Asia adalah kawasan yang berperan penting bagi transisi energi bersih di dunia. Asia menyumbang hampir setengah dari permintaan energi global dan saat ini merupakan kawasan penghasil emisi tertinggi di dunia, melampaui penghasil emisi terberat terberat dalam sejarah di Amerika Utara dan Eropa. Terlepas dari tantangan ekonomi yang ditimbulkan oleh pandemi COVID-19, banyak negara di kawasan Asia Pasifik terus mengalami pertumbuhan yang memecahkan rekor dalam energi terbarukan sejak tahun 2020.

Negara-negara dengan perekonomian raksasa dan negara-negara kecil terus meningkatkan bauran energi terbarukan untuk mencapai target, mengurangi emisi dan menjaga kesehatan masyarakat. Bagaimana negara-negara Asia dapat mewujudkan transisi energi bersih yang sukses?

Berikut beberapa contoh dari negara-negara di Asia dalam upaya mencapai transisi energi bersih yang sukses: Tiongkok, India, dan Indonesia; Vietnam, yang berhasil meraih keberhasilan dalam sektor energi terbarukan melampaui ekspektasi; dan Bangladesh, salah satu negara lebih kecil di Asia yang dapat memetik pelajaran dari para pemimpin regional dalam melakukan transisi energi hijau. Secara bersama-sama, negara-negara ini ditinggali oleh 43% penduduk dunia dan menyumbang lebih dari 35% konsumsi energi dunia.

Tiongkok

Pada bulan September 2020, Tiongkok mengumumkan niat mereka untuk menjadi netral karbon pada 2060, sebagai tindak lanjut yang signifikan dari komitmen sebelumnya untuk mencapai puncak emisi karbon pada tahun 2030. Satu tahun kemudian, negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia tersebut juga berjanji untuk berhenti membangun proyek batu bara di luar negeri, walaupun informasi detail tentang hal ini masih belum jelas. Tiongkok telah meraih perkembangan yang menjanjikan di tingkat domestik: kapasitas pembangkit listrik tenaga bayu merupakan yang tertinggi sepanjang masa, yakni 72,4 gigawatt (GW) pada tahun 2020, meningkat hampir tiga kali lipat dari tahun 2019. Di sisi lain, pembangkit listrik tenaga surya menyusul dengan kapasitas 49,3 GW, meningkat lebih dari 60% dari tahun sebelumnya.

Penambahan kapasitas tenaga bayu dan surya tahunan Tiongkok. Sumber: China Electricity Statistical Yearbook.

Walaupun demikian, batu bara masih terus beroperasi dan tetap menjadi sumber energi utama Tiongkok dengan memenuhi 49% kapasitas, dibandingkan dengan gabungan tenaga bayu dan tenaga surya yang hanya memenuhi 24% kapasitas. Untuk mencapai target pengurangan emisi, Tiongkok harus menindaklanjuti rencana nasional untuk memulai pengurangan batu bara secara bertahap pada pertengahan dekade. Meskipun pertumbuhan energi terbarukan diperkirakan akan terus berlanjut, perubahan yang signifikan dalam lanskap investasi tidak dapat dihindari karena penghentian subsidi jangka panjang serta kebutuhan akan peningkatan jaringan dan penerapan penyimpanan energi diperkirakan akan bertambah.

Kebijakan baru menjanjikan untuk menggantikan penghapusan subsidi, setidaknya secara parsial. Sejak tahun 2019, Tiongkok telah menerapkan Renewable Portfolio Standards, yang mewajibkan operator jaringan listrik, perusahaan listrik, dan beberapa pelanggan besar untuk memastikan bahwa penggunaan sumber energi terbarukan mereka memenuhi persentase minimum yang ditetapkan. Selain itu, skema perdagangan karbon nasional dimulai pada awal tahun 2021, yang diikuti oleh program percontohan perdagangan energi hijau di 17 provinsi. Walaupun dampak jangka pendek dari proyek-proyek ini tergolong kecil dan masalah akurasi pelaporan masih terjadi, perdagangan karbon dan energi hijau akan menjadi alat jangka panjang yang berharga untuk mengurangi emisi dan mendorong peningkatan energi bersih.

