Indonesia merupakan salah satu dari beberapa negara tropis yang berhasil mengurangi tingkat deforestasi pada tahun 2017. Pencapaian ini pun membuahkan hasil.

Pada 16 Februari lalu, Norwegia mengumumkan akan melakukan pembayaran insentif berbasis performa yang pertama kepada Indonesia sebagai bagian dari perjanjian REDD+ yang disepakati oleh kedua negara tersebut pada tahun 2010 silam. REDD+, singkatan dari Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (Penurunan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan), merupakan suatu kerangka kerja yang dibuat berdasarkan Kesepakatan Paris terkait perubahan iklim. Di bawah kerangka ini, negara-negara maju memberikan insentif kepada negara-negara berkembang dalam upaya perlindungan hutan sebagai langkah mengurangi emisi gas rumah kaca. Pemberian insentif dari pemerintah Norwegia ini bukan sekadar menjamin peningkatan upaya perlindungan hutan di Indonesia, tetapi juga berpotensi untuk meningkatkan kucuran dana lebih banyak bagi kegiatan REDD+ secara global.

Indonesia Turunkan Tingkat Deforestasi

Sebagaimana dilaporkan Global Forest Watch tahun lalu, Indonesia merupakan titik cerah di tengah tren kehilangan tutupan pohon yang terus meningkat di tahun 2017. Di saat angka deforestasi dari negara-negara tropis kembali memecahkan rekor, angka deforestasi hutan primer Indonesia justru turun sebesar 60 persen dibandingkan tahun 2016:

Berhasil menurunkan tingkat deforestasi di bawah rata-rata dalam sepuluh tahun terakhir, Indonesia layak menjadi penerima insentif berbasis performa berdasarkan Letter of Intent REDD+ yang ditandatangani dengan Norwegia pada tahun 2010 silam. Dalam perjanjian tersebut disebutkan bahwa pemberian insentif oleh pemerintah Norwegia akan dihitung sesuai estimasi emisi hutan berdasarkan data deforestasi resmi dari pemerintah Indonesia. (Perbandingan data tersebut dengan data Global Forest Watch dijelaskan di sini.) Meskipun nominal insentif tersebut masih dinegosiasikan, namun setidaknya akan menyentuh angka US$24 juta, mengingat pemerintah Norwegia berkomitmen untuk membayar atas 4,8 juta ton emisi CO2 yang berhasil dicegah dengan nominal US$5 per ton yang disetujui pada transaksi REDD+ sebelumnya dengan negara-negara lain.

Ada beberapa faktor yang menyumbang penurunan angka kehilangan tutupan pohon dan emisi terkait di Indonesia pada tahun 2017. Salah satunya adalah cuaca mendukung yang mengurangi risiko berulangnya bencana kebakaran hutan pada tahun 2015. Selain itu, rendahnya harga minyak kelapa sawit juga memperkecil dorongan untuk memperluas perkebunan kelapa sawit hingga memasuki kawasan hutan.

Namun sah saja jika pemerintah Indonesia mengklaim bahwa penurunan angka deforestasi berhasil berkat berbagai upaya yang telah dikerahkan. Misalnya melalui pemberlakuan kebijakan baru dan peningkatan penegakan hukum untuk memperkuat perlindungan hutan. Sebut saja, Peraturan Presiden tahun 2016 yang memberlakukan moratorium atas pengembangan komersial lahan gambut kaya karbon, bahkan di wilayah yang memiliki lisensi untuk mengkonversi perkebunan kelapa sawit atau kayu.

Apakah penurunan deforestasi di tahun 2017 ini akan terus berlanjut? Kita akan mendapatkan jawabannya tahun ini, ketika data deforestasi dan kehilangan tutupan hutan tahun 2018 diterbitkan oleh pemerintah Indonesia dan Global Forest Watch. Tahun ini, upaya menurunkan tingkat deforestasi memiliki tantangan tersendiri. Para ilmuwan memperkirakan bahwa akan terjadi El Niño pada tahun 2019, akan menimbulkan suhu tinggi dan kekeringan yang dapat meningkatkan risiko kebakaran hutan. Terlebih dengan pemilihan presiden Indonesia pada bulan April 2019 yang berpotensi meningkatkan ketidakpastian atas kelanjutan kebijakan yang telah berjalan saat ini. Dalam debat calon presiden baru-baru ini, kedua kandidat mengemukakan dukungan yang besar terhadap penggunaan kelapa sawit untuk bahan bakar nabati. Jika tidak dikelola dengan baik, upaya ini akan menambah tekanan pada hutan.

Oleh karena itu, akan sangat penting untuk memahami bagaimana pembayaran insentif REDD+ Norwegia dapat mendorong peningkatan upaya perlindungan hutan Indonesia.

5 Alasan Pentingnya Pembayaran Insentif REDD+ bagi Indonesia

Pertama, meskipun pembayaran insentif awal dari Norwegia tidak sebanding dengan besarnya kebutuhan ekonomi Indonesia, hal tersebut akan menunjukkan pentingnya peran pengelolaan hutan yang lebih baik dalam upaya pemenuhan komitmen iklim Indonesia. Indonesia telah berjanji untuk mengurangi emisi setidaknya sebesar 29 persen dari biasanya di tahun 2030, bahkan hingga 41 persen dengan dukungan internasional (seperti insentif dari REDD+). Kerelaan masyarakat internasional untuk memberikan insentif atas keberhasilan mitigasi iklim melalui kerangka kerja REDD++ ini tentu akan meningkatkan peluang untuk mengurangi emisi hutan lebih lanjut.

