Di tengah meningkatnya ancaman krisis iklim, Sumatera Barat menunjukkan komitmen nyata dalam menjaga hutan dan mengurangi emisi. Provinsi ini dikenal dengan hutan tropisnya yang relatif masih terjaga dan masyarakat adat yang hidup selaras dengan alam. Sumatera Barat tidak hanya menyimpan kekayaan ekologis, tetapi juga nilai-nilai sosial budaya yang kuat dalam menjaga kelestarian lingkungan.

Berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah Daerah Sumatera Barat dan pemangku kepentingan terkait, guna memastikan keberlangsungan ekosistem hutan. Salah satunya, dengan menyelenggarakan Lokakarya Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) Sektor Kehutanan, pada 21–23 April 2025 di Kota Padang.

Lokakarya ini merupakan kolaborasi antara Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH), Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, dan WRI Indonesia. Tujuannya adalah menyatukan pemahaman para pihak terkait tentang implementasi Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+). Selain itu, lokakarya ini memberikan pemahaman mengenai apa yang harus dipersiapkan untuk mengimplementasikan arsitektur (cara kerja dan pengaturan) program REDD+ yang mampu mengakomodasi konteks lokal yang sarat akan nilai adat istiadat dan wawasan terkait pengelolaan hutan berbasis komunitas.

Peserta Lokakarya REDD+
Peserta lokakarya dalam sesi diskusi interaktif. Kredit foto: Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup

Sekilas tentang REDD+

REDD+ merupakan salah satu mekanisme kompensasi finansial sektor kehutanan yang telah diakui secara internasional. Mekanisme ini memberikan insentif bagi negara berkembang, yang berhasil mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, melalui pengelolaan hutan berkelanjutan, upaya konservasi, dan peningkatan karbon hutan. Indonesia termasuk salah satu negara berkembang di kawasan Asia Pasifik yang mengalami kemajuan signifikan dalam mengimplementasikan program REDD+, termasuk dalam memanfaatkan peluang pendanaan melalui insentif positif dari program REDD+.

Pemerintah Indonesia, dalam hal ini melalui Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (saat ini dikelola oleh Deputi Pengendalian Perubahan Iklim/PPI dan Tata Kelola Nilai Ekonomi Karbon/TKNEK KLH/BPLH), telah berhasil memanfaatkan skema pembayaran berbasis kinerja (Result-Based Payment/RBP) dari Green Climate Fund (GCF) untuk mendukung pencapaian target Nationally Determined Contribution (NDC). Skema pendanaan ini dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki tata kelola lingkungan dan kehutanan, serta membuka peluang pendanaan iklim berkelanjutan.

Dalam mekanisme ini, Sumatera Barat menjadi salah satu provinsi penerima dana Result-Based Payment (RBP) REDD+ dari Green Climate Fund (GCF), untuk kategori pemanfaatan II. Dana ini diberikan atas hasil kinerja pengurangan emisi nasional dari sektor Forest and Other Land Uses (FOLU) pada periode 2014–2016, berdasarkan Keputusan Menteri LHK Nomor SK.1398/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2023. Sumatera Barat menerima alokasi sebesar 3,58 juta dolar AS, yang akan digunakan untuk memperkuat tata kelola kehutanan dan menyusun arsitektur REDD+ di tingkat provinsi.

Operasionalisasi arsitektur REDD+ memerlukan penyiapan kelembagaan, sistem data deforestasi dan degradasi yang andal, peningkatan kapasitas sumber daya manusia, serta kerangka regulasi yang memadai. Di dalamnya termasuk penyusunan Forest Reference Emission Level/Forest Reference Level (FREL/FRL), sistem Measuring, Reporting, and Verification (MRV), dokumen kerangka pengaman/safeguards, rencana pembagian manfaat, dan strategi implementasi yang selaras dengan program pembangunan provinsi.

Lokakarya sebagai Ruang Belajar dan Kolaborasi

Selama tiga hari, lokakarya di Padang membuka ruang dialog antara berbagai pihak—mulai dari perwakilan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Kehutanan, Organisasi Perangkat Daerah (OPD), lembaga teknis, akademisi, lembaga swadaya masyarakat dan organisasi masyarakat sipil, hingga fasilitator nasional. Selain itu, perwakilan dari Pemerintah Provinsi Aceh turut hadir untuk berbagi pengalaman serta contoh praktik baik dari proses pengembangan arsitektur REDD+ di wilayahnya. Selain menerima materi, peserta juga aktif melakukan diskusi dan latihan kelompok untuk mengkaji muatan yang ada di dalam dokumen-dokumen arsitektur REDD+. Selain itu, peserta juga berkesempatan untuk mengidentifikasi gap antara kondisi di Sumatera Barat dengan standar teknis nasional. Proses identifikasi ini dapat membantu dalam proses pembangunan peta jalan REDD+ yang lebih realistis dan aplikatif.

Irawan Asaad, P.hD., Direktur Mitigasi Perubahan Iklim KLH/BPLH dalam acara pembukaan menyampaikan bahwa penyelenggaraan lokakarya seperti ini memiliki arti penting untuk mewujudkan Sumatera Barat yang hijau, lestari, berdaya saing dan berketahanan iklim. “Lokakarya ini tidak hanya berdiskusi tentang teori, tapi menjadi sarana untuk merumuskan langkah-langkah konkret yang sesuai dengan potensi yang dimiliki Sumatera Barat seperti kekayaan adat istiadat masyarakat, serta kebutuhan pembangunan daerah.”

