Edisi kelima ini menyajikan lima wilayah teratas untuk dipantau, yang terindikasi mengalami penebangan hutan ilegal pada periode 1 Januari – 31 Maret 2019.

#1 Indikasi Penebangan Hutan Ilegal seluas 160,50 ha di Kawasan Hutan Produksi, Kabupaten Pasaman Barat, Provinsi Sumatera Barat

Wilayah terindikasi pertama (#1) berada di Desa Air Bangis, Kecamatan Sungai Beremas, Kabupaten Pasaman Barat, Provinsi Sumatera Barat. Indikasi penebangan seluas 160,50 ha ini berada pada kawasan hutan produksi yang berdekatan dengan wilayah konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI). Melalui pengamatan citra satelit resolusi tinggi, dapat teridentifikasi adanya jaringan jalan, pembukaan lahan di lokasi yang sangat dekat dengan lahan terbuka yang telah ada sebelumnya, namun belum terlihat adanya penanaman di lahan yang terbuka sehingga penyebab pembukaan lahan belum dapat dipastikan dan merupakan pembalakan liar yang patut diwaspadai.

Sebagai verifikasi awal atas wilayah terindikasi ini, beberapa data sekunder memberitakan isu penebangan hutan ilegal di Kabupaten Pasaman Barat. Contohnya, pada 2015, Dinas Kehutanan Pasaman Barat diberitakan melakukan operasi untuk merobohkan pondok-pondok pelaku pembalakan liar di Nagari Air Bangis. Pada Februari 2018, Kepolisian Resor Pasaman Barat mengungkap pengangkutan kayu ilegal di Nagari Air Bangis. Bulan April lalu, diberitakan pula bahwa polisi telah menetapkan tiga tersangka kasus perambahan hutan produksi yang membawa alat berat untuk melakukan kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan produksi tanpa izin.

#2 Indikasi Penebangan Hutan Ilegal Seluas 116,23 ha di Kawasan Hutan Produksi, Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau

Wilayah terindikasi kedua (#2) berada di Desa Labuhan Papan, Kecamatan Tanah Putih Tanjung Melawan, Kabupaten Rokan Hilir (Rohil), Provinsi Riau. Lokasi pembukaan lahan seluas 116,23 ha berada di kawasan hutan produksi yang memiliki tutupan lahan berupa hutan rawa sekunder. Areal pembukaan lahan ini berbatasan dengan konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) yang berlokasi di bagian barat. Dari pengamatan melalui citra satelit resolusi tinggi, terlihat pembukaan lahan terjadi dengan pola blok-blok besar yang beraturan, dengan masing-masing blok terhubung dengan jaringan jalan yang teratur, serta belum terlihat adanya penanaman pada pembukaan lahan tersebut sehingga penyebab pembukaan lahan belum dapat dipastikan. Hal ini dapat mengindikasikan pembukaan lahan dimaksudkan untuk perluasan wilayah hutan tanaman yang sudah ada sebelumnya, meskipun perlu diverifikasi lebih lanjut.

Hasil studi literatur menunjukkan kasus penebangan hutan ilegal dan konflik antara masyarakat dengan perusahaan marak diberitakan di Rohil. Contohnya, diberitakan melalui Kompas Riau, terjadi konflik lahan antara warga dan perusahaan di wilayah Labuhan Papan pada April 2018. Pada waktu yang relatif sama, mahasiswa yang tergabung dalam Himpunan Pelajar Mahasiswa Tanah Putih (Hipermata) dikabarkan mengadukan ke Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Riau terkait perambahan hutan ribuan hektar dan konflik lahan antara masyarakat dengan perusahaan di Kecamatan Tanah Putih Tanjung Melawan.

#3 Indikasi Penebangan Hutan Ilegal seluas 49,29 ha di Kawasan Hutan Lindung, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan

Penebangan hutan ilegal seluas 49,29 ha terindikasi terjadi di Kecamatan Makarti Jaya, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Areal ini berdekatan dengan Wilayah Terindikasi (#5) pada Pantau Jejak edisi ketiga dan Wilayah Terindikasi (#2) pada Pantau Jejak edisi kedua. Dari hasil pengamatan citra satelit resolusi tinggi, penebangan hutan tersebut menunjukkan indikasi perluasan areal perkebunan kelapa sawit yang terletak di sekitar lokasi pembukaan lahan. Adapun wilayah yang ditebang tersebut terhubung dengan jaringan jalan yang telah ada. Tujuan pembukaan lahan belum dapat dipastikan karena penanaman belum dilakukan di wilayah yang ditebang tersebut.

