WRI Indonesia dan Indonesia NPAP berpartisipasi pada INC-5, Mendorong Aksi untuk Mengakhiri Polusi Plastik
Busan, 24 November-1 Desember 2024, World Resources Institute (WRI) Indonesia, sebagai observer yang terakreditasi oleh United Nations Environment Programme (UNEP) dan juga sebagai sekretariat Indonesia National Plastic Action Partnership (NPAP), menghadiri dan juga menyeleggarakan berbagai aktivitas strategis selama sesi kelima dari Intergovernmental Negotiating Committee (INC-5). INC-5 direncanakan sebagai sesi perundingan terakhir untuk membentuk Instrumen Internasional yang Mengikat Secara Hukum untuk mengakhiri polusi plastik atau lebih dikenal sebagai Perjanjian Plastik Global.
EPR, Loans & Plastic Credits - Financing Solutions for Indonesia and Other Emerging Markets
Busan, 24 November 2024 – PCX Markets berkolaborasi dengan SecondMuse Capital, PCX Solutions, WRI Indonesia, dan Indonesia NPAP untuk menyelenggarakan side-event bertajuk “EPR, Loans, & Plastic Credits – Financing Solutions for Indonesia and Other Emerging Markets.” Sesi ini dihadiri oleh Indonesia NPAP Community Coordinator, Bunga Karnisa, beserta pembicara dari:
- Rofi Alhanif, Kementerian Koordinasi Pangan, Republik Indonesia
- Roger Joseph Guzman, Environmental Policy Specialist, Asian Development Bank (ADB)
- Adijoyo Prakoso, Co-Founder & Chief Operating Officer, Duitin
- Simon Baldwin, Senior Vice President for APAC, SecondMuse
- Stefanie Beitein, Managing Director and Board Member for PCX Solutions
Sesi ini menelusuri kebutuhan investasi sebesar USD18 miliar untuk meningkatkan sistem pengelolaan sampahnya agar dapat mencapai ambisi pengurangan kebocoran plastik sebesar 70% pada 2025 dan near-zero pada 2040 serta mencapai ekonomi plastik sirkular. Meskipun sudah ada komitmen yang tinggi, investasi terhadap sistem pengelolaan sampah masih kecil akibat ketidaktentuan kebijakan pengelolaan sampah dan infrastruktur.
Selain itu, sesi ini juga menelusuri peran dari kebijakan tanggung jawab produsen (extended producer responsibility/EPR), pinjaman tanpa bunga, dan kredit plastik untuk sektor daur ulang. Perbincangan juga menyentuk topik akses pendanaan untuk memungkinkan usaha mikro menegah (UMK) untuk meningkatkan skala bisnisnya dan memberikan insentif untuk investasi infrastruktur dan alternatif pengelolaan sampah.
Sesi Networking untuk Anggota dan Mitra Indonesia NPAP
Busan, 25 November 2024 – Indonesia NPAP bersama WRI Indonesia menjalankan “Networking Session of Indonesia NPAP Members and Partners” sebagai side event INC-5. Sebagai negara pertama dengan National Plastic Action Partnership, platform tersebut telah memiliki peran penting untuk memfasilitasikan transisi menuju praktik berkelanjutan dan sirkularitas plastik untuk mendukung ambisi pemerintah Indonesia.
“Indonesia merupakan negara pertama yang bergabung dengan GPAP pada 2019, menandakan sebuah capaian yang signifikan dalam upaya melawan polusi plastik. Melalui Indonesia NPAP, agenda aksi plastik dapat menunjukan kemajuan nyata yang didorong oleh komitmen dan kolaborasi anggota-anggota NPAP melalui gugus tugas.” Ucap Clemence Schmid, Global Plastic Action Partnership (GPAP) Director, World Economic Forum (WEF).
Sejak 2019, Indonesia NPAP secara aktif mengumpulkan pemangku kepentingan nasional untuk mendorong kolaborasi. Saat ini, Indonesia NPAP sudah memiliki 112 anggota serta lebih dari 300 perwakilan individu.
“Keberhasilan Indonesia NPAP berasal dari kepemimpinan pemerintah yang kuat, keahlian kebijakan WRI Indonesia, dan kemampuan kemitraan bisnis WEF. Kami akan membantu Indonesia untuk melihat Perjanjian Plastik Global bukan sebagai tantangan, tetapi sebagai kesempatan untuk menarik investasi dan mencapai inovasi industri sehingga menjadi contoh untuk ASEAN dan komunitas internasional.” Dr. Kyung-Nam Shin, Assistant Director-General and Head of Investment and Policy Solutions Division, Global Green Growth Institute (GGGI).
