Pembahasan kesiapan Indonesia menghadapi penerapan The New EU Deforestation Regulation (EUDR), kebijakan terkait deforestasi yang diharapkan mampu menjadi solusi permasalahan perubahan iklim, kian santer disuarakan mengingat tenggat waktu yang hanya tinggal hitungan bulan. Bertempat di gedung Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia (DIPI), Jakarta, 14 Maret 2024, World Resources Institute (WRI) Indonesia melalui Policy Accelerator bersama DIPI - LEI (Lembaga Ekolabel Indonesia), kembali menyelenggarakan seri keempat Workshop Peer to Peer Learning, yang juga didukung oleh Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) dan German Agency for International Cooperation (GIZ), bertemakan Kesiapan Indonesia menghadapi EUDR. Lokakarya ini dihadiri oleh para pemangku kepentingan termasuk di dalamnya pemerintah, pengurus asosiasi/ dewan pelaku usaha, ahli, dan praktisi bisnis yang tergabung dalam lima komoditas terdampak yakni kelapa sawit, karet, kakao, kayu, dan kopi. 

Lokakarya ini bertujuan untuk pertama, memfasilitasi pertukaran pengetahuan yang mana memungkinkan para anggota delegasi Joint Task Force (JTF) meeting Indonesia, pengurus asosiasi/ dewan pelaku usaha, ahli dan praktisi bisnis untuk berbagi keahlian teknis dan praktik terbaik. Kedua, menjaring aspirasi inovatif sebagai bentuk kemitraan di antara para anggota delegasi JTF meeting Indonesia, pengurus asosiasi/ dewan pelaku usaha komoditas perkebunan untuk percepatan pembuatan kebijakan melalui wawasan empiris bersama dan keterlibatan yang berkelanjutan. Ketiga, mendukung akselerasi implementasi kebijakan. Usulan dan rekomendasi strategis bagi pelaksana kebijakan untuk mendorong strategi implementasi dan proyeksi waktu pemenuhan standar keberlanjutan dan praktik yang bertanggung jawab.

Staf Ahli Bidang Konektivitas, Pengembangan Jasa dan Sumber Daya Alam Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Dr. Musdhalifah Machmud menyampaikan bahwa sektor perkebunan di Indonesia pada dasarnya senantiasa mengedepankan konsep-konsep pembangunan keberlanjutan. Sebagai contoh, ia mengambil sektor perkebunan kelapa sawit yang telah menerapkan sertifikasi ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) yang di dalamnya juga mencakup komitmen untuk tidak berkontribusi terhadap deforestasi. Namun demikian, ia juga menyatakan bahwa ada kemungkinan sektor perkebunan lain yang belum bisa secara legal dinyatakan bebas dari deforestasi mengingat belum adanya sertifikasi serupa.

“Pada kesempatan kali ini, kami ingin menyampaikan arah kebijakan pemerintah dalam menghadapi persiapan penerapan EUDR melalui perkembangan Dasboard Nasional Informasi Komoditas Berkelanjutan indonesia,” ungkap Musdalifah. Ia juga menggarisbawahi peran penting dalam memperkuat tata kelola komoditas berkelanjutan agar selaras dengan permintaan pasar global.

Senada dengan Musdalifah, Jonas Simon Dallinger, Implementing Manager GIZ Indonesia, memandang EUDR telah memicu terjadinya dialog antar pemangku kepentingan sebagai pendekatan multipihak untuk proses perbaikan tata kelola komoditas berkelanjutan di Indonesia. Ia berpendapat bahwa sejatinya narasi keberlanjutan yang selama ini ada telah mencakup di dalamnya isu deforestasi yang menjadi poin penting dari EUDR itu sendiri.

“Sebagai supplier  komoditas unggulan sektor pertanian, Indonesia  harus memiliki kejelasan dan legalitasnya sendiri,” ungkapnya. Lebih dari itu, keterlibatan para petani kecil yang selama ini berperan besar dalam rantai pasok perlu mendapat perhatian khusus mengingat jika EUDR diterapkan, petani kecil menjadi pihak paling terdampak dan bisa terisolir dari rantai pasok.

“Oleh sebab itu, diperlukan keterlibatan dari para pemangku kepentingan dan pelaku usaha agar sektor komoditas unggulan indonesia dapat terus memberikan kebermanfaatan ekonomi, terutama bagi para smallholder sebagai salah satu rantai pasok terbesar, serta tetap berada dalam koridor menjaga keberlanjutan lingkungan hidup,” pungkasnya. 

Perwakilan dari Direktur pengelolaan dan pemasaran Hasil Perkebunan (PPHBUN) Ditjebun Kementerian Pertanian menekankan perlu adanya multi-stakeholders budgeting approach untuk mendorong petani kecil dapat memperoleh STDB (Surat Tanda Daftar Budidaya Elektronik) serta memastikan aspek legalitas bagi para smallholder. Ditjenbun Kementerian Pertanian sendiri telah menargetkan 2,5 juta pekebun mendapatkan STDB, atas dukungan dan kerjasama dengan mitra yang dapat memberikan bantuan pendanaan.

World Resources Institute (WRI) Indonesia sebagai salah satu lembaga riset independen, turut mengambil peran dalam mendorong praktik pertanian yang berkelanjutan, termasuk di dalamnya komitmen bebas dari deforestasi. “Kami berkomitmen untuk membersihkan rantai pasok perusahaan dari deforestasi serta praktik usaha yang tidak berkelanjutan melalui pelatihan kepada para petani swadaya di berbagai tempat di Indonesia,” ungkap Bukti Bagja, Senior Manager Supply Chain and Livelihood Transformation WRI Indonesia pada kesempatan terpisah.

Policy Accelerator DIPI

Menutup lokakarya kali ini, Direktur Eksekutif DIPI, Prof Jatna Supriatna berharap bahwa pertemuan ini dapat mendorong pemahaman akan pentingnya kerja sama erat dalam memastikan kesiapan pemerintah dan pelaku usaha khususnya smallholders dalam menghadapi EUDR tahun 2025. Sebagai wujud konkret, pada akhir agenda ditutup dengan urun rembuk para anggota delegasi JTF meeting Indonesia terkait langkah-langkah yang dapat meningkatkan kecepatan implementasi di setiap lini kerja sebagai persiapan menghadapi EUDR.