Sejak Revolusi Industri, umat manusia telah menghasilkan lebih dari 2.000 gigaton karbon dioksida ke dalam atmosfer. (Satu gigaton setara dengan satu miliar metrik ton.)

Gas rumah kaca tebal yang menyelimuti planet kita merupakan penyebab pemanasan global yang kita rasakan saat ini. Jika kita tidak melakukan perubahan, dampak iklim seperti kebakaran hutan, gelombang panas yang menyengat dan kenaikan permukaan air laut yang membahayakan akan terus berlanjut.

Untuk memitigasi perubahan iklim, kita harus segera mengurangi emisi secara drastis—contohnya dengan mendorong penggunaan energi terbarukan, meningkatkan efisiensi energi, menghentikan deforestasi dan mengurangi penggunaan polutan tinggi seperti hidrofluorokarbon (HFC). Namun, menurut penemuan iklim terbaru, masih banyak hal lain yang perlu dilakukan untuk mencegah perubahan iklim di tingkat yang berbahaya. Untuk menjaga kenaikan suhu global kurang dari 1,5-2 derajat C, batas kenaikan suhu paling tinggi untuk mencegah dampak iklim terburuk, menurut para ilmuwan, mengurangi emisi saja tidak cukup. Kita juga harus memindahkan karbon dari atmosfer. Bahkan, hampir semua skenario iklim menunjukkan bahwa kita harus mengurangi miliaran metrik ton karbon dioksida setiap tahun hingga pertengahan abad mendatang, di samping mendorong pengurangan emisi.

Banyak cara yang dapat dilakukan untuk menghapus karbon, mulai dari teknologi baru hingga praktik pengelolaan lahan. Pertanyaan besarnya adalah apakah pendekatan-pendekatan ini dapat mencapai target pengurangan karbon dalam skala yang diperlukan dalam beberapa dekade mendatang.

<p>Catatan: Ini adalah skenario dengan peluang minimum 66 persen untuk membatasi pemanasan global di bawah 2°C. Dengan aksi iklim yang kuat pun, emisi gas rumah kaca bruto (CO2 dan non-CO2) akan tetap tersisa pada akhir abad ini karena terlalu sulit atau mahal untuk menghapus seluruh karbon yang ada. Ketika emisi negatif melebihi emisi yang tersisa, barulah emisi nol bersih tercapai. Semakin cepat dan/atau jauh pengurangan emisi yang dilakukan, kebutuhan penghapusan karbon semakin berkurang. Sebaliknya, semakin lambat dan/atau lemah pengurangan emisi yang dilakukan, kebutuhan penghapusan karbon semakin bertambah.</p>

Catatan: Ini adalah skenario dengan peluang minimum 66 persen untuk membatasi pemanasan global di bawah 2°C. Dengan aksi iklim yang kuat pun, emisi gas rumah kaca bruto (CO2 dan non-CO2) akan tetap tersisa pada akhir abad ini karena terlalu sulit atau mahal untuk menghapus seluruh karbon yang ada. Ketika emisi negatif melebihi emisi yang tersisa, barulah emisi nol bersih tercapai. Semakin cepat dan/atau jauh pengurangan emisi yang dilakukan, kebutuhan penghapusan karbon semakin berkurang. Sebaliknya, semakin lambat dan/atau lemah pengurangan emisi yang dilakukan, kebutuhan penghapusan karbon semakin bertambah.

Setiap pendekatan memiliki tantangan dan keterbatasannya masing-masing. Serial makalah kerja WRI yang baru mengeksplorasi berbagai kemungkinan dan tantangan dalam menggunakan metode penghapusan karbon untuk memerangi perubahan iklim.

Berikut adalah enam pilihan cara penghapusan karbon dari atmosfer:

1) Hutan

Fotosintesis menghapus karbon dioksida secara alami—dan peran pohon sangat besar dalam menyimpan karbon yang dilepaskan dari atmosfer melalui proses fotosintesis. Perluasan, pemulihan dan pengelolaan hutan dapat mendorong penyerapan karbon lebih banyak dengan memanfaatkan kemampuan fotosintesis untuk mengubah karbon dioksida di udara menjadi karbon yang tersimpan di dalam kayu dan tanah. Menurut para ilmuwan, di Amerika Serikat saja, potensi penghapusan karbon melalui cara ini mencapai ratusan juta metrik ton per tahun. Misalnya, setiap ekar lahan yang dipulihkan kembali menjadi hutan sedang dapat menyerap sekitar 3 metrik ton CO2 per tahun. Pendekatan ini relatif murah (umumnya kurang dari US$50 per metrik ton) dan dapat menghasilkan air dan udara yang lebih bersih dalam prosesnya.