Seiring negosiasi Perjanjian Plastik Global menuju akhir, perlu disadari akan pentingnya keterlibatan semua pihak untuk menjamin partisipasi yang bermakna dan implementasi instrumen secara efektif.
“Sebagai platform multipihak, Indonesia NPAP dapat memainkan penting untuk memastikan kesiapan dari para pemangku kepentingan Indonesia terhadap Perjanjian Plastik Global dengan meningkatkan kepemahaman terkait potensi implikasi dan membangun kapasitas untuk mengimplementasikan Perjanjianya.” Kata Rofi Alhanif, Asisten Deputi Ekonomi Sirkular dan Dampak Lingkungan, Kementerian Koordinasi Bidang Pangan.
Indonesia akan membentuk beberapa kelompok kerja tematik untuk memfasilitasi dan memperkuat kolaborasi lintas gugus-tugas dan membina kolaborasi terkait isu pengelolaan sampah. Kelompok kerja ini akan memungkinkan anggota NPAP untuk berkolaborasi dan memobilisasi sumber daya berdasarkan kepetingan dan implementasi bersama.
Sejak 2023, Indonesia NPAP telah mengumpulkan, memetakan, dan menganalisis komitmen serta insiatif dari aktor-aktor nonpemerintah untuk menciptakan suatu data komprehensif yang terdiri dari komitmen pembiayaan, proyek daur ulang, dan strategi pengurangan polusi plastik.
Aktor nonpemerintah memiliki peran vital dalam upaya Indonesia mengurangi polusi plastik dan bertransisi menuju ekonomi sirkular. Bersama pemerintah, mereka akan mendorong implementasi nasional dari Perjanjian Plastik Global serta memastikan Indonesia mencapai target selagi mendorong solusi keberlanjutan yang inklusif di seluruh sektor yang terlibat.
“Sebagaimana negara mengambil langkah untuk mengurangi polusi plastik dan mendorong praktik-praktik sirkular, keberhasilan Indonesia akan bergantung kepada kemitraan di seluruh sektor. Pelibatan aktor nonpemerintah dan platform multipihak dapat memastikan transisi menuju masa depan tanpa polusi plastik dan berkelanjutan itu adil, efektif, dan berdampak bagi seluruh bangsa Indonesia.” Kata Lucia Karina, Vice President of Public Affairs, Communications, Sustainability, Coca-Cola Europacific Partners (CCEP) Indonesia.
Menavigasi Just Transition untuk Menerapkan Perjanjian Plastik Global di Indonesia (Bagian dari Rangkaian Acara Rethinking Plastic Life)
Busan, 26 November 2024 – WRI Indonesia, difasilitasi oleh Indonesia NPAP, menyelengarakan acara berjudul “Navigating Just Transition to Deliver Global Plastic Treaty in Indonesia.” Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian acara Rethinking Plastic Life yang disusun oleh Kementerian Lingkungan Hidup, Republik Korea.
Plastik memiliki peran penting untuk ekonomi dunia sehingga pertimbangan tentang inklusi sosial selama transisi ekonomi itu penting untuk memastikan tidak ada kesejahteraan semua pihak. Indonesia merupakan negara dengan konsumsi plastik yang tinggi di mana sebagian besar digunakan untuk kemasan dan manufaktur otomotif. Kebergantungan dengan plastik tercerminkan pada jumlah sampah plastik yang timbul yakni sekitar 6,8 juta ton (2022); dan 70% dari angka tersebut tidak terkelola dengan baik.
“Transisi yang adil bukan hanya tentang pergeseran ekonomi. Ini harus memastikan keberlangsungan dan juga mengakomodasi kebutuhan dari kelompok rentan yang terdampak oleh transisi, seperti pekerja informal, buruh industri, dan konsumen.” Buka Rofi Alhanif, Asisten Deputi Ekonomi Sirkular dan Dampak Lingkungan, Kementerian Koordinasi Bidang Pangan.
Kontribusi sektor informal untuk pengelolaan sampah di Indonesia seringkali tidak diperhatikan karena profesi mereka belum diakui secara regulasi. Hal ini menyebabkan mereka memiliki upah rendah dan kondisi kerja yang berbahaya. Selain itu, kurangnya transparansi data tentang sektor informal, menyebabkan tantangan tersendiri untuk memastikan transisi yang berkeadilan.
