Transformasi Hijau Industri Kelapa Sawit: Menuju Masa Depan Tanpa Emisi
Industri kelapa sawit kini dihadapkan dengan tantangan menuju industri yang lebih berkelanjutan. Seiring dengan meningkatnya urgensi mengatasi perubahan iklim, dekarbonisasi sektor kelapa sawit menjadi langkah krusial untuk membatasi pemanasan global hingga di bawah 1,5°C. Tidak hanya produsen, para pembeli dan investor global juga mulai berkomitmen untuk menekan emisi gas rumah kaca (GRK) dari produk kelapa sawit melalui pengurangan emisi tidak langsung (Scope 3) yang terjadi di sepanjang rantai pasok perusahaan, seperti transportasi, penyuplai, dan pembuangan limbah.
Dalam upaya mengakselerasi dekarbonisasi di industri kelapa sawit, WRI Indonesia dan Carbon Disclosure Project Indonesia (CDP Indonesia)menggelar diskusi panel yang dihadiri oleh perwakilan perusahaan kelapa sawit di tingkat Asia Tenggara. Acara ini berlangsung di Hotel Chatrium Grand Bangkok, Thailand, pada 11 November 2024.
Diskusi tersebut membahas tantangan dan peluang untuk mengurangi emisi GRK dari sektor kelapa sawit di negara-negara penghasil sawit utama seperti Indonesia dan Malaysia. Dari dua negara ini saja, potensi emisi yang dapat dikurangi bisa mencapai 1,99 miliar ton CO2e pada tahun 2030. Potensi-potensi ini akan dapat tercapai melalui upaya seperti pengurangan deforestasi, restorasi lahan gambut, dan peningkatan kapasitas penyerapan karbon. Ini adalah peluang besar bagi industri untuk berkontribusi dalam aksi iklim global, mengurangi dampak lingkungan, dan memperkuat ketahanan terhadap permintaan pasar yang semakin menekankan praktik berkelanjutan.
Sektor kelapa sawit telah mencatat kemajuan dalam mengurangi emisi melalui kebijakan bebas deforestasi dan pengelolaan lahan berkelanjutan. Namun, tantangan utama masih ada pada emisi di sepanjang rantai pasok. Dalam konteks ini, keterlibatan seluruh rantai pasok menjadi penting untuk mencapai dekarbonisasi yang lebih menyeluruh dan signifikan.
Pendekatan Lanskap dan Yurisdiksi (Landscape and Jurisdictional Approach/LJA) menjadi strategi penting dalam mengatasi tantangan keberlanjutan dan mengurangi emisi di industri kelapa sawit. Di Indonesia, LJA mendukung tata kelola lahan yang lebih baik dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan—pemerintah, perusahaan, masyarakat sipil, dan petani—untuk mencapai target dekarbonisasi.
Pendekatan ini mendorong transparansi data, efisiensi sumber daya, dan kolaborasi yang lebih kuat dalam rantai pasok, membantu perusahaan mengurangi risiko lingkungan seperti deforestasi dan memenuhi regulasi internasional.
“Di Asia-Pasifik, pelaporan emisi yang bersumber dari operasional perusahaan (Scope 1) dan penggunaan energi (Scope 2) melampaui rata-rata global, masing-masing sebesar 73% dan 67%. Sementara pelaporan Scope 3, meski tertinggal, mulai meningkat. Emisi Scope 3 berdampak hingga 26 kali lebih besar, melalui pendekatan lanskap yang menghubungkan perusahaan dengan komunitas sekitar. Dengan membangun dan mendorong tujuan dekarbonisasi perusahaan agar lebih keberlanjutan di tingkat regional,” jelas Fachrizal Nasr, Regional Manager, Forests dari CDP Asia Pacific.
Sebagai contoh, beberapa wilayah di Indonesia yang menerapkan LJA telah menunjukkan pengurangan emisi yang signifikan melalui perbaikan pengelolaan lahan gambut, konservasi keanekaragaman hayati, serta pemulihan ekosistem kritis. Kolaborasi antara sektor publik dan swasta dalam pendekatan ini memberikan jaminan akan stabilitas rantai pasok, yang pada gilirannya meningkatkan daya saing produk kelapa sawit di pasar global.
Penghitungan Karbon Merupakan Sebuah Solusi
Untuk mendukung upaya dekarbonisasi, WRI Indonesia sedang mengembangkan sebuah alat untuk menghitung jejak karbon dari perusahaan kelapa sawit. Selain itu, WRI Indonesia juga bekerja sama dengan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) untuk meningkatkan kapasitas industri kelapa sawit melalui berbagai sesi pelatihan perhitungan jejak karbon. Tahun ini, hampir 80 perusahaan telah dilatih untuk memahami dan menerapkan penghitungan karbon yang komprehensif, khususnya dalam pelaporan emisi Scope 3.
“Indonesia telah menetapkan target ambisius untuk mencapai netralitas karbon, dengan industri kelapa sawit memainkan peran penting. Kami ingin menciptakan industri yang lebih berkelanjutan dan tangguh, yang selaras dengan tujuan dekarbonisasi global.” jelas Izzu Prawiranegara, Sustainable Supply Chain Analyst WRI Indonesia.
Inisiatif ini juga membantu perusahaan mempersiapkan diri untuk memenuhi regulasi internasional yang semakin ketat, seperti persyaratan pelaporan keberlanjutan dari Singapore Exchange (SGX), yang akan mencakup emisi Scope 3 pada tahun 2026. Dengan langkah ini, WRI Indonesia selalu berupaya memastikan sektor kelapa sawit tidak hanya mendukung target dekarbonisasi nasional, tetapi juga tetap kompetitif di pasar global yang semakin menuntut keberlanjutan serta membantu perusahaan kelapa sawit menciptakan jalur yang lebih jelas untuk memenuhi target iklim global.