Memastikan bahwa perluasan hutan di satu area tidak mengorbankan hutan di tempat lain menjadi salah satu tantangan utama. Misalnya, penghijauan lahan pertanian akan mengurangi pasokan makanan. Bila produktivitas pertanian tidak dapat ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut, hutan lain akan dikonversi menjadi lahan pertanian. Begitu juga dengan kayu. Penghentian panen kayu di satu hutan dapat menyebabkan panen kayu yang berlebihan di hutan lain. Dengan adanya dinamika ini, pemulihan dan pengelolaan hutan yang ada serta penanaman kembali lahan di luar pertanian menjadi begitu penting.

2) Lahan Pertanian

Tanah memang menyimpan karbon secara alami. Namung kandungan karbon ini berkurang jauh di tanah pertanian karena penggunaannya yang intensif. Mengingat lahan pertanian begitu luas—di Amerika Serikat saja luasnya lebih dari 900 juta ekar (364 hektar), peningkatan jumlah karbon tanah per hektar sekecil apa pun bisa memiliki dampak besar. Keberadaan karbon tanah juga dapat meningkatkan kegemburan tanah dan kualitas panen sehingga baik bagi petani dan peternak. Penanaman pohon di lahan pertanian juga dapat menghapus karbon, selain memberikan manfaat lain seperti tempat berteduh dan makanan ternak.

Ada banyak cara untuk meningkatkan kandungan karbon dalam tanah. Menanam tanaman penutup tanah saat lahan tidak ditanami dapat memperpanjang siklus fotosintesis sepanjang tahun, menyerap sekitar setengah metrik ton CO2 per ekar per tahun. Kompos dapat meningkatkan hasil panen sekaligus menyimpan kandungan karbon di dalam tanah. Para ilmuwan sedang berupaya menciptakan tanaman dengan akar yang lebih dalam agar lebih tahan menghadapi kemarau serta dapat mengirim lebih banyak karbon ke dalam tanah.

Dalam skala besar, pengelolaan tanah untuk menghasilkan karbon cukup sulit untuk dilakukan. Sistem alami yang ada sangat beragam sehingga sulit untuk memprediksi, mengukur dan memantau manfaat karbon yang dihasilkan setiap ekar tanah yang dikelola dalam jangka panjang. Efektivitas penerapan praktik ini juga masih menjadi perdebatan. Terlebih lagi, kondisi atau praktik manajemen terus berubah dari tahun ke tahun. Akibatnya, upaya yang telah dilakukan dapat terbuang percuma begitu saja. Penghapusan karbon besar-besaran membutuhkan banyak lahan pertanian. Oleh karena itu, pemerintah dan pihak lain perlu menciptakan kondisi yang mendukung bagi para pemilik tanah untuk menyimpan karbon lebih banyak.

3) Bio Energi melalui Penangkapan dan Penyimpanan Karbon (BECCS)

BECCS adalah cara lain untuk memanfaatkan fotosintesis dalam rangka melawan perubahan iklim, namun cara ini jauh lebih rumit dibandingkan penanaman pohon atau pengelolaan tanah—dan belum tentu berhasil dalam melawan perubahan iklim. BECCS adalah sebuah proses untuk menghasilkan energi pada sektor industri, pembangkit listrik atau transportasi menggunakan biomassa; dimana kandungan karbon diserap sebelum dilepaskan kembali ke atmosfer; kemudian disimpan di bawah tanah atau produk tahan lama seperti beton. Jika BECCS dapat menghasilkan lebih banyak biomassa atau menyimpan lebih banyak karbon dari yang dilepaskan ke atmosfer, penghapusan karbon bersih dapat tercapai.

Namun tidak mudah untuk mengukur apakah kriteria-kriteria tersebut sudah terpenuhi. Selain itu, jika BECCS bergantung pada tanaman bioenergi, justru dapat berdampak buruk pada produksi pangan atau ekosistem alami karena manfaat iklim yang hilang serta kerawanan pangan dan kehilangan ekosistem yang semakin buruk.

Beberapa bentuk BECCS dapat mengonversi limbah seperti sisa hasil pertanian atau sampah menjadi bahan bakar. Pakan ternak bisa yang tidak membutuhkan lahan khusus bisa menjadi kunci masa depan BECCS. Meskipun begitu, perhitungannya harus benar—mengingat besarnya kemungkinan untuk menerapkan BECCS dengan tidak tepat—atau manfaat iklim yang diharapkan dari BECCS tidak akan dapat dihasilkan.

4) Direct Air Capture

Direct air capture merupakan proses kimiawi penangkapan karbon dioksida langsung dari udara normal untuk kemudian disimpan di bawah tanah atau dalam produk tahan lama. Teknologi baru ini mirip dengan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon untuk berbagai sumber emisi seperti pembangkit listrik dan fasilitas industri. Hanya saja, direct air capture tidak mengurangi emisi, namun menghapus karbon dari atmosfer. Relatif mudah untuk mengukur dan memperhitungkan manfaat iklim melalui metode direct air capture. Selain itu, potensi skala penggunaannya juga sangat besar. Sayangnya, teknologi ini masih mahal dan boros energi. Biaya penerapan teknologi baru seringkali sulit dihitung, namun sebuah studi baru memperkirakan bahwa biayanya bisa mencapai sekitar $94-$232 per metrik ton, lebih rendah dari perhitungan sebelumnya.

