Pandemi COVID-19 telah membuka mata kita terhadap berbagai masalah yang dihadapi dalam sistem pangan Indonesia. Pandemi ini tidak hanya mengganggu rantai pasokan dan membatasi produksi pangan, tetapi juga menunjukkan berbagai aspek yang bisa mengganggu ketahanan pangan dalam jangka panjang, seperti masalah akses pangan akibat tingkat ketergantungan pasar yang tinggi dan berbagai tantangan logistik, serta masalah akses ekonomi di tengah berkurangnya daya beli masyarakat atas pangan akibat kehilangan pekerjaan dan mata pencaharian.

Pandemi ini juga memaksa kita untuk mencari cara-cara baru untuk meningkatkan ketahanan sistem pangan kita. Pada bulan Desember 2020, sebuah laporan yang dirilis oleh Panel Tingkat Tinggi untuk Ekonomi Laut Berkelanjutan menyoroti potensi peran laut dalam mengatasi kerawanan pangan dan malnutrisi serta mengubah sistem pangan kita untuk meningkatkan ketahanan terhadap guncangan dan perubahan iklim.

Berikut cara makanan laut dapat membantu Indonesia mencapai ketahanan pangan dan gizi:

Pertama, kontribusi ikan dan makanan laut sebagai sumber protein dan nutrisi lainnya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa makanan laut, khususnya ikan, merupakan bagian penting dari pola makan masyarakat Indonesia yang menyumbang 50 persen dari seluruh asupan protein hewani dan berperan sebagai sumber protein yang terjangkau bagi masyarakat ekonomi lemah. Meskipun ikan menyumbang 50 persen dari total konsumsi protein hewani di Indonesia, data menunjukkan bahwa asupan protein di Indonesia masih termasuk rendah berdasarkan pedoman gizi yang berlaku, terutama dibandingkan dengan konsumsi karbohidrat. Ini menjadi salah satu faktor mengapa Indonesia menjadi salah satu negara terbesar di dunia yang menghadapi dua permasalahan gizi buruk sekaligus, yaitu kurang gizi dan gizi berlebih yang menyebabkan stunting dan obesitas.

Untuk mengatasi masalah ini, makanan laut dapat menjadi sumber protein, lemak esensial dan nutrisi yang andal untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan. Ikan laut air hangat tropis di perairan Indonesia memiliki kandungan kalsium, zat besi dan zinc yang tinggi. Dengan kandungan protein yang tinggi, ikan menjadi pilihan sumber protein yang lebih baik dibandingkan daging, dan menyediakan zat gizi mikro (seperti vitamin A, B, D, dll.) yang diperlukan untuk memerangi tingginya angka stunting dan malnutrisi di negara ini. Selain itu, ikan dapat menjadi sumber protein yang terjangkau bagi masyarakat ekonomi rendah yang dapat diakses di pasar atau dipanen langsung di wilayah pesisir atau laut.

Kedua, kontribusi mata pencaharian berkelanjutan.

Sektor perikanan masih menjadi sumber mata pencaharian penting bagi masyarakat nelayan skala kecil, individu dan tradisional. Sekitar 90 persen nelayan di Indonesia adalah nelayan skala kecil dan lebih dari 80 persen tangkapan ikan Indonesia berasal dari perikanan skala kecil.

Namun, penangkapan ikan skala kecil sering disebut sebagai “pilihan mata pencaharian terakhir” dan dianggap sebagai kategori turunan dalam rencana pembangunan perikanan nasional. Nelayan juga masih menjadi salah satu masyarakat termiskin, di mana 2,7 juta nelayan Indonesia termasuk dalam 25 persen dari total masyarakat miskin nasional dan sebagian besar dari mereka hidup di bawah garis kemiskinan. Bantuan dari pemerintah yang terbatas bagi nelayan skala kecil dalam agenda perikanan nasional seringkali meninggalkan nelayan skala kecil sehingga mereka tidak dapat keluar dari kemiskinan. Situasi ini juga semakin diperparah oleh krisis COVID-19.