India

Pada bulan November 2021, India berkomitmen untuk mewujudkan emisi nol-bersih pada tahun 2070. Walaupun ada jarak sebesar 20 tahun antara jadwal pemerintah dan konsensus ilmiah tentang perlunya mencapai emisi nol-bersih pada tahun 2050 secara global, India masih dalam proses mengembangkan ekonomi dan mengangkat 360 juta orang keluar dari kemiskinan. India memiliki banyak masalah mendesak yang perlu ditangani — keandalan energi menjadi salah satu masalah utama. Komunitas pedesaan masih mengalami pemadaman yang berulang dan berkepanjangan, yang menghambat layanan penting seperti perawatan kesehatan dan pendidikan. Pertumbuhan permintaan energi Tiongkok diperkirakan akan tetap di bawah 20% selama dua dekade mendatang. Di sisi lain, permintaan energi India diperkirakan akan meningkat tajam: konsumsi energi diperkirakan akan bertumbuh hampir 70% hingga tahun 2040. Dengan demikian, penerapan energi bersih akan berperan penting dalam mengendalikan emisi di India, yang saat ini menjadi konsumen listrik terbesar ketiga di dunia.

Target energi terbarukan India yang agresif — belum lama ini dinaikkan menjadi 500 GW pada tahun 2030 —menguntungkan, seperti halnya kebijakan pemerintah yang stabil seperti penyediaan listrik prioritas, yang memberikan preferensi pasar untuk banyak rencana energi bersih di atas bahan bakar fosil (terlepas dari harganya), dan penghapusan biaya transmisi yang memberikan keunggulan finansial dibandingkan sumber energi konvensional. Upaya ini membuahkan hasil — peningkatan kapasitas energi bersih terus melampaui batu bara sejak tahun 2017. India tidak hanya siap mencapai target kapasitas energi terbarukan sebesar 175 GW pada tahun 2022, melainkan juga siap mencapai target untuk memasang kapasitas terbarukan sebesar 50% pada tahun 2030.

Kapasitas pembangkit listrik tenaga bayu dan surya tahunan India. Sumber: BloombergNEF.

Salah satu hal yang membuat India bangga adalah bahwa mereka memiliki pembangkit listrik tenaga surya termurah dan onshore wind termurah kedua di dunia —ini menjadi sumber pembangkit listrik massal paling ekonomis di negara itu. Mengingat sifat pembangkitan dari tenaga surya dan tenaga bayu yang bervariasi, investasi pada teknologi penyimpanan seperti baterai akan berperang penting untuk memastikan bahwa permintaan energi dipenuhi setiap saat. Untungnya, kombinasi penyimpanan baterai dengan tenaga bayu dan tenaga surya diperkirakan akan membutuhkan biaya yang lebih sedikit daripada batu bara dalam dekade mendatang. Fakta ini semakin mendukung pengembangan energi bersih yang terjangkau di India.

Terlepas dari perkembangan ini, batu bara — walaupun menurun — masih menjadi sumber energi yang dominan, dengan kontribusi sebesar 55% kapasitas terpasang. Transisi energi bersih yang sukses akan membutuhkan investasi sebesar $633 miliar selama dekade ini, tidak hanya di sektor energi terbarukan, tetapi juga di sektor lainnya seperti penyimpanan energi, infrastruktur jaringan, dan akan membutuhkan upaya dari sisi permintaan, seperti efisiensi energi. India perlu menjalankan langkah-langkah ini jika ingin mencapai target iklim jangka panjang. Akan tetapi, India tidak dapat (dan mereka memang sudah menegaskan bahwa mereka tidak akan dapat melakukannya) mencapainya sendiri. Investor dan negara-negara berpenghasilan tinggi harus meningkatkan komitmen mereka untuk menyediakan pembiayaan agar India dapat mencapai target iklim mereka.