“Masih banyak negara yang masih belum memiliki informasi tentang sektor informal, sehingga masih banyak pekerja yang belum terlihat dari perspektif data. Implementasi perjanjian yang berkmakna akan memerlukan indikator-indikator untuk melacak kontribusi dari sektor informal terhadap masyarakat, lingkungan, dan ekonomi. Selain itu diperlukan juga, integrasi pekerja sektor sampah ke dalam rencana aksi nasional dan mekanisme pembiayaan untuk memastikan kesejahteraan.” Ujar Bella Charlesworth, Research Associate, University of New South Wales (UNSW) Centre for Development Reform
Diperlukan perhatian khusus terhadap nilai-nilai keadilan di Perjanjian Plastik Global. Menurut Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), implementasi perjanjian yang ketat diperkirakan mengakibatkan pengurangan 0,5% PDB, dengan perkiraan yang lebih tinggi untuk negara berkembang karena masih perlu mengembangkan infrastruktur pengelolaan sampah masing-masing.
“Untuk memastikan implementasi Perjanjian Plastik Global yang adil, diperlukan identifikasi sektor-sektor yang terdampak, menganalisis bagaimana mereka terdampak, dan menyusun pendekatan untuk meringankan atau mengkompensasi kehilangan akibat transisi menuju ekonomi sirkular. Identifikasi ini perlu mempertimbangkan dampak sosioekonomi dan lingkungan.” Jelas Rocky Pairunan, Ocean and Plastic Waste Manager, WRI Indonesia.
Implementasi Perjanjian Plastik Global akan berdampak kepada pekerja baik di hulu maupun di hilir industri plastik, dari pekerja informal, buruh pabrik, konsumen, retail, dan masyarakat secara keseluruhan.
Di sisi lain, implementasi Perjanjian Plastik Global memberikan kesempatan ekonomi bagi Indonesia. Perjanjian ini dapat mendorong model bisnis alternatif melalui solusi penggunaan ulang untuk meringankan dampak kehilangan PDB akibat pengurangan penggunaan plastik multilapis (MLP). MLP seringkali dianggap tidak memiliki nilai ekonomi di industri daur ulang karena kandungan kimiawi yang sulit dipecah.
“Pada 2030, keuntungan bersih ekonomi dengan membangun solusi penggunaan ulang dapat mencapai IDR1,5 triliun dengan mengurangi penggunaan saset atau kantong plastik. Angka didapatkan dari perhitungan nilai pengurangan ekonomi karena pengurangan permintaan saset atau kantong plastik, pengurangan eksternalitas negatif, dan pembangkitan ekonomi dari solusi penggunaan ulang.” Ucap Tiza Mafira, Executive Director, Diet Plastik Indonesia
Sektor informal memiliki peran besar untuk pengelolaan sampah di Indonesia. Mereka mengumpulkan sekitar satu juta ton sampah plastik dan 70% berakhir di sistem daur ulang. Seringkali, para pekerja informal atau “pemulung” tidak mendapatkan perhatian sehingga bekerja dengan upah kecil dan kondisi yang tidak aman. Sehingga, sangatlah penting untuk mendukung kesejahteraan mereka dan memastikan transisi yang berkeadilan mempertimbangkan tantangan sosioekonomi yang dihadapi oleh sektor informal.
“Transisi yang berkadilan pada sektor pengelolaan sampah merujuk kepada pergeseran yang adil dan inklusif menuju praktik pengelolaan sampah yang berkelanjutan serta mendukung peran-peran pemangku kepentingan, khususnya buruh di sektor sampah, termasuk sektor informal. Konsep ini menekankan untuk memastikan bahwa sektor informal tidak tertinggal dari segi kebijakan dan sistem untuk mengatasi polusi plastik.” Ucap Dhedy Adi Nugroho, Head of Public Affairs, Coca-Cola Europacific Partners (CCEP) Indonesia.
Meningkatkan Kesiapan Asia Tenggara untuk Mengatasi Polusi Plastik melalui Perjanjian Plastik: Kolaborasi Regional untuk Mengatasi Polusi Plastik di Seluruh Siklus Hidupnya
Busan, 27 November 2024 – Indonesia NPAP, WRI Indonesia, Economic Research Isntitute for ASEAN and East Asia (ERIA), GPAP, UNSW, dan Sekretariat Global Ocean Account Partnership (GOAP), berkolaborasi dengan Sirsak dan CCEP Indonesia untuk melaksanakan side-event INC-5 berjudul “Enhanced Readiness of The Southeast Asian Region in Addressing Plastic Pollution under Plastic Treaty: Regional Collaboration to Address Plastic Pollution Across Its Lifecycle.”