Kedua, dengan pengakuan internasional atas pencapaian ini, Indonesia dapat menjadi pemimpin baru dalam upaya pengurangan emisi di kancah global. Hingga baru-baru ini, Brasil dianggap sebagai negara paling berhasil dalam mengurangi deforestasi. Namun, dengan meningkatnya laju deforestasi Brasil selama beberapa tahun terakhir serta arah kebijakan pemerintahan Bolsonaro yang mengkhawatirkan, Indonesia dapat memimpin perjuangan dalam pengurangan emisi dari hutan, terutama melalui acara-acara seperti KTT Iklim Sekretaris Jenderal PBB di New York pada bulan September. Kebanggaan nasional ini bisa menjadi sumber motivasi penting bagi perbaikan selanjutnya.

Ketiga, pemenuhan pembayaran insentif berbasis performa ini dapat kembali mendorong agenda REDD+ di Indonesia. Meskipun peluncuran negosiasi REDD+ di Bali pada tahun 2007 silam telah berhasil melahirkan berbagai aktivitas, tetapi antusiasme dan keterlibatan para pemangku kepentingan perlahan memudar seiring berjalannya waktu. Hal ini sangat disayangkan, mengingat agenda REDD+ menggabungkan berbagai inisiatif yang menarik bagi pihak terkait di Indonesia. Dalam pernyataannya yang dikemukakan pada awal bulan ini, Dr. Ruandha Agung Sugardiman, selaku direktur jenderal untuk perubahan iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menggambarkan REDD+ layaknya mesin kereta yang menarik delapan gerbong, dengan gerbong yang mewakili inisiatif Satu Peta untuk menyelaraskan peta pemerintah, perlindungan dan pengakuan masyarakat adat, resolusi konflik di kawasan konservasi, pencegahan kebakaran, penegakan hukum dan masih banyak lagi.

Keempat, tindak lanjut atas perjanjian bilateral dengan Norwegia dapat mempercepat penerapan inisiatif REDD+ di tingkat sub-nasional melalui jalur pembiayaan multilateral. Pada awal bulan ini dalam acara FPCF Carbon Fund yang diselenggarakan oleh Bank Dunia, Indonesia menyampaikan rencananya terkait inisiatif REDD+ dalam yurisdiksinya di Kalimantan Timur; perjanjian untuk pemberian insentif berbasis performa diharapkan dapat dinegosiasikan pada akhir tahun ini. Proyek percontohan lain juga sedang berlangsung di Jambi.

Kelima, kemajuan REDD+ akan mendorong penyelesaian upaya internasional untuk menghindari deforestasi dalam rantai pasokan komoditas yang sedang berlangsung. Saat ini, Indonesia terlibat dalam perselisihan perdagangan dengan negara-negara Eropa, seiring upaya mereka untuk membatasi impor bahan bakar nabati berbasis kelapa sawit yang banyak dikaitkan dengan deforestasi. Dukungan Eropa terhadap upaya pengurangan deforestasi Indonesia menunjukkan bahwa perlindungan hutan juga membawa prospek imbalan yang besar. Pembayaran insentif REDD+ juga akan mendorong ratusan komitmen perusahaan terhadap kebijakan Nol Deforestasi, Nol Gambut, Nol Eksploitasi (NDPE) dalam rantai pasokan komoditas. Wilmar sebagai pemain besar dalam perdagangan minyak kelapa sawit dan merupakan yang pertama mengajukan komitmen NDPE pada tahun 2013, baru-baru ini kembali menegaskan dan memperkuat kebijakannya untuk memenuhi tujuan penghapusan deforestasi di tahun 2020.

Pembayaran Insentif yang Ditunggu-tunggu Selama 9 Tahun

Selama sembilan tahun, pemerintah dan masyarakat Norwegia menghadapi banyak masalah dan kritik atas kemitraannya dengan Indonesia. Meskipun berkali-kali tertunda, mereka terus bertahan dan tidak menarik penawarannya untuk pembiayaan REDD+ hingga $1 miliar. Sebagaimana dijelaskan dalam buku saya, Why Forest? Why Now? yang ditulis bersama Jonah Busch, salah satu alasan keraguan para donatur untuk meningkatkan pembiayaan REDD+ secara global adalah kekhawatiran bahwa banyak pendanaan yang masih belum dicairkan. Seiring dengan kesuksesan Indonesia dan negara lain dalam mengurangi emisi deforestasi dan mendapatkan insentif berbasis performa, alasan tersebut lambat laun akan tenggelam.

Selamat kepada Norwegia dan Indonesia. Kami berharap pengurangan emisi hutan lebih lanjut dapat dicapai di berbagai sektor lainnya dan negara-negara kaya akan meningkatkan insentif yang diberikan atas upaya pengurangan emisi tersebut.

Pemerintah Norwegia mendanai Program Hutan WRI Global dan WRI Indonesia.