This article is currently only available in Indonesian.

Salah satu hal yang menjadi ciri khas dari perkebunan rakyat yang dikelola oleh rumah tangga adalah keterlibatan tenaga kerja perempuan. Keberadaan mereka kerap dijumpai di kebun sawit milik petani swadaya, di mana anggota keluarga, termasuk ibu rumah tangga juga menjalankan peran sebagai pengelola perkebunan kelapa sawit. Beberapa dari mereka bahkan ada yang bekerja di kebun milik orang lain sebagai pekerja harian.

Di usianya yang kini mendekati masa pensiun, Siti Asiah terlihat gesit membantu suaminya, Gluntung, bekerja di salah satu perkebunan kelapa sawit milik salah satu anggota di Koperasi Kusuma Bakti Mandiri (KBM) yang berlokasi di Kabupaten Kampar, Riau. Pasangan suami-istri ini merupakan transmigran dari Kota Medan. “Saya dan suami sudah bekerja di kebun sawit sejak tahun 1990-an, tepatnya sejak dimulainya transmigrasi,” ungkap Sia, sapaan karib dari Siti Asiah.

Selain bekerja di kebun milik orang lain, bersama sang suami, ia juga mengelola kebun pribadi miliknya. Ia mengaku bahwa selama bertahun-tahun, pengetahuannya dalam mengelola perkebunan kelapa sawit diperoleh secara otodidak.

“Meskipun hanya pekerja dan bukan pemilik, sejak bekerja di kebun milik anggota koperasi KBM, saya diperbolehkan untuk mengikuti beberapa pelatihan yang diadakan oleh tim WRI Indonesia. Jadi, banyak pengetahuan baru yang saya dapatkan, terutama terkait sawit berkelanjutan,” imbuhnya.

WRI Indonesia telah bekerja sama dengan Koperasi KBM dalam program pendampingan sertifikasi sawit berkelanjutan RSPO untuk para petani. Adapaun beberapa program pelatihan yang telah diberikan mencakup pemupukan, pemahaman terkait kesehatan dan keselamatan kerja hingga penggunaan alat pelindung diri sebagai upaya mengurangi tingkat kecelakan kerja.

“Pelatihan ini penting untuk diberikan kepada para pekerja yang terjun langsung di lapangan. Oleh karenanya, meskipun bukan pemilik kebun, para pekerja di lingkungan Koperasi KBM juga kami libatkan dalam rangka memenuhi hak-hak pekerja di perkebunan sawit,” ungkap Project Lead Smallholder Hub WRI Indonesia, Ahmad Zuhdi.

Lain halnya dengan Mardiah, yang menceritakan awal mula dirinya menekuni budi daya kelapa sawit bersama dengan suami sejak tahun 2004 silam.

“Sebelumnya kami adalah petani karet, namun karena tanaman karet kami sering gagal panen, akhirnya kami putuskan untuk menggantinya dengan kelapa sawit. Dari awal, kami (saya dan suami) mengelola secara mandiri. Kemudian kami bergabung menjadi anggota Koperasi Unit Desa (KUD) Sawit Jaya. Selain kami bisa berkumpul dengan para petani sawit, kami juga jadi bisa saling cerita terkait suka-duka mengelola kebun sawit masing-masing,” ungkap Mardiah.

Menurutnya, ada banyak pengetahuan baru yang ia dapatkan semenjak bergabung menjadi anggota KUD Sawit Jaya. "Apalagi setelah ada program pendampingan petani untuk sertifikasi RSPO, semula saya tidak tahu kalau mengelola kebun sawit itu ada aturannya, setelah ikut beberapa pelatihan saya jadi paham kalau mengelola kebun tidak bisa asal-asalan, ada kaidah-kaidah keberlanjutan yang harus petani perhatikan sehingga bisa memperoleh sertifikasi keberlanjutan," tambahnya.

Mardiah mencontohkan, awalnya ia sama sekali tidak paham terkait proses pemupukan yang efektif seperti apa, namun setelah mengikuti pelatihan yang diberikan oleh tim pendamping dari ASOFA (Perkumpulan fasilitator pemberdayaan petani di Siak), ia diajari cara berbudi daya sawit yang baik, pemupukan, perawatan hingga memanen TBS (tandan buah segar) secara aman," sambungnya.

Di Kabupaten Siak, ASOFA merupakan mitra dari WRI Indonesia untuk program pendampingan petani. Salah satunya adalah kelompok tani KUD Sawit Jaya, yang juga sudah menerima sertifikat sawit berkelanjutan RSPO. "ASOFA dinilai memiliki kapasitas dalam mengorganisir kelompok tani di Siak, kemudian WRI berkolaborasi untuk pendampingan petani bersama ASOFA," ungkap Project Lead Smallholder Hub WRI Indonesia, Ahmad Zuhdi.

Ada pula kisah Tri Ningsih, Bendahara sekaligus merangkap sebagai K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) di Forum Petani Sawit Swadaya (FPSS) Semarak Mudo, yang merasa diberdayakan melalui ruang lain untuk terlibat dalam pembangunan industri sawit berkelanjutan.

"Bekerja di sektor kelapa sawit bukan berarti semua orang harus bekerja di perkebunan, bisa juga dibagian lain didasarkan pada kebutuhan dan kemampuan. Mungkin di bagian administrasi atau pengelolaan keuangan yang mana kehadiran Perempuan dibutuhkan," terang Neneng, sapaan akrab Tri Ningsih.

Bendahara sekaligus ahli K3 Forum Petani Sawit Swadaya (FPSS) Semarak Mudo, Tri Ningsih. Kredit foto: WRI Indonesia
Bendahara sekaligus ahli K3 Forum Petani Sawit Swadaya (FPSS) Semarak Mudo, Tri Ningsih. Kredit foto: WRI Indonesia

Perempuan yang dulunya sempat bekerja di Rumah Sakit sebagai bidan ini, mendapatkan kepercayaan dari anggota FPSS Semarak Mudo untuk menjadi ahli K3, mulai dari membantu pengurusan BPJS Kesehatan, melakukan cek rutin kesehatan bagi para petani, memastikan ketersediaan kotak P3K sebagai bagian dari pertolongan pertama jika terjadi kecelakaan kerja di setiap kelompok tani, hingga kepatuhan keselamatan pekerja di kebun melalui penggunaan APD (alat pelindung diri).

"Bekerja di manapun sama saja, selagi kita dibutuhkan dan kita mampu, kita bisa terus berkarya dan memberikan kontribusi berdasarkan porsinya masing-masing," pungkasnya.

Pemberdayaan perempuan merupakan bagian integral dalam mendukung pembangunan berkelanjutan petani swadaya di bawah payung Smallholder Hub yang diinisiasi oleh Unilever. “Hal ini selaras dengan komitmen pemerintah untuk mencapai pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan,” ungkap Project Lead Smallholder Empowerment Program WRI Indonesia, Ahmad Zuhdi.

Mendorong pembangunan berkelanjutan melalui pemberdayaan petani sawit swadaya secara inklusif dibutuhkan partisipasi dari berbagai elemen masyarakat, tidak terkecuali peran serta kelompok wanita yang berada di lingkungan perkebunan. Dengan menyediakan ruang kepada perempuan untuk menyelesaikan persoalan diri sendiri khususnya, kemudian mengambil peran untuk menjadi solusi di lingkungan sekitarnya dengan cara menjadikan kehadiran mereka menjadi lebih berdaya, harapan agar wanita dapat memberikan dampak pada pengelolaan sawit berkelanjutan di masa mendatang.