalam sesi tanya jawab pada seminar kali ini.
Kredit foto: Diah Pramesti

Pada periode 2007-2010, telah terjadi konversi lahan sawah mencapai 600.000 ha di Pulau Jawa. Untuk mengganti penyusutan itu, pemerintah pun membuka lahan sawah baru di luar Pulau Jawa. Namun, aktivitas ini justru menuai masalah baru, sebab tidak semua lahan di wilayah luar Pulau Jawa sesuai untuk budidaya padi. Di samping itu, ada kesenjangan yang muncul dari pertanian sawah di Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa. “Jadi ketimpangan produktivitas sawah yang terjadi antara Jawa dan luar Jawa ini masih cukup signifikan, sekitar 32%,” jelas Ratna Rizki Amalia yang melakukan riset tentang “Analisis Kesenjangan Produktivitas Padi di Jawa dan Luar Jawa”. Menurutnya, kesenjangan ini juga dapat dipersempit dengan meningkatkan akses terhadap irigasi hingga peningkatan keanggotaan dalam kelompok tani.

Seminar Agroekologi FKP 4
Ratna Amalia memaparkan beberapa temuannya terkait kesenjangan pertanian sawah.
Kredit foto: Diah Pramesti

Analisis yang dilakukan Ratna bersama koleganya juga menemukan adanya penurunan keanggotaan dalam kelompok tani. Menurut Ratna, “yang sekarang jadi isu juga banyak petani yang sudah menua, ketika generasi muda sudah enggan bertani. Mungkin dari sisi pemerintah bisa turun tangan dengan memberikan insentif kepada generasi muda yang mau terjun untuk mengolah lahan pertanian dan menjaga tanah pertaniannya.”

Swasembada beras di Indonesia bisa saja tercapai ketika lahan sawah terlindungi dari konversi dan dikelola dengan pendekatan yang lebih berkelanjutan. Agroekologi pun menawarkan sistem yang lebih ramah lingkungan melalui pengelolaan unsur hara dan kesehatan tanah dengan memanfaatkan sumber-sumber lokal. “Selain memenuhi kebutuhan pangan, penting juga untuk melihat dampaknya pada lingkungan maupun tanah dan air. Jadi memang cara mencapainya harus baik dengan tujuan yang baik agar lebih berkelanjutan,” ucap Sri Noor Chalidah, Management Support & Engagement Lead di KSPL sekaligus Food System Specialist di WRI Indonesia.  


WRI Indonesia dan KSPL akan kembali berkolaborasi dengan Forum Kebijakan Publik pada bulan Juli 2024 mendatang dan mengangkat topik sistem pangan di Indonesia.