Tulisan ini awalnya dipublikasikan di Koran Tempo pada 4 Mei 2016.

Dalam pencanangan Sensus Ekonomi 2016 di Istana Negara 26 April lalu, Presiden Joko Widodo antara lain menyebutkan bahwa data pangan tidak akurat. Ketidakakuratan data dapat menyebabkan setidaknya kesalahan perencanaan, alokasi sumberdaya pembangunan yang tidak efisien. Situasi ini adalah cerminan dari narasi besar tentang peran kunci data yang berkualitas dalam pembangunan.

Data akurat, mutakhir, lengkap, dan terbuka sehingga dapat diakses luas merupakan prasyarat bagi pengelolaan pembangunan yang bermutu dan bagi pelibatan masyarakat dalam pengelolaan pembangunan yang partisipatif.

Kita tengok agenda pembangunan global sebagai kelanjutan Tujuan Pembangunan Milenium (MDG) yaitu Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) pada tujuan ketujuhbelas sasaran kedelapanbelas. Di situ disebutkan bahwa pada 2020, seluruh negara berkembang ditargetkan dapat meningkatkan secara signifikan ketersediaan data berkualitas tinggi, andal, dan tepat waktu. Target ini kiranya berlaku pula bagi Indonesia, walaupun secara ekonomi kita sudah beranjak meninggalkan kelas negara berkembang. Data pangan adalah salah satu contoh mengapa Indonesia perlu secara khusus melakukan usaha peningkatan kualitas penyelenggaraan data.

Ada tiga ilustrasi terkait peningkatan kualitas penyelenggaraan data dan fakta bahwa Indonesia mengikatkan diri pada pelaksanaan agenda global SDG.

Perlunya Otoriter

Data produksi beras sebagai salah satu jenis pangan ditentukan oleh luasan sawah. Selanjutnya, luasan sawah mempengaruhi berbagai target, program, dan penganggaran bidang pertanian. Alokasi pupuk, pemeliharaan irigasi, pencetakan sawah, dan besaran impor beras adalah di antara beberapa hal yang akan dipengaruhi oleh data ini. Penanggung jawab pengumpulan data adalah Kementerian Pertanian, dan Badan Pusat Statistik (BPS) meramunya untuk kepentingan perencanaan. Data dikumpulkan di tingkat kecamatan oleh Dinas Pertanian di daerah untuk disampaikan oleh kabupaten/kota ke provinsi. Berdasarkan regulasi, kepala daerah masing-masing tingkatan harus memberikan persetujuan sebelum data dinaikkan ke pusat. Ini adalah proses penyelenggaraan data yang rawan intervensi mengingat data luasan sawah dan produksi akan mempengaruhi alokasi program dan anggaran ke daerah. Proses penyelenggaraan data ini memakan waktu panjang dan tidak pernah tepat waktu sesuai siklus perencanaan pembangunan. Ketidakakuratan data antara lain beranjak dari proses ini.

Inilah saatnya BPS berlaku otoriter dengan memanfaatkan fakta tanpa perlu jengah dengan regulasi yang ada. Kementerian Agraria dan Tata Ruang selaku penanggung jawab pemutakhiran lahan sawah berkelanjutan sudah memiliki data luasan sawah berdasarkan citra satelit resolusi tinggi. Citra satelit tidak menipu, sehingga BPS dapat meminjam fakta ini dan menghitung sendiri luasan sawah serta potensi produksinya, dan kemudian menetapkan angka atau data pangan indikatif secara sepihak. Akurasinya dijamin tinggi dan terbebas dari intervensi politik pemerintah daerah.

Jika pemerintah daerah memainkan kartu regulasi, maka BPS dapat meminta pemerintah daerah mengajukan klaim yang dilengkapi bukti berupa citra satelit resolusi tinggi terkini wilayah sawahnya. Hanya klaim yang terbukti valid yang dapat merubah angka atau data pangan indikatif tersebut. Proses ini singkat dan memungkinkan perencanaan tepat waktu dengan data mendekati akurat.

Satu Data, Satu Peta

Penyelenggaraan data di kementerian dan daerah tidak memiliki prosedur standar. Pusat data dan informasi (pusdatin) pada masing-masing kementerian memiliki tata kerja dan lingkup kerja yang bervariasi. Produsen data dalam kementerian bisa lebih dari satu unit, dapat berupa unit khusus atau sub-unit dari bagian lain dengan prosedur yang berbeda-beda. Diskusi terfokus sekitar 40 kementerian dengan UKP4, BAPPENAS, BPS, BIG dan UNDP tahun lalu tentang penyelenggaraan data untuk pembangunan berkelanjutan menghasilkan cetak biru Satu Data. Secara garis besar, cetak biru tersebut menekankan perbaikan tata kerja (business process) penyelenggaraan data di dalam internal kementerian yang menempatkan unit pusdatin sebagai satu-satunya unit penyelenggaraan data.

Penerapan satu standar produksi data, satu rujukan format metadata, dan satu skema rilis data yang dikawal oleh pusdatin akan menghasilkan data berkualitas yang kompatibel untuk dipakai lintas sektoral. BAPPENAS menetapkan jenis dan satuan data pembangunan apa saja yang minimal diperlukan. BPS dan BIG menetapkan standar produksi dan format metadata. Pusdatin kementerian menjaga dan memastikan kualitas data serta merilisnya ke publik atau pihak ketiga yang memerlukan.
Jika Presiden Joko Widodo menekankan perlunya kebijakan Satu Peta untuk sinkronisasi peta, maka Satu Data juga tidak kalah pentingnya.

Kesiapan Data SDG

Kekhawatiran atas kualitas data dan penyelenggaraan data tercatat sebagai salah satu bagian dari SDG, dan dua ilustrasi diatas menguatkannya. Bagaimanakah kesiapan penyelenggaraan data Indonesia saat ini untuk melaksanakan SDG pasca 2015?

Penelitian desk review atas kesiapan data telah dilakukan oleh UNEP dan UNDP. Penelitian dilakukan dengan membandingkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dengan tujuan dan sasaran SDG untuk mendapatkan variasi data yang harus tersedia. Selanjutnya, penelitian tersebut mencermati 323 indikator SDG dan kebutuhan datanya serta ketersediaannya baik pada lingkup kementerian dan daerah. Hasilnya, 67,8% data sangat siap untuk dipakai mengukur pelaksanaan SDG di Indonesia.

Data kategori yang sangat siap berarti: Data tersedia, indikator dapat langsung digunakan tanpa penyesuaian berarti, data berbasis survei dengan waktu penyediaan relatif tepat, memiliki metode jelas, dan relevan.

Penelitian desk review tentu memiliki keterbatasan. Pada tujuan pertama sasaran keempat SDG terkait akses masyarakat terhadap sumber daya produksi, terdapat kebutuhan data pencetakan sawah. Pada tujuan kedua sasaran pertama, terdapat kebutuhan data rata-rata jumlah makanan tersedia per hari. Sumber data keduanya dipengaruhi oleh penyelenggaraan data di bagian paling hulu yang dipertanyakan akurasinya oleh Presiden Joko Widodo dalam pencanangan Sensus Ekonomi 2016 tersebut. Jadi, data sangat siap masih perlu pencermatan lebih lanjut untuk menggambarkan secara nyata situasi yang ada.

Bebenah dengan Cepat

Pemerintah perlu perbaikan tata kerja dan tata kelola penyelenggaraan data secara cepat. Perbaikan perlu dilakukan dibagian hulu, bukan hanya pada tabel dan angka yang terlihat di ranah publik. Data berkualitas adalah jaminan kredibilitas pemerintahan.