Indonesia

Seperti halnya India, permintaan energi Asia Tenggara akan bertumbuh dengan sangat cepat — yakni mencapai 60% pada tahun 2040. Indonesia, sebagai ekonomi terbesar di kawasan ini akan mendorong sebagian besar pertumbuhan ini. Berita baiknya adalah bahwa Indonesia telah menyampaikan komitmennya di COP26 untuk berhenti menggunakan batu bara pada tahun 2040 (dengan bantuan internasional tambahan), sebagai tindak lanjut dari komitmen sebelumnya untuk mencapai emisi nol-bersih pada tahun 2060. Berita buruknya adalah bahwa kondisi Indonesia saat ini masih jauh dari target tersebut, bahan bakar fosil masih berkontribusi sebesar 87% dari kapasitas.

Akan tetapi, Indonesia juga diuntungkan karena berlokasi di Cincin Api Pasifik, daerah dengan banyak aktivitas tektonik dan vulkanik. Berkat hal ini, negara kepulauan ini memiliki potensi panas bumi terbesar di dunia, yang mencapai hampir setengah (46%) dari instalasi energi terbarukan. Ketersediaan tenaga surya dan tenaga bayu jauh lebih rendah, yakni hanya 5% dari total kapasitas.

Kapasitas terpasang pembangkit listrik terbarukan di Indonesia, 2019. Sumber: BloombergNEF.

Pada akhir tahun 2020, PLN meluncurkan program Sertifikat Energi Terbarukan (REC), yakni mekanisme yang diakui di tingkat internasional untuk melacak pembangkitan energi bersih. Sertifikasi ini harus dimiliki oleh setiap pasar energi terbarukan yang matang akan membantu utilitas memenuhi permintaan energi bersih yang ada, serta mendorong pengembangan lebih lanjut. Sumber terbarukan juga secara universal diberi status "must-run" oleh pemerintah. Dengan kata lain, apabila ada kelebihan pasokan listrik, pembangkit energi terbarukan harus terus beroperasi pada kapasitas maksimal — sehingga pembangkit bahan bakar fosil perlu mengurangi jam operasional.

Akan tetapi, Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan. Peraturan Indonesia melarang sebagian besar pengembang untuk secara langsung menandatangani perjanjian dengan pelanggan dan pengguna korporat dilarang membeli energi terbarukan dari sumber, selain on-site solar. Kondisi ini menjadi tantangan bagi perusahaan besar yang ingin mencapai target energi terbarukan mereka, termasuk Nike dan Coca-Cola yang telah menandatangani pernyataan permintaan energi terbarukan. Selain itu, pengembang sering kali terhambat oleh persyaratan tingkat komponen dalam negeri yang ketat — kebijakan yang mewajibkan perusahaan untuk menggunakan produk buatan dalam negeri. Ini sangat merugikan perkembangan tenaga surya dan tenaga bayu, mengingat bahwa kedua sumber energi ini masih tergantung pada peralatan yang diproduksi di luar negeri. Jika Indonesia ingin memanfaatkan energi terbarukan dan berhasil menghentikan penggunaan batu bara, Indonesia harus mengatasi hambatan kebijakan ini terlebih dahulu.

Vietnam

Vietnam, yang juga sudah menandatangani komitmen untuk berhenti menggunakan batu bara di COP26, membuat komitmen tambahan untuk mewujudkan emisi nol-bersih pada tahun 2050 — dengan dukungan internasional, seperti halnya Indonesia. Sebagai negara ekonomi menengah, Vietnam telah meraih perkembangan yang menakjubkan dalam energi bersih, dibandingkan dengan negara-negara besar sekalipun. Banyak pasar teratas untuk investasi energi terbarukan mengalami penurunan di tahun 2020, tetapi Vietnam menonjol dengan peningkatan sebesar 89%— terbesar ketiga di tingkat global. Selama beberapa tahun ke depan, Vietnam diproyeksikan akan menambahkan energi terbarukan hampir tiga kali lebih banyak daripada gabungan empat pasar energi terbarukan utama lainnya di Asia Tenggara.

