Asap beracun dari kebakaran hutan di Sumatra dan Kalimantan yang belum lama ini terjadi membawa dampak yang sangat buruk bagi kesehatan masyarakat di Indonesia. Peristiwa semacam ini tidak hanya berdampak saat ini, namun juga dapat memperparah krisis iklim di Indonesia ke depannya sehingga menghasilkan dampak jangka panjang.

Indonesia merupakan negara dengan populasi terpadat dan penghasil emisi terbesar keempat di dunia, jika kita memperhitungkan aspek penggunaan lahan (dari tahun 2014). Untuk mengatasi perubahan iklim, Indonesia telah menetapkan target iklim national (Nationally Determined Contribution/NDC) untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29 hingga 41 persen di tahun 2030. Kebakaran hutan hanya satu dari sekian banyak masalah yang dihadapi Indonesia.

NDC telah ditetapkan sebagai target nasional. Tantangan selanjutnya adalah bagaimana menerapkan target tersebut di tingkat lokal karena pemerintah daerah (seperti provinsi dan kabupaten) adalah yang bertanggung jawab untuk memastikan penerapan target ini sampai ke pelosok negeri.

Jika kita ingin memahami dan memastikan upaya pengurangan emisi tidak diam di tempat, kita harus dapat mengidentifikasi dari mana emisi ini berasal. Untuk membantu Indonesia menghadapi tantangan tersebut, Climate Watch Indonesia (CWI) telah mengumpulkan informasi terkait iklim dari kementerian dan Badan Pusat Statistik Indonesia. Informasi ini akan membantu masyarakat dan pemerintah dalam melacak kemajuan upaya pengurangan emisi di Indonesia, memahami hubungan antara tujuan pengurangan emisi dan tujuan pembangunan, mempelajari emisi tiap provinsi dan cara penanggulangannya, serta membandingkan target iklim di setiap provinsi.

Berikut adalah beberapa temuan penting dari platform tersebut.

1. Sektor Kehutanan dan Energi Menjadi Kontributor Emisi Nasional Terbesar

Sektor kehutanan dan energi merupakan penghasil emisi terbesar sejak tahun 2010 dengan masing-masing total emisi mencapai 67% dan 22% di tahun 2014. Penyebab emisi di sektor kehutanan berbeda-beda setiap tahunnya, mulai dari konversi lahan, kebakaran hutan, hingga degradasi gambut. Di sektor energi, emisi sebagian besar dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar. Sementara emisi sektor pertanian turun 6 persen dari tahun 2010, emisi dari sektor industri dan limbah meningkat secara bertahap setiap tahunnya.

2. Tiga dari 10 Provinsi Penghasil Emisi Tertinggi Sudah Melebihi Batas Emisi Mereka untuk Tahun 2020

Sebagai bagian dari Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) di tahun 2011, setiap provinsi harus mengajukan rencana aksi iklim tingkat daerah mereka yang dikenal dengan Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK). Dalam rencana tersebut, setiap provinsi wajib menentukan target pengurangan emisi mereka untuk tahun 2020.

Namun, beberapa provinsi masih berada jauh dari target tersebut. Jawa Timur, Bengkulu dan Sulawesi Selatan yang mengalami peningkatan emisi selama lima tahun terakhir telah melewati ambang batas emisi mereka untuk tahun 2020.

Tingginya aktivitas industri di Jawa Timur diperkirakan akan mengakibatkan peningkatan emisi di provinsi tersebut. Saat ini, PDB daerah meningkat hampir dua kali lipat dari tahun 2010. Peningkatan ini diperkirakan akan diikuti dengan peningkatan emisi mengingat sektor industri menyumbang hampir 30 persen dari pendapatan provinsi.

Konversi penggunaan lahan diperkirakan akan menghasilkan tingkat emisi yang tinggi di Bengkulu dan Sulawesi Selatan sebagai wilayah yang banyak mengalami deforestasi. Selain itu, Bengkulu yang bergantung pada batu bara sebagai komoditas ekspor utama, diikuti oleh karet dan kelapa sawit, juga memiliki industri pertambangan batu bara yang besar. Industri tersebut tentunya berkontribusi cukup besar terhadap peningkatan emisi di Bengkulu.