Indikasi penebangan hutan ilegal di Kawasan hutan lindung Kabupaten Banyuasin muncul juga dalam Pantau Jejak edisi ketiga. Sebagaimana termuat dalam edisi ketiga tersebut, isu strategis dalam pengelolaan hutan di areal Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Unit 1 Banyuasin adalah banyaknya perkebunan permanen yang sudah berada di wilayah hutan lindung dan kebutuhan lahan untuk kegiatan non-kehutanan. Kemunculan berulang indikasi penebangan hutan ilegal di areal Kawasan hutan lindung Kabupaten Banyuasin dalam edisi ini memperkuat indikasi penebangan hutan ilegal di wilayah tersebut, yang perlu untuk ditindaklanjuti oleh pihak terkait.

#4 Indikasi Penebangan Hutan Ilegal seluas 33,65 ha di Kawasan Hutan Konservasi, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi

Penebangan hutan ilegal seluas 33,65 ha terindikasi terjadi di Desa Nilo Dingin, Kecamatan Lembah Masurai, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi. Selain berada di kawasan hutan konservasi, yaitu Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), lokasi areal pembukaan lahan ini berdekatan dengan hutan produksi. Berdasarkan pengamatan interpretasi visual melalui citra satelit resolusi tinggi, pembukaan hutan memiliki pola blok-blok kecil yang menyebar atau sporadis, mengindikasikan perluasan dari daerah pertanian lahan kering skala kecil di sekitarnya.

Terkait dengan indikasi tersebut di atas, verifikasi awal melalui sumber data sekunder menunjukkan bahwa Kawasan Desa Nilo Dingin (kawasan Sipurak Hook) merupakan salah satu kawasan prioritas dalam penerapan Role Model Penanganan Konflik Tenurial untuk Kawasan Konservasi oleh Balai Besar TNKS sebagai upaya penanganan permasalahan perambahan di TNKS. Role Model ini bertujuan untuk memulihkan kawasan yang sudah dirambah dan masyarakat memiliki alternatif mata pencaharian baru sehingga tidak melakukan perambahan lagi. Namun demikian, Masyarakat Desa Nilo Dingin menolak program Role Model tersebut dan kegiatan pembukaan lahan masih terjadi di Desa ini.

#5 Indikasi Penebangan Hutan Ilegal seluas 19,50 ha di Kawasan Hutan Produksi, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau

Wilayah terindikasi (#5) berada di Desa Bandar Jaya, Kecamatan Siak Kecil, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Wilayah terindikasi ini masuk ke dalam areal gambut. Hasil pengamatan melalui citra satelit resolusi tinggi di wilayah terindikasi menunjukkan penebangan hutan dengan pola tebang pilih. Penebangan hutan terjadi seluas 19,50 ha dan berlokasi dekat dengan areal konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI).

Sebagai data penunjang sekunder, di Kecamatan Siak Kecil tersebut, diberitakan bahwa Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Ditjen Gakkum KLHK) melakukan operasi tangkap tangan pelaku pembalakan liar di Kawasan Hutan Produksi Terbatas di Desa Muara Dua pada November 2018. Meskipun lokasi desa dalam pemberitaan tersebut berbeda dengan lokasi desa pada wilayah terindikasi no #5 ini, pemberitaan ini menunjukkan risiko penebangan hutan ilegal yang nyata di Kecamatan Siak Kecil tersebut.

Langkah Selanjutnya

Daftar Kelima Wilayah Teratas tersebut masih berupa indikasi yang merupakan hasil analisis menggunakan sejumlah instrumen yakni GLAD Alert, Peta Status Kawasan Hutan, dan Peta Tutupan/Penggunaan Lahan. Namun demikian, hasil analisis ini dapat menjadi petunjuk dalam menentukan wilayah hutan prioritas untuk dipantau dari ancaman penebangan ilegal. Berikut ini langkah-langkah yang perlu ditempuh sesegera mungkin.

1. Verifikasi Lapangan dan Tindakan untuk Mencegah Perluasan Kegiatan Penebangan Hutan Ilegal di Kelima Wilayah Terindikasi.

Kelima Wilayah Terindikasi menunjukkan penebangan hutanmerupakan lanjutan/ perluasan dari aktivitas yang telah ada sebelumnya, bukan penebangan hutan yang dilakukan untuk pertama kali. Hal ini menandakan bahwa Kelima Wilayah Terindikasi tersebut memerlukan perhatian khusus lantaran berisiko tinggi mengalami penebangan ilegal terus menerus yang dapat meluas ke areal hutan di sekitarnya. Selain itu, kelima Wilayah Terindikasi juga menunjukkan urgensi pada aspek mitigasi kerusakan lingkungan karena tercatat masifnya penebangan hutan secara ilegal, lahan kritis, dan risiko dampak perubahan iklim di kabupaten dan/ atau kecamatan tersebut.