Estimasi tambahan kapasitas terbarukan kumulatif di beberapa negara Asia Tenggara di tahun 2020-2023. Sumber: BloombergNEF.

Kapasitas panel surya atap meningkat dari 0,38 GW pada tahun 2019 menjadi 9,3 GW pada tahun 2020 — meningkat 25 kali lipat — terutama karena permintaan dari konsumen komersial dan industri. Program insentif yang berakhir pada akhir tahun menghasilkan peningkatan yang memecahkan rekor, sehingga pencapaian Vietnam hampir 10 kali lipat dari target awal untuk panel surya atap asli di tahun 2025 dan menjadi salah satu dari tiga pasar tenaga surya teratas di dunia pada tahun ini, setelah Tiongkok dan Amerika Serikat — prestasi yang luar biasa mengingat bahwa ekonomi Vietnam bahkan tidak mencapai 2% dari Tiongkok dan AS.

Akan tetapi, salah satu imbas dari pertumbuhan ini adalah bahwa ketersediaan energi bersih melampaui kapasitas jaringan. Upgrade yang diperlukan, ditambah dengan pengurangan insentif pemerintah, membuat perlambatan tidak dapat dicegah. Terlepas dari perkembangan baru ini, Power Development Plan terbaru Pemerintah Vietnam memproyeksikan bahwa pangsa bahan bakar fosil di jaringan listrik masih akan mencapai 60% selama beberapa dekade mendatang. Proyeksi permintaan energi ini berarti bahwa Vietnam dapat menggandakan kapasitas batu bara dan meningkatkan kapasitas pembangkit listrik tenaga gas alam hingga hampir empat kali lipat pada tahun 2030.

Jika Vietnam ingin tetap memimpin dalam transisi energi dan mencapai target iklimnya, estimasi penggunaan bahan bakar fosil ini harus dipatahkan. Reformasi yang menjanjikan sedang dijalankan, seperti memperbolehkan off-site transaction langsung antara konsumen industri dan pembangkit energi terbarukan. Keputusan tersebut, yang telah didukung oleh berbagai perusahaan seperti H&M, Nike, dan Target, akan mendorong penjualan energi bersih dalam volume yang jauh lebih tinggi — langkah yang diperlukan agar sektor padat energi seperti tekstil dan pakaian jadi dapat dengan cepat beralih dari bahan bakar fosil. Walaupun demikian, langkah yang lebih berani — khususnya yang berkaitan dengan penghentian pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar fosil — adalah yang terpenting.

Bangladesh

Pencapaian Vietnam membuktikan bahwa transisi energi tidak hanya dapat dicapai oleh negara-negara dengan ekonomi terbesar di Asia. Negara-negara lebih kecil juga berperan penting, khususnya apabila negara tersebut memiliki permintaan energi yang besar dan terus meningkat. Salah satu contohnya adalah Bangladesh, yang hanya setara dengan 0,3% dari ekonomi dunia, tetapi memberikan kontribusi sebesar 3% dari konsumsi energi dunia. Pertumbuhan permintaan energi di Bangladesh hampir lima kali lebih cepat daripada negara-negara lainnya.

Akan tetapi, tidak seperti tetangganya, Bangladesh belum memimpin dalam aksi energi bersih. Walaupun perkembangan sosioekonomi Bangladesh selama beberapa dekade terakhir tergolong luar biasa, negara ini masih menghadapi berbagai tantangan pembangunan: lebih dari 20% penduduk masih hidup di bawah garis kemiskinan nasional dan urbanisasi yang cepat telah membuat banyak penduduk kota mengalami kemiskinan yang ekstrem. Walaupun akses listrik telah meningkat secara signifikan (antara lain berkat panel surya untuk perumahan), pangsa energi terbarukan hanya 3% dari bauran energi — jauh lebih sedikit dari target awal Bangladesh sebesar 10% pada tahun 2020. Beberapa hambatan yang terjadi adalah keterbatasan lahan, penundaan persetujuan proyek, dan ketergantungan pada peralatan impor yang mahal. Faktor yang lebih krusial adalah bahwa subsidi pemerintah untuk batu bara dan gas masih terus diberikan, ini mengakibatkan distorsi harga pasar dan menurunkan daya saing energi terbarukan.