Dalam sambutan pembukaan, Ir. Mgo Senatung, MP., Plt. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumatra Barat juga menekankan pentingnya mendorong hasil diskusi dalam lokakarya menjadi sebuah langkah maju yang nyata. “Tantangan yang kita hadapi tidak kecil, tapi dengan sinergi dan inovasi, sektor kehutanan Sumbar bisa jadi pionir ekonomi karbon yang adil dan berkelanjutan. Melalui lokakarya ini, kami harapkan lahir rekomendasi-rekomendasi kebijakan dan aksi nyata yang bisa langsung diterapkan di tingkat tapak,” ujarnya.

Ir. Mgo Senatung
Ir. Mgo Senatung, MP, Plt. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumatra Barat saat menyampaikan pembukaan. Kredit foto: WRI Indonesia

Tomi Haryadi, M.Sc., Director for Food, Land, and Water WRI Indonesia pun menyampaikan bahwa lokakarya ini diharapkan menjadi titik temu berbagai pemangku kepentingan dalam menyatukan langkah untuk mendukung target pengurangan emisi nasional dan daerah. “Pertemuan ini diharapkan bisa mendorong kolaborasi multipihak dalam mendukung pencapaian target penurunan emisi GRK, khususnya sektor kehutanan. WRI Indonesia siap mendukung KLH/BPLH, Kementerian Kehutanan, dan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat dalam mengembangkan arsitektur REDD+ yang transparan, inklusif, dan berkeadilan.”

Di Sumatera Barat, pelestarian hutan tidak bisa dipisahkan dari nilai-nilai adat dan struktur sosial masyarakat. Seperti disampaikan oleh Drs. Akral, MM, perwakilan dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, “Seluruh tutupan hutan di Sumatera Barat adalah tanah ulayat bagi masyarakat.” Ia menegaskan bahwa dalam konteks Minangkabau, ulayat dan adat benar-benar menyatu dalam sistem sosial. "Karena itu, pelestarian hutan tidak bisa berdiri sendiri tanpa pelestarian adat dan budaya," tambahnya.

Pandangan ini menekankan pentingnya pendekatan yang tidak hanya teknokratik, tetapi juga sosiokultural. Ia mendorong agar proses penyusunan arsitektur REDD+ di Sumatera Barat dapat pula melibatkan lembaga adat. Menurutnya, pelibatan lembaga adat ini penting untuk memastikan bahwa kebijakan yang dibangun tidak bertentangan dengan tatanan lokal. Hal ini justru memperkuat peran masyarakat sebagai penjaga hutan yang telah berlangsung lintas generasi.

Merancang arsitektur REDD+ yang inklusif dan berakar lokal bukanlah hal yang sederhana. Proses ini membutuhkan kerja lintas sektor dan komitmen kolektif dalam waktu yang panjang. Evi Rosita, SP, M.Si.  selaku perwakilan dari Dinas Kehutanan Sumatra Barat mengingatkan, “Pembangunan arsitektur REDD+ ini adalah tanggung jawab besar dan multipihak.” Ia menambahkan bahwa pemerataan informasi, kejelasan peran, serta penguatan kapasitas kelompok kerja menjadi hal mendasar yang perlu dibangun secara berkelanjutan. “Lokakarya seperti ini sangat membantu untuk memfasilitasi proses tersebut,” ujarnya.

Sementara itu, Pemerintah Provinsi melihat bahwa hasil lokakarya yang juga difasilitasi oleh tenaga ahli KLH/BPLH ini dapat menjadi dasar penyusunan kebijakan yang nyata. Ir. Yozarwardi U. P., S.Hut, M.Si, IPU, Penjabat Sekretaris Daerah Provinsi Sumatera Barat menjelaskan, “Hasil theory of change dari Lokakarya ini akan direfleksikan ke dalam program-program OPD, serta selanjutnya dijadikan dasar untuk menyusun dokumen strategis seperti FREL, MRV, safeguard, dan rencana pembagian manfaat." Forest Reference Emission Level (FREL) adalah tingkat emisi referensi hutan, sedangkan Measuring, Reporting, and Verification (MRV) merupakan sistem pengukuran, pelaporan, dan verifikasi yang memastikan transparansi dan akuntabilitas implementasi program REDD+. Semua dokumen tersebut akan didiskusikan dalam forum koordinasi lintas sektor dan diintegrasikan ke dalam perencanaan pembangunan provinsi.

Pemateri dan fasilitator berbincang dengan Ir. Yozarwardi U. P., S.Hut, M.Si, IPU, Penjabat Sekretaris Daerah Provinsi Sumatera Barat.
Pemateri dan fasilitator berbincang dengan Ir. Yozarwardi U. P., S.Hut, M.Si, IPU, Penjabat Sekretaris Daerah Provinsi Sumatera Barat. Kredit foto: Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup

Langkah awal yang diambil Sumatera Barat dalam membangun arsitektur REDD+ mencerminkan pendekatan pembangunan yang tidak hanya berpijak pada data dan kebijakan, tetapi juga berakar kuat pada nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat. Hutan tidak hanya dilihat sebagai sumber daya ekonomi atau ekosistem, tetapi juga sebagai bagian dari identitas dan keberlanjutan hidup masyarakat adat.

Dengan semangat kolaborasi dan keberpihakan pada kepentingan lokal, Sumatera Barat menempatkan diri sebagai provinsi yang siap untuk mengimplementasikan program REDD+ yang berkeadilan, transparan, berkelanjutan, dan inklusif. Sebuah masa depan yang menghormati hutan, adat, dan keberlangsungan hidup bersama.