Menyediakan mata pencaharian bagi nelayan dan meningkatkan kemampuan mereka sangat penting untuk memastikan aksesibilitas dan stabilitas ketahanan pangan bagi satu kelompok populasi yang sangat besar di Indonesia. Selain itu, ada kebutuhan mendesak untuk memperhatikan nelayan perempuan dan perempuan yang bekerja di sektor perikanan.

Ketiga, kontribusi keragaman sumber pangan dengan dampak lingkungan yang lebih rendah dibandingkan makanan darat.

Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan pola makan dan mata pencaharian yang lebih beragam melalui panen dan produksi makanan dari laut.

Budidaya laut (marikultur) di Indonesia adalah yang paling produktif dan memiliki potensi untuk mengambil peran penting dalam ketahanan pangan dan gizi Indonesia, terutama untuk budidaya laut tanpa pakan (seperti rumput laut dan bivalvia). Produksi rumput laut merupakan bagian terbesar dari total produksi akuakultur di Indonesia. Seperti organisme budidaya laut lainnya, rumput laut tidak memerlukan pakan tambahan karena mereka mengekstrak sumber makanan dari lingkungan sekitarnya sehingga biaya operasional yang dibutuhkan lebih rendah. Bivalvia laut (seperti, remis, kerang, tiram) juga merupakan sumber makanan yang berprotein tinggi dan terjangkau. Mereka juga membantu membersihkan saluran air di dalam atau ke laut dengan memakan partikel-partikel organik seperti alga berlebih.

Selain itu, banyak hasil laut berbasis ekosistem lokal lain yang telah lama menjadi sumber pangan lokal yang terjangkau dan berprotein tinggi. Contohnya Bactronophorus sp. yang memiliki banyak nama di Indonesia, yaitu moluska yang hidup di kayu mati yang terendam air payau. Moluska ini menjadi sumber protein penting bagi orang Mentawai di Sumatera Barat dan dikenal dengan nama toek. Toek dipanen dari batang pohon tumung (genus Campnosperma) yang telah terendam air payau selama berbulan-bulan. Konsumsi toek juga turut mendorong perlindungan pohon tumung di hutan pantai. Selain itu, praktik ini juga membuktikan bahwa pangan lokal dapat dieksplorasi untuk membuka peluang untuk menginisiasi dan mengintegrasikan kearifan lokal ke dalam pengelolaan sumber daya laut.

Indonesia memiliki potensi untuk lebih jauh mengembangkan budidaya laut tanpa pakan secara berkelanjutan. Sayangnya, banyak wilayah pesisir Indonesia yang mengalami pencemaran berat. Hal ini menjadi tantangan bagi budidaya laut tanpa pakan, karena lingkungan yang tercemar dapat mempengaruhi kelayakan konsumsi bivalvia dan rumput laut yang dapat menyerap polusi, racun dan bakteri dari air. Dengan demikian, untuk mengembangkan marikultur secara berkelanjutan diperlukan komitmen untuk memberantas masalah pencemaran di wilayah pesisir.

Meskipun perubahan iklim diperkirakan akan menurunkan produktivitas marikultur, penelitian menunjukkan bahwa penurunan tersebut tidak terlalu signifikan jika dibandingkan dengan potensi produksinya. Selain itu, budidaya makanan melalui marikultur juga membawa manfaat terkait perubahan iklim, karena produksinya tidak secara langsung mengakibatkan konversi lahan dan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan juga lebih rendah. Dengan demikian, pengembangan marikultur yang berkelanjutan juga membantu meningkatkan akses banyak orang kepada makanan laut.

Kesimpulannya, ada kebutuhan mendesak untuk menggali potensi pangan dari laut yang belum dimanfaatkan untuk meningkatkan ketahanan pangan dan gizi Indonesia. Salah satu cara adalah dengan mendorong penggunaan pangan dari laut, terutama jenis pangan yang sudah dikenal oleh penduduk setempat. Dengan begitu, laut dapat berkontribusi kepada ketahanan sistem pangan melalui penciptaan sumber mata pencaharian dan produksi pangan ramah iklim.