Menilai Emisi Gas Rumah Kaca di Lahan Gambut yang Direstorasi di Kalimantan
Lahan gambut yang terdegradasi dikenal berkontribusi besar terhadap emisi gas rumah kaca, dan upaya restorasi gambut dapat mengurangi jumlah emisi secara signifikan. Sayangnya, penelitian tentang emisi gas rumah kaca di lahan gambut yang telah direstorasi di Indonesia masih kurang, dan penelitian ini bertujuan untuk mengisi kesenjangan tersebut.
TUJUAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengukur dampak dari aktivitas restorasi hidrologi gambut terhadap emisi gas rumah kaca di area lahan gambut yang telah direstorasi.
DI MANA
Palangka Raya dan Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah.
MENGAPA
Lahan gambut tropis hanya menutupi 0,25% dari permukaan global, tetapi menyimpan 3% cadangan karbon tanah dunia, menjadikannya penyerap karbon yang signifikan. Indonesia memiliki sekitar 13,43 juta hektare lahan gambut tropis, lebih dari 30% dari luas lahan gambut tropis global (Warren et al., 2017). Namun, lahan gambut di Indonesia telah terancam selama bertahun-tahun karena permintaan tinggi untuk perkebunan pertanian dan industri, pemukiman, dan penggunaan lahan lainnya. Hampir setengah dari lahan gambut Indonesia telah terdegradasi, sebagian besar berada di Sumatra dan Kalimantan (Masganti, 2014). Lahan gambut yang terdegradasi sangat mudah terbakar, dan kebakaran di lahan gambut bisa menyebar di bawah permukaan, sehingga sulit dipadamkan. Hal ini menyebabkan pelepasan karbon ke atmosfer, menjadikan salah satu penyerap karbon jangka panjang yang paling efisien di Bumi menjadi sumber emisi jangka pendek.
Emisi dari lahan gambut tidak hanya berasal dari kebakaran, tetapi juga dari lahan gambut yang terdegradasi akibat pengeringan berlebihan. Emisi di lahan gambut yang terdegradasi dua kali lebih besar dibandingkan lahan gambut yang utuh (Deshmukh et al., 2021), diperkirakan mencapai 1,9 gigaton CO2e setiap tahun, setara dengan 5% dari emisi gas rumah kaca antropogenik global (IUCN, 2017).
Pada tahun 2015, Indonesia mengalami salah satu musim kebakaran terburuk dalam beberapa tahun. Sebagian besar lahan dan hutan di negara ini ( sekitar 2,6 juta hektare ) terbakar tanpa terkendali sejak Juni 2015, yang berdampak pada kesehatan, pendidikan, dan mata pencaharian jutaan orang Indonesia yang tinggal di daerah yang paling parah terkena dampak kebakaran. Total karbon yang dilepaskan dari area lahan gambut ke atmosfer diperkirakan sekitar 1,848 juta ton C (Setyawati dan Suwarsono, 2018). Kebakaran ini juga mengakibatkan kerugian dan kerusakan yang diperkirakan mencapai miliaran dolar AS, sekitar US$28 miliar (Kiely et al., 2021), dengan Kalimantan Tengah diketahui sebagai salah satu provinsi yang paling terdampak kebakaran lahan gambut pada saat itu. Lahan gambut di Provinsi Kalimantan Tengah juga telah terdegradasi karena konversi hutan rawa gambut tropis yang sangat besar, sekitar 9.191 km2 lahan gambut, diubah menjadi lahan untuk budidaya padi dan mempromosikan transmigrasi melalui Proyek Lahan Gambut Raksasa yang gagal (Notohadiprawiro, 1998). Proyek ini hanya menyisakan area lahan gambut yang sangat kering, terutama karena pembangunan lebih dari 4.600 km kanal untuk membuka area tersebut dan menjadikannya layak untuk budidaya.
Restorasi lahan gambut bertujuan untuk mengembalikan lahan gambut yang terdegradasi ke kondisi stabil di mana mereka mampu berfungsi secara alami dan mendukung satwa liar khas mereka. Indonesia telah berkomitmen untuk merestorasi lebih dari 2 juta hektare lahan gambut sejak tahun 2016. Pemerintah Indonesia telah melakukan upaya besar dalam merestorasi lahan gambut yang terdegradasi untuk mencegah kebakaran gambut dan, pada akhirnya, emisi karbon dapat dikurangi. Namun, penelitian terkait emisi karbon di lahan gambut tropis yang direstorasi masih kurang, sebagaimana disebutkan dalam Suplement 2013 terhadap Pedoman Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional 2006 untuk Lahan Basah IPCC (IPCC, 2014), dengan data emisi non-CO2 dari lahan gambut tropis sangat langka (Jovani-Sancho et al., 2023).
Untuk mengisi kesenjangan ini, penelitian ini akan dilakukan dengan tujuan utama untuk mengukur dampak aktivitas restorasi hidrologi gambut terhadap emisi gas rumah kaca di area lahan gambut yang direstorasi. Data emisi baru untuk CO2 (karbon dioksida), CH4 (metana), dan N2O (dinitrogen oksida) akan dikumpulkan melalui penelitian ini. Mengingat bahwa emisi gas rumah kaca juga dipengaruhi oleh karakteristik gambut, beberapa parameter juga akan diukur, termasuk: kedalaman muka air tanah (WTD), ketebalan gambut, kerapatan massa tanah gambut, pH tanah, suhu tanah, suhu permukaan, kandungan karbon (C), kandungan nitrogen (N), rasio C/N, nitrogen terlarut total, pergerakan gambut, dan penurunan tanah gambut. Penelitian terkait gas rumah kaca di lahan gambut tropis sangat penting untuk dilakukan dalam rangka memperkaya data dan membantu para pemangku kepentingan terkait untuk mengurangi emisi gas rumah kaca di area ini.
BAGAIMANA
Beberapa aktivitas yang telah/akan dilakukan untuk menjalankan penelitian ini meliputi:
1. Survei Awal: Lokasi penelitian spesifik di area yang dibasahi kembali dan area yang terdegradasi telah diidentifikasi selama studi desktop dengan cara menggabungkan peta distribusi gambut, peta penggunaan lahan/penutupan lahan, peta drainase lahan gambut, peta distribusi struktur pembasahan, dan peta administratif Provinsi Kalimantan Tengah. Survei awal diperlukan untuk mengunjungi lokasi penelitian potensial yang diperoleh dari studi desktop dan menentukan di mana penelitian akan dilakukan. Empat lokasi, masing-masing dua untuk area yang terdegradasi dan area yang direstorasi, terdiri dari area hutan dan non-hutan, telah dipilih sebagai lokasi penelitian.
2. Instalasi Alat Ukur dan Survei Tanah: Instalasi alat pengukur telah dilakukan di empat lokasi yang dipilih. Selain itu, survei tanah juga akan dilakukan pada tahap ini untuk mengumpulkan sampel tanah yang terganggu dan tidak terganggu. Sampel-sampel tersebut kemudian akan dianalisis di laboratorium untuk memperoleh data karakteristik gambut yang mencakup kerapatan massa tanah gambut, pH tanah, kandungan karbon (C) tanah, dan kandungan nitrogen (N) tanah. Data ketebalan gambut juga akan dikumpulkan selama survei tanah.
3. Kegiatan Pengumpulan Data: Data deret waktu yang mencakup gas rumah kaca (CO2, CH4, dan N2O; diukur menggunakan penganalisis gas rumah kaca portabel dan kromatografi gas), pH tanah, suhu tanah, suhu permukaan, kandungan kelembaban tanah, kedalaman muka air tanah (Water Table Depth/WTD), pergerakan vertikal gambut, dan penurunan gambut akan diperoleh selama kegiatan pengumpulan data. Kegiatan ini akan dilakukan dua bulan sekali selama satu tahun.
4. Analisis Gas Rumah Kaca dan Perhitungan Emisi: Sampel gas rumah kaca yang dikumpulkan dari lapangan kemudian akan dianalisis di Laboratorium Balingtan atau laboratorium Institut Penelitian Agro-Environmental, Kementerian Pertanian. Perhitungan fluks akan dilakukan mengikuti metodologi Jovani-Sancho et.al. (2023), yang menggunakan R 3.6.3 (R Core Team, 2013) dan paket flux v0.3-0 (Jurasinski et al., 2014). Fluks akan dikonversi menjadi μg m-2 h-1 menggunakan berat molekul CO2, CH4, dan N2O (yaitu 44,01; 16,04; dan 44,01 g mol-1, masing-masing). Selain itu, rata-rata emisi CO2, CH4, dan N2O untuk lahan gambut yang direstorasi dan terdegradasi akan dihitung menggunakan nilai rata-rata dari semua lokasi untuk setiap kategori.
MITRA
Pusat Kerjasama Internasional dalam Pengelolaan Lahan Gambut Tropis Berkelanjutan (CIMTROP)/Universitas Palangka Raya, Pusat Ekologi & Hidrologi Inggris (UKCEH), dan BRIN.
INFORMASI TAMBAHAN
Penelitian ini di bawah Land and Carbon Lab (LCL) Project.