Oleh karena itu, institusi yang berwenang dalam perlindungan kawasan hutan di Kelima Wilayah Terindikasi, seperti unit-unit terkait pada KPHL Pasaman Raya, KPHP Rokan Hilir, KPHL Banyuasin, KPHP Bengkalis, Balai KSDA Jambi, Ditjen Gakkum KLHK, Dinas Kehutanan Provinsi setempat, dan Kepolisian setempat, secara kolaboratif perlu segera melakukan verifikasi lapangan dan tindakan pencegahan terhadap perluasan penebangan dan pemanfaatan kawasan hutan secara ilegal. Urun daya masyarakat setempat dengan memberikan informasi dari lapangan juga dapat memperkuat proses verifikasi tersebut. Jika verifikasi lapangan tidak dilakukan dengan segera, penebangan hutan ilegal akan semakin masif dan dampak negatif kerusakan lingkungan tidak dapat terelakkan. Semakin luas kawasan hutan yang telah dibuka dan dimanfaatkan untuk kegiatan non-kehutanan, upaya penanggulangan dan pemulihan akan semakin sulit dilakukan.

Wilayah Terindikasi Ketiga (#3) - Kawasan Hutan Lindung Kabupaten Banyuasin perlu menjadi fokus perhatian karena telah muncul di Pantau Jejak edisi ketiga dan kedua. Fakta ini menunjukkan adanya penebangan hutan yang berkelanjutan dan memiliki potensi perluasan hutan yang ditebang secara ilegal. Selain itu, Provinsi Riau juga perlu menjadi fokus perhatian karena pada edisi keempat ini muncul dua Wilayah Terindikasi, yakni Wilayah Terindikasi Kedua (#2) - Kabupaten Rokan Hilir - dan Wilayah Terindikasi Kelima (#5) - Kabupaten Bengkalis. Provinsi Riau juga memerlukan pengawasan ketat terhadap penebangan hutan ilegal karena dalam status siaga darurat kebakaran hutan dan lahan sampai akhir tahun 2019 ini.

2. Setelah Verifikasi Lapangan Dilakukan, Upaya Penanganan Harus Mempertimbangkan Aspek Sosial-Ekonomi Masyarakat Setempat.

Indikasi penebangan hutan di Kelima Wilayah Terindikasi tersebut sarat dengan kegiatan ekonomi masyarakat berskala kecil. Oleh karena itu, setelah verifikasi dilakukan, upaya penanganan perlu mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi masyarakat setempat. Mekanisme penanganan yang dilakukan sebaiknya memuat skema penyelesaian konflik, perhutanan sosial, reformasi agraria, dan penanganan hukum yang logis dan adil. Tidak hanya itu, penelusuran pelaku juga perlu dilakukan sampai kepada dalang (pelaku intelektual) dari perambahan hutan, yang mengambil keuntungan dari kegiatan penebangan hutan secara ilegal tersebut.


Catatan Kaki:

Pantau Jejak dikembangkan dengan modifikasi minor dari metodologi Places to Watch untuk mengidentifikasi area yang terindikasi mengalami penebangan hutan secara ilegal. Penebangan hutan secara ilegal melingkupi penebangan dalam kawasan hutan tanpa izin yang sah dan penebangan dengan izin yang sah namun tidak sesuai dengan ketentuan dalam izin sebagaimana diatur dalam UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Namun demikian, karena keterbatasan data, Pantau Jejak saat ini baru merepresentasikan lingkup yang pertama.

Metodologi Pantau Jejak, seperti metodologi Places to Watch, mengidentifikasi area dengan jumlah peringatan GLAD tertinggi yang terdeteksi1. Peringatan GLAD adalah peringatan kehilangan tutupan pohon mingguan. Modifikasi yang dilakukan di metodologi Pantau Jejak, dibandingkan dengan Places to Watch adalah sebagai berikut:

Kami menggunakan ukuran sel grid 5x5 km, dan bukan ukuran 10x10 km seperti di Places to Watch, karena kemampuan data lebih baik di dalam sel grid 5x5km untuk menangkap penyebab kehilangan hutan secara individual. Kami memotong area fokus yang terkait dengan penebangan hutan ilegal dalam kawasan hutan tanpa izin yang sah, atau dengan izin sah namun tidak sesuai dengan ketentuan, menggunakan lapisan di bawah ini:

1. Tutupan hutan terdiri dari hutan primer dan sekunder dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Tutupan hutan diekstrak dari data tutupan lahan yang diproduksi oleh KLHK, mengambil kelas tutupan hutan primer dan sekunder, dan mengeluarkan hutan tanaman industri. Kami melakukan tumpang susun peringatan GLAD dengan tutupan hutan untuk mengidentifikasi pembukaan di area dengan tutupan hutan secara biofisik, terlepas dari status hukum hutan tersebut. Sumber: http://geoportal.menlhk.go.id/arcgis/rest/services/KLHK diakses pada Oktober 2018.

