WRI Indonesia dan GAPKI Berikan Pelatihan Pemantauan Lahan dan Penghitungan Emisi Karbon, Ajak Perusahaan Sawit Bersiap Menuju Persaingan Global yang Berkelanjutan
WRI Indonesia berkolaborasi dengan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyelenggarakan kegiatan bertajuk Peningkatan Kapasitas Anggota GAPKI dalam Pemantauan Tutupan Lahan dan Penurunan Emisi Karbon di Jakarta, 13-14 Agustus 2024 lalu. Sebanyak hampir 60 anggota GAPKI datang dari wilayah Sumatera dan Kalimantan untuk mengikuti pelatihan ini.
Supply Chain and Livelihood Transformation Senior Manager WRI Indonesia, Bukti Bagja mengenalkan platform Global Forest Watch dan Global Forest Watch Pro kepada para peserta pelatihan, sebagai salah satu platform yang digunakan untuk menyediakan dan menganalisis data untuk memantau dinamika penutup lahan hutan di seluruh dunia.
“GFW ini near real time, risk trend analysis, yang juga cocok dipakai oleh institusi finanasial seperti bank dan investor. Sudah ada lebih dari 300 akun institusional, 900 pengguna di lebih dari 45 negara, 60 juta hektare areal produksi, dan sekitar 1 miliar hektare sourcing area yang dipantau menggunakan GFW,” tutur Bukti Bagja, Supply Chain and Livelihood Transformation Senior Manager WRI Indonesia.
Penggunaan Global Forest Watch Pro merupakan hal yang baru bagi para peserta pelatihan. Karena itu para peserta terlihat antusias dalam mengenal dan mendalami platform ini. Selain itu pada hari kedua, perserta juga dikenalkan dengan Greenhouse Gas Protocol (GHG-P) dan penghitungan emisi menggunakan kalkulator. Pengenalan GHG-P tersebut bertujuan untuk membangun kapasitas akunting emisi gas rumah kaca untuk industri berbasis lahan.
GHG Protocol sangat penting bagi industri kelapa sawit untuk memenuhi tuntutan transparansi dari pasar global terkait emisi gas rumah kaca. Perusahaan perlu menyediakan data emisi dari pembukaan lahan, pengolahan, dan penggunaan energi, serta menunjukkan upaya pengurangan emisi setiap tahun. Protokol ini membantu perusahaan memantau emisi secara sistematis dan memastikan kepatuhan terhadap target pengurangan emisi yang ditetapkan pemerintah.
Selain itu, GHG Protocol mendukung industri kelapa sawit dalam program perdagangan karbon, meskipun aktivitas perdagangan karbon di Indonesia masih terbatas. Data dari protokol ini bisa menjadi aset berharga bagi perusahaan dalam kepatuhan regulasi dan menarik minat investor yang peduli pada isu keberlanjutan. Laporan GHG juga membantu investor menilai risiko terkait perubahan iklim, seperti potensi gagal panen akibat perubahan cuaca. Dengan demikian, GHG Protocol berperan strategis dalam mengelola risiko lingkungan dan memenuhi ekspektasi pasar global terhadap produksi berkelanjutan.
Pasar global kelapa sawit kini semakin fokus pada perlindungan hutan dan komitmen iklim, terutama dengan diberlakukannya European Union Regulation on Deforestation-free Product (EUDR) yang mengharuskan ketertelusuran dan legalitas rantai pasok, serta bebas dari deforestasi. Sejak Paris Agreement 2015, sektor perkebunan kelapa sawit didorong untuk berkontribusi dalam mencapai emisi nol bersih pada tahun 2050, yang tercermin dalam berbagai sistem sertifikasi seperti ISCC dan ISPO.
Meskipun persyaratan ini menambah tantangan bagi pelaku usaha, mereka juga membuka peluang untuk transformasi industri sawit menjadi lebih berkelanjutan dan tangguh. Perusahaan perlu memiliki kemampuan teknis dalam pemantauan deforestasi dan akuntansi karbon untuk memastikan kepatuhan terhadap peraturan perlindungan lingkungan dan memenuhi ekspektasi pasar.
“Deforestasi adalah isu yang mencuat yang bisa dicermati oleh langit melalui kecanggihan teknologi. World Resources Institute akan memandu kita dalam melakukan pemantauan deforestasi melalui teknologi. Dua isu ini (deforestasi dan perhitungan karbon) adalah keniscayaan yang tidak perlu ditakuti. Yang paling penting adalah memahami dan mengelola sesuai dengan requirement yang ada,” tutup Bambang Dwilaksono, Head of Sustainability GAPKI.