Sebagai kerja sama regional, the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) telah memiliki komitmen kuat untuk melawan polusi plastik. ASEAN memiliki beberapa modalitas untuk melawan polusi plastik, melalui Bangkok Declaration on Combating Marine Debris in the ASEAN Region yang akhirnya mendorong penyususnan ASEAN Regional Action Plan for Combating Marine Debris in the ASEAN Member States (2021-2025), yang diumumkan KTT ASEAN ke-34. Selain itu, ASEAN juga mengadopsi ASEAN Declaration on Plastic Circularity yang saat KTT ASEAN ke-44 dan ke-45.
“Negara-negara ASEAN jelas memiliki keinginan dan komitmen untuk mengatasi isu (plastik) ini. Permasalahan ini dapat diatasi melalui dua cara. Pertama, diperlukan pembangunan pengetahuan dan kapasitas pengelolaan sampah. Kedua, diperlukan bantuan dari skema internasional melalui Perjanjian Plastik Global, yang tidak hanya menyediakan arahan prinsip namun juga bantuan praktis.” Ucap Reo Kawamura, Director for Environmental Policy and the Regional Knowledge Centre for Marine Plastic Debris (RKC-MPD), ERIA.
Menurut laporan OECD berjudul “2022 Plastic Outlook,” negara-negara ASEAN masih tertinggal dalam pengelolaan sampah. Angka sampah yang tidak terkelola dengan baik masih di angka 42%, lebih tinggi dari 22% angka rata-rata global. Meskipun negara-negara ASEAN memiliki angka pengumpulan sampah yang baik, sekitar 50%, angka daur ulang masih kesulitan melampaui 35%.
Di sisi lain, Perjanjian yang disusun menekankan untuk mengatasi plastik di seluruh siklus hidupnya dengan meliputi aspek desain, produksi, dan pengelolaan sampah. Secara global, sekitar 400 juta ton plastik diproduk si setiap tahunya. Namun, data yang menjelaskan bagaimana plastik bergerak mengarungi ekonomi global dan lingkungan masih belum ada.
“Perjanjian Global yang sedang kita negosiasikan sekarang dapat memberikan kesempatan untuk mengatasi keterbatasan data saat ini. Dengan demikian, perjanjian tersebut dapat mencetuskan perkembangan data plastik secara global dan nasional sehingga mendorong pengambilan keputusan berbasis bukti dan intervensi berdasarkan sains untuk polusi plastik.” Kata Bella Charlesworth, Research Analyst, UNSW Centre for Development Reform.
Pengembangan lanskap data dapat meningkatkan pemahaman kita terhadap permasalahan polusi plastik dan juga memungkinkan pengambilan keputusan yang efektif, serta pengawasan dan evaluasi upaya melawan polusi plastik.
Selain itu, negara-negara berkembang cenderung rentan terhadap dampak ekonomi apabila Perjanjian dilaksanakan dengan ketat. Pada meja negosiasi, dibahas topik pembiayaan melalui pembentukan mekanisme pembiayaan, pembangunan kapasitas, bantuan teknis, transfer teknologi, dan kerja sama internasional.
Mengakhiri polusi plastik akan memerlukan keterlibatan dari semua pihak, termasuk sektor swasta dan industri. Perjanjian plastik global menyediakan momentum yang tepat untuk mendorong transformasi sektor swasta dan mengembangkan solusi-solusi inovatif pada produk plastik dan pengelolaan sampah.
“Perjanjian Plastik Global memberikan kesempatan untuk mengharmonisasikan standar, memobilisasikan sumber daya, dan mempercepat transisi menuju ekonomi sirkular. Akan tetapi, keberhasilanya akan bergantung kepada kolaborasi antara industri, pemerintah, dan komunitas. Industri dapat memobilisasikan sumber daya, mendorong inovasi, dan meningkatkan solusi-solusi transformatif. Dengan bekerja sama, kita dapat memastikan tidak ada yang tertinggal – khususnya garda terdepan pada rantai plastik.” Lucia Karina, Vice President of Public Affairs, Communications, and Sustainability, Coca-Cola Europacific Partners (CCEP) Indonesia.