2. Kawasan hutan menunjukkan status legal Kawasan hutan yang ditunjuk oleh kementerian terkait. Kami menggunakan data ini untuk mengidentifikasi indikasi pembukaan illegal di dalam Kawasan hutan. Sumber http://geoportal.menlhk.go.id/arcgis/rest/services/KLHK diakses pada Oktober 2018. Kawasan hutan adalah areal yang ditetapkan oleh Pemerintah, yaitu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sebagai hutan tetap sehingga tidak boleh digunakan untuk kegiatan non-kehutanan. Kawasan ini dibagi menjadi tiga fungsi utama, yaitu konservasi (untuk pemeliharaan dan perlindungan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya), lindung (untuk perlindungan sistem penyangga kehidupan seperti air, mitigasi bencana dll), serta produksi (untuk memproduksi hasil hutan). Kawasan konservasi dan lindung pada dasarnya tidak boleh dimanfaatkan kayunya, sementara di kawasan hutan produksi, pemanfaatan kayu dapat diizinkan dengan penghutanan kembali. Kawasan hutan produksi dibagi menjadi tiga, yaitu kawasan hutan produksi terbatas, produksi tetap, dan produksi yang dapat dikonversi. Ketiga jenis kawasan hutan produksi ini memiliki kriteria yang berbeda dan secara berurutan memiliki gradasi dari yang paling terbatas lingkup pemanfaatannya sampai ke yang paling luas. Kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi merupakan kawasan hutan yang dapat dimanfaatkan secara luas, misalnya untuk areal pencadangan pengembangan kegiatan non-kehutanan, seperti transmigrasi, pemukiman, pertanian, dan perkebunan. Sedangkan untuk pengembangan non-kehutanan perlu melalui prosedur pelepasan kawasan hutan.

3. Izin konsesi. Data ini menunjukkan izin untuk berbagai konsesi termasuk izin tebang pilih atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA), Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman Industri (HTI), Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman Rakyat (HTR), hutan desa, Hutan Kemasyarakatan (HKm), perhutanan sosial, dan izin pinjam pakai kawasan hutan. Berdasarkan peraturan, pembukaan di dalam konsesi tersebut dapat dilakukan, sehingga kami menggunakan lapisan ini untuk mengeluarkan pembukaan hutan yang legal. Sumber: http://geoportal.menlhk.go.id/arcgis/rest/services/KLHK diakses pada Oktober 2018.

Kemudian, kami melakukan tumpang susun peringatan GLAD dengan area fokus, dan sel 5x5km. Skor untuk setiap sel grid dihitung dengan melihat jumlah peringatan GLAD terhadap proporsi area fokus di setiap grid 5 km. Lalu, kami memilih 10 area teratas untuk diverifikasi lebih lanjut dengan citra satelit resolusi tinggi. Kemudian, kami menggunakan metode Queen's Case Neighborhood untuk mendeteksi lokasi 10 area teratas dengan mengidentifikasi lokasi yang memiliki sel saling berdempetan secara diagonal dan tegak lurus yang juga terdeteksi adanya peringatan GLAD dalam jumlah besar. Metode ini mengelompokkan sel 5x5km yang berdempetan ke dalam satu grup sel yang berdekatan. Seluruh area tersebut kemungkinan merepresentasikan penyebab kehilangan hutan spesifik yang serupa (misal karena kegiatan pertambangan, atau pembukaan untuk perkebunan). Setelah diverifikasi dengan citra satelit resolusi tinggi dan diidentifikasi penyebab kehilangan hutan, kami memilih lima area teratas untuk ditampilkan dalam blog ini.

Setelah itu, kami melakukan verifikasi awal melalui studi literatur yang bertujuan untuk memberikan informasi tambahan dari data sekunder bagaimana perkembangan isu penebangan hutan ilegal di lima area teratas yang ditampilkan. Data sekunder dimaksud tentunya tidak dapat diartikan sebagai verifikasi final terhadap indikasi tersebut, tetapi dapat menjadi petunjuk awal untuk verifikasi lebih lanjut.

1Peringatan GLAD dari University of Maryland via Global Forest Watch. Peringatan GLAD menunjukkan kehilangan tutupan pohon mingguan berdasarkan piksel ukuran 30x30 meter, yang dianalisis dari citra satelit Landsat. Setiap peringatan GLAD mewakili piksel 30x30m dengan estimasi kehilangan kanopi 50% atau lebih pada area 0.01 hektar, seperti pada artikel ini.