Sulawesi Selatan baru-baru ini menandatangani Nota Kesepahaman dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia (Bappenas) untuk menerapkan rencana pembangunan rendah karbon. Komitmen ini perlu diwujudkan sebagai langkah pencegahan yang jelas disertai dengan mekanisme pemantauan yang lebih ketat.

Provinsi-provinsi lain memang belum melampaui ambang batas emisi, tetapi masih belum bisa dipastikan apakah masih memungkinkan bagi mereka untuk mencapai target emisi di tahun 2020.

3. Provinsi Mana yang Memiliki Kegiatan Ekonomi dengan Intensitas Karbon Tertinggi?

Emisi per unit PDB juga menghitung intensitas karbon sebuah perekonomian. Jumlah karbon yang lebih rendah mengindikasikan efisiensi yang lebih baik, setidaknya terkait emisi, dalam kegiatan ekonomi tersebut. Contohnya, intensitas karbon kegiatan ekonomi yang berkaitan dengan jasa lebih rendah dibandingkan kegiatan manufaktur.

Bengkulu dan Riau memiliki kegiatan ekonomi dengan intensitas karbon tertinggi di antara 34 provinsi di Indonesia. Kedua provinsi tersebut bergantung secara ekonomi pada kegiatan-kegiatan yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah besar, khususnya kegiatan eksploitasi lahan. Selain itu, provinsi tersebut juga kerap mengalami kebakaran hutan yang meningkatkan emisi secara signifikan.

Ekonomi Riau juga bergantung pada pertumbuhan sektor berbasis lahan seperti industri kertas dan kelapa sawit serta industri tradisional seperti pertambangan, penggalian dan manufaktur. Namun, penerapan tata kelola hutan dan penggunaan lahan yang belum memadai meningkatkan potensi kebakaran hutan dan gambut. Kebakaran tersebut memperburuk kualitas udara sehingga menyebabkan penyakit pernapasan di masyarakat. Sama halnya dengan Riau, Bengkulu juga bergantung pada sektor berbasis lahan. Anehnya, meskipun bergantung pada komoditas perkebunan utama, Bengkulu malah tercatat sebagai provinsi dengan pendapatan terendah kelima setelah Maluku Utara, Gorontalo, Sulawesi Barat dan Maluku. Jika manfaat ekonomi dan kesejahteraan sosial tidak seimbang, provinsi yang terus bergantung pada sektor berbasis lahan lama-lama akan kehabisan sumber daya.

Pentingnya Memahami Emisi

Berdasarkan komitmen iklim nasional dalam NDC, ke-34 provinsi di Indonesia memiliki tanggung jawab yang besar untuk mengurangi emisi. Berarti, praktik pembangunan berkelanjutan harus mulai diturunkan ke tingkat provinsi untuk menghentikan kegiatan-kegiatan penghasil karbon dalam jumlah besar.

Sumber daya Climate Watch Indonesia dapat mendukung upaya pemerintah Indonesia mempersiapkan penerapan aksi iklim di tingkat daerah dengan menyediakan informasi terkait status emisi saat ini dan profil sektoral di tingkat provinsi, sehingga rencana pembangunan rendah karbon yang strategis dan penerapannya dapat dirancang dengan lebih baik.

Sebagai negara berkembang, Indonesia perlu memastikan bahwa komitmen iklim berjalan sesuai dengan prioritas pembangunannya. Untuk itu, Climate Watch Indonesia juga mengidentifikasi keterkaitan antara data iklim dengan kebijakan pembangunan. Hal ini juga akan menciptakan narasi yang lebih kuat untuk pertumbuhan hijau ke depannya.

Dengan memanfaatkan data Climate Watch Indonesia untuk meningkatkan pemahaman tentang emisi, para pengambil keputusan dan aktor terkait lainnya dapat menemukan solusi pelestarian lingkungan tanpa meninggalkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial.