Synopsis

Studi ini menelaah kesenjangan partisipasi masyarakat dalam Perhutanan Sosial di Indonesia. Secara khusus, studi ini mendalami alasan rendahnya partisipasi perempuan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Key Findings

  • Analisis di tingkat tapak menunjukkan Perhutanan Sosial cenderung menguntungkan elit laki-laki dalam pengelolaan hutan, dan oleh sebab itu ia menguatkan ketimpangan gender. Sebagian besar perempuan dalam studi ini memiliki partisipasi yang minimum atau tidak berpartisipasi sama sekali. Partisipasi perempuan dalam pengelolaan hutan banyak dipengaruhi norma dan persepsi sosial yang memisahkan peran dan ruang seseorang berdasarkan gender, menciptakan beban ganda bagi perempuan, dan membatasi peran perempuan dalam komunitas. Perempuan cenderung memegang peran domestik dalam rumah tangga, sementara pengelolaan hutan identik dengan ranah publik yang didominasi laki-laki. Interseksionalitas membantu kami menganalisis bagaimana identitas dan beragam faktor memengaruhi partisipasi perempuan. Misalnya, perwakilan perempuan yang dipilih sebagai pengurus hutan ternyata memiliki keunggulan (privilege) berupa kedekatan dengan pemuka adat atau pejabat desa yang mayoritas laki-laki.

  • Proses pengajuan penetapan Hutan Adat di kedua lokasi menunjukkan masyarakat setempat yang berpartisipasi aktif, tetapi kelompok ini didominasi laki-laki. Sepanjang proses pengajuan Hutan Adat, masyarakat yang terlibat umumnya adalah pemuka adat dan pejabat desa, yang semuanya laki-laki. Meskipun perempuan tidak terlibat dalam proses pengajuan Hutan Adat, studi ini menemukan perempuan turut mengelola hutan.

  • Pelaksanaan kebijakan Perhutanan Sosial perlu memperhatikan dinamika dan potensi setempat, supaya perempuan dapat mengakses dan merasakan manfaat pengelolaan hutan secara setara. Ketimpangan kuasa, termasuk antara laki-laki dan perempuan, sudah berlangsung sebelum Perhutanan Sosial hadir dalam komunitas. Implementasi kehutanan masyarakat, jika tidak memperhatikan dinamika kuasa, berisiko semakin mengucilkan kelompok yang sudah terpinggirkan. Perhutanan Sosial perlu mempertimbangkan konteks komunitas dan menciptakan lingkungan yang mendorong serta mendukung partisipasi perempuan. Upaya ini dapat dilakukan, salah satunya, dengan pengarusutamaan gender dan pendampingan lokal yang sensitif dengan isu gender.

Executive Summary

  • Pengelolaan hutan berbasis masyarakat telah diterapkan secara luas karena partisipasi masyarakat setempat dipercaya dapat memberikan manfaat lingkungan dan sosial. Akan tetapi, tidak semua anggota masyarakat mendapat kesempatan dan akses yang sama untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan.
  • Studi ini menelaah kesenjangan partisipasi masyarakat dalam Perhutanan Sosial di Indonesia, sebuah kebijakan nasional yang menerapkan pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Secara khusus, studi ini mendalami alasan rendahnya partisipasi perempuan dan faktor-faktor yang memengaruhinya.
  • Kami menggunakan dua contoh kasus masyarakat hukum adat yang menjadi fokus kerja WRI Indonesia. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif melalui wawancara, diskusi kelompok terarah (FGD), observasi lapangan, dan transect walk ke hutan.
  • Sebagai kebijakan, Perhutanan Sosial menyediakan platform bagi komunitas untuk berpartisipasi dalam mengelola sumber daya alam. Akan tetapi, partisipasi di tingkat tapak menunjukkan Perhutanan Sosial cenderung menguntungkan elit laki-laki dan menguatkan dominasi laki-laki dalam mengelola hutan.
  • Norma dan persepsi sosial banyak memengaruhi partisipasi perempuan dalam pengelolaan hutan. Perempuan cenderung memegang peran domestik dalam rumah tangga, sementara pengelolaan hutan identik dengan ranah publik yang didominasi laki-laki.
  • Implementasi Perhutanan Sosial perlu mempertimbangkan dinamika kuasa dalam komunitas supaya dapat melibatkan kelompok perempuan secara berarti. Pengarusutamaan gender dalam implementasi Perhutanan Sosial dan pendampingan yang sensitif terhadap gender dapat menjadi cara praktis untuk memastikan keterlibatan perempuan.