Namun seperti halnya Vietnam, dengan kombinasi yang tepat dari langkah-langkah yang mendukung, seperti penghapusan subsidi bahan bakar fosil dan penciptaan mekanisme baru untuk pembelian energi terbarukan, Bangladesh juga dapat unggul. Dengan dukungan dari negara-negara maju dan investor, Bangladesh dapat meraih perkembangan signifikan untuk mencapai target yang ditetapkan pada bulan November 2021, yakni mencapai bauran energi terbarukan sebesar 40% pada tahun 2040— dan dalam prosesnya mencegah dampak buruk perubahan iklim, yang secara khusus mengancam kelompok yang sangat rentan.

Landasan Transisi Energi

Energi terbarukan terus memecahkan rekor di Asia, sering kali didorong oleh peningkatan permintaan dari konsumen utama di sektor komersial dan industri yang menetapkan target dan berkolaborasi untuk mengeksplorasi peluang. Akan tetapi, berbagai tantangan tetap terjadi saat pemerintah, perusahaan energi, dan investor mengejar new normal —di mana sumber rendah emisi dapat menjadi mayoritas sumber tenaga listrik global pada akhir dekade ini.

Kita tidak dapat membuang-buang waktu. Penggunaan energi Asia yang diperkirakan akan mencapai hampir dua kali lipat pada pertengahan abad disertai dengan perubahan iklim yang cepat membuat kepala-kepala negara di kawasan ini harus mengambil tindakan cepat. Seperti yang sudah kita ketahui, kawasan ini memiliki permintaan yang tinggi untuk energi terbarukan dan sudah ada kebijakan dan mekanisme yang terbukti untuk meningkatkan akses pembelian energi terbarukan. Lebih dari 1.000 perusahaan terkemuka dunia —yang setara dengan hampir 30% PDB dunia — telah menetapkan target iklim. Oleh karena itu, negara yang gagal merespons dengan tepat akan kalah saing.

Perjanjian jual beli listrik (PJBL) global untuk korporasi – mekanisme pembelian utama untuk off-site renewables – menurut kawasan hingga bulan November 2021. Apabila tidak berhasil mengatasi hambatan kebijakan, Asia mungkin tidak akan memenuhi permintaan energi bersih yang terus meningkat dan berisiko mengalami kerugian ekonomi. Sumber: BloombergNEF.

Akan tetapi, negara-negara di Asia tidak dapat — dan tidak perlu — menangani masalah ini sendirian. Semua negara di atas telah meminta bantuan keuangan dan teknis dari negara-negara berpenghasilan tinggi, yang sudah lebih siap untuk mengatasi krisis. Jika Asia ingin memenuhi komitmennya, mereka akan membutuhkan dukungan dari rekan-rekan internasional dalam bentuk komitmen pendanaan iklim, yang saat ini mencapai $100 miliar per tahun dan belum terpenuhi. Sektor swasta juga perlu menyumbang $1 triliun dalam investasi tahunan yang dibutuhkan selama dua dekade mendatang di Asia dengan menawarkan pembiayaan yang lebih besar dan lebih baik untuk energi bersih dan infrastruktur jaringan. Pembeli energi harus menyampaikan permintaan mereka akan energi terbarukan dan utilitas listrik harus memberikan upaya terbaik untuk menyediakan opsi pembelian energi terbarukan skala besar bagi pelanggan mereka. Yang lebih penting lagi, semua pemangku kepentingan harus mempertimbangkan masalah lingkungan dan sosial yang akan menyertai pengembangan energi terbarukan yang cepat. Transisi energi bersih yang melibatkan hampir separuh negara di dunia— dan langkah untuk memastikan bahwa transisi tersebut berkeadilan — akan membutuhkan upaya global, dan masing-masing pemangku kepentingan akan memainkan peran penting.