Latar belakang

Keadilan ekonomi merupakan salah satu isu utama dalam masalah kebangsaan, sebagai salah satu agenda prioritas (Nawacita) pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Saat ini pemerintah tengah mengencarkan kebijakan pemerataan ekonomi untuk mengurangi ketimpangan dengan tiga pilar utama, yaitu lahan, kesempatan usaha dan sumberdaya manusia.

Kebijakan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial (RAPS), merupakan salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengurangi jurang ketimpangan ekonomi, sosial dan lingkungan hidup, yang memberikan kesempatan kepada masyarakat adat dan pedesaan untuk mengelola dan memanfaatkan hutan secara lestari untuk meningkatkan kesejahteraan kelompok masyarakat tersebut.

Melalui skema Perhutanan Sosial masyarakat diberikan akses legal terhadap lahan (land) di kawasan hutan negara seluas 12,7 juta hektar (UU Kehutanan No. 41/1999). Program Perhutanan Sosial dilaksanakan melalui alokasi sumber daya hutan yang dikuasai Negara kepada masyarakat setempat sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial.

Peraturan Menteri LHK No. 83/2016 menegaskan bahwa Perhutanan Sosial merupakan “sistem pengelolaan hutan lestari yang dilakukan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk 1) Hutan Desa, 2) Hutan Kemasyarakatan, 3) Hutan Tanaman Rakyat, 4) Hutan Rakyat, 5) Hutan Adat dan Kemitraan Kehutanan.”

Ada 2 aspek penting dalam Perhutanan Sosial, yaitu aspek legalitas dan pasca legalitas (pengembangan wirausaha). Sarasehan Saatnya Rakyat Bicara dengan Pelaku Bisnis ini membahas aspek pasca legalitas, yaitu Pengembangan Wirausaha sebagai salah satu kunci penting keberhasilan program RAPS, yang mebahas kegiatan Perhutana Sosial baik di dalam atau di luar kawasan hutan.

Sarasehan saatnya rakyat bicara dengan pelaku bisnis ini akan berfokus pada beberapa isu, diantaranya:

  • Pasca panen, memberikan nilai tambah

  • Peningkatan akses terhadap pasar (Produk HHBK, kayu, ekowisata dan komoditi: Madu, Sagu, Kopi, Rotan, Karet, Aren, Coklat, Lada, Kayu Manis, Empon-empon, Pala, Porang, Tengkawang, Purun) 


  • Tata usaha Hasil hutan, PNPB dan Iuran

  • Pemenuhan standar pasar tertentu

  • Mengembangkan rencana kelola usaha dan kewirausahaan sosial

  • Menentukan komoditi (manfaat lain dari hutan) sebagai usaha 


  • Berjalannya kegiatan on-farm terkait dengan usaha 


  • Berjalannya kegiatan off-farm (pengolahan, peningkatan nilai tambah, dsb) 



  • Sinergi dengan kelompok usaha atau entitas lainnya (BUMDES atau institusi ekonomi lokal, KPH). 


Tujuan Sarasehan

  • Mempertemukan kelompok tani/hutan/pelaku wirausaha perhutanan sosial dengan pelaku usaha, baik skala kecil maupun besar dalam suatu dialog konstruktif.

  • Mendiskusikan kendala yang dihadapi kelompok tani/hutan/pelaku wirausaha perhutanan kecil untuk menembus pasar.

  • Mengidentifikasi berbagai langkah ke depan guna mengakselerasi pengembangan usaha perhutanan sosial secara nasional.

  • Memupuk jiwa kewirausahaan sosial di antara para petani/pelaku perhutanan sosial