Direct air capture juga membutuhkan sumber panas dan daya yang besar—untuk menangkap 1 gigaton karbon dioksida dari udara dibutuhkan sekitar 7 persen dari proyeksi total produksi energi AS pada tahun 2050. Teknologi ini juga membutuhkan sumber energi rendah atau nol-karbon untuk mencapai penghapusan karbon bersih.

Investasi pengembangan dan penyebaran teknologi, disertai dengan penyebaran energi bersih murah yang terus meningkat, dapat meningkatkan prospek penerapan direct air capture dalam skala besar. Sejumlah perusahaan telah mulai mengembangkan sistem direct air capture, meskipun hampir tidak ada dana yang dikucurkan oleh publik untuk penelitian dan pengembangan teknologi ini. Intinya, teknologi direct air capture ini relatif masih baru dan sistem-sistem yang ada saat ini masih dalam tahap pengembangan awal untuk jenis teknologi ini.

5) Seawater Capture

Seawater capture hampir sama dengan direct air capture, hanya saja di sini CO2 diambil dari air laut, bukan udara. Dengan mengurangi konsentrasi CO2 di lautan, air akan menarik lebih banyak karbon dari udara untuk mencapai keseimbangan. Air laut memiliki larutan CO2 yang lebih pekat dibandingkan udara normal. Artinya, karbon dioksida dan karbon lebih mudah dipisahkan dengan metode ini dibandingkan menggunakan teknologi direct air capture. Akan tetapi, air laut juga jauh lebih berat dibandingkan udara sehingga pemindahan karbon menjadi lebih sulit. Pemasangan teknologi di area laut yang sulit juga menjadi tantangan tersendiri dalam penerapan seawater capture.

Angkatan Laut AS juga telah menerapkan prototipe untuk alat seawater capture. Mengingat CO2 dapat diubah menjadi bahan bakar dengan menambahkan energi (kebanyakan kapal Angkatan Laut memiliki cadangan reaktor nuklir), dengan teknologi ini, kapal laut dapat memproduksi bahan bakar sendiri tanpa perlu berhenti untuk mengisi bahan bakar. Karbon yang telah ditangkap menjadi bahan bakar dan dipakai tentu saja akan kembali ke atmosfer. Akan tetapi, ke depan, teknologi semacam ini dapat menjadi tempat penyimpanan karbon untuk jangka panjang.

6) Meningkatkan Pelapukan

Beberapa mineral secara alami bereaksi dengan CO2, mengubah karbon dari gas menjadi padat. Proses ini dikenal sebagai “pelapukan” dan biasanya terjadi sangat lambat—jika dilihat dalam waktu geologis. Para ilmuwan sedang mencari cara untuk mempercepat proses ini, terutama dengan meningkatkan paparan CO2 yang ada di udara atau laut kepada mineral-mineral ini. Upaya ini dapat dilakukan dengan memompa mata air alkali dari bawah tanah ke permukaan, dimana mineral dapat bereaksi dengan udara; mengalirkan udara melalui deposit besar yang ada di bagian belakang tambang—sisa batuan dari kegiatan penambangan—dengan kandungan komposisi mineral yang tepat; menghancurkan atau mengembangkan enzim yang mengikis deposit mineral untuk meningkatkan luas permukaan dan mencari cara untuk melapukkan produk-produk hasil industri seperti abu bahan bakar, serbuk pembakaran atau ampas besi dan baja. Para ilmuwan menunjukkan bahwa pelapukan dapat ditingkatkan, walaupun banyak yang harus dilakukan untuk memetakan cara penerapan pendekatan ini secara hati-hati dengan biaya yang efisien.

Masa Depan Penghapusan Karbon

Saat ini, kita tidak tahu strategi mana yang dapat menghasilkan penghapusan karbon paling besar di masa depan dan mana yang paling tidak efisien. Masing-masing pendekatan memiliki potensi dan tantangan tersendiri. Tetapi kita tahu bahwa untuk menghindari pemanasan global yang berbahaya, penangkapan dan penyimpanan karbon yang ada di udara harus menjadi bagian dari strategi iklim di Amerika Serikat dan seluruh dunia. Sudah saatnya untuk berinvestasi pada berbagai pendekatan penghapusan karbon yang sudah ada–baik untuk penelitian, pengembangan, uji coba, penerapan tahap awal maupun persiapan untuk membangun lingkungan yang kondusif—agar pendekatan-pendekatan ini dapat diterapkan pada skala yang kita butuhkan dalam beberapa dekade mendatang.