Indonesia memiliki lebih dari 27 juta hektare kawasan konservasi, atau seluas enam setengah kali lipat negeri Belanda. Kawasan konservasi yang meliputi Taman Nasional, Suaka Margasatwa, Cagar Alam, Taman Hutan Raya serta Taman Wisata Alam ini dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Kawasan konservasi yang begitu luas ini bahkan belum mencakup kawasan konservasi laut yang berada di bawah koordinasi Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Keberadaan dan pengelolaan kawasan konservasi secara lestari menjadi jaminan agar generasi masa depan Indonesia tetap dapat merasakan fungsi, nilai, dan manfaat kawasan konservasi yang begitu kaya dan beraneka ragam. Sayangnya, kawasan konservasi Indonesia, baik yang berada di ekosistem daratan maupun perairan, terus mengalami ancaman degradasi, seperti perambahan, pembalakan liar, kebakaran hutan, pengeboman terumbu karang, dan lain sebagainya.

Berbagai tantangan pengelolaan kawasan konservasi tersebut perlu diatasi secara efektif. Dari segi sumber daya manusia, diperlukan manajer kawasan konservasi yang mumpuni, inovatif, serta berjiwa pemimpin. Selain itu, karena kerja konservasi merupakan kerja kolektif-kolegial, pengelolaan kawasan konservasi juga perlu didukung oleh lembaga-lembaga non-pemerintah.

Dalam semangat kolaborasi ini, Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (Dirjen KSDAE) KLHK bekerja sama dengan Forum Komunikasi Konservasi Indonesia (FKKI) menyelenggarakan kegiatan Jelajah Konservasi pada 1- 10 November 2018 di Provinsi Banten dan Lampung.

Jelajah Konservasi adalah sebuah konsep pembelajaran melalui perjalanan ke beberapa kawasan konservasi dalam rangka peningkatan pengetahuan dan kapasitas kepemimpinan staf eselon menengah KSDAE yang menangani kawasan konservasi. Selain diikuti 12 peserta dari berbagai unit pelaksana teknis KSDAE di penjuru Nusantara, terdapat pula 4 peserta dari unsur FKKI.

FKKI sendiri merupakan sebuah koalisi sepuluh kelompok masyarakat sipil yang bersama-sama mengusung misi di bidang konservasi serta tata kelola sumber daya alam. Sepuluh organisasi tersebut meliputi Burung Indonesia, Conservation International Indonesia, Greenpeace Indonesia, Yayasan KEHATI, The Nature Conservancy (TNC), Transformasi, Wetlands International, Wildlife Conservation Society (WCS), World Resources Institute (WRI) Indonesia, dan World Wide Fund (WWF) Indonesia.

Selama 10 hari di tanggal 1-10 November, para peserta mendiskusikan berbagai persoalan kawasan konservasi sekaligus belajar langsung dari lapangan. Di Banten, para peserta mengunjungi Cagar Alam (CA) Pulau Dua. Di Lampung, para peserta mengunjungi beberapa lokasi dalam Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) seperti stasiun riset Way Canguk, site Pemerihan, site Sukaraja, serta Hutan Kemasyarakatan Beringin Jaya yang termasuk dalam area penyangga TNBBS di Sumberejo, Kabupaten Tanggamus. Lokasi-lokasi tersebut juga menjadi area wilayah kerja atau dampingan beberapa organisasi anggota FKKI.

Dalam tulisan ini, kami menyajikan sebuah photo story guna memberikan gambaran pelaksanaan Jelajah Konservasi di Banten dan Lampung. Seperti yang disebutkan oleh Direktur Jenderal KSDAE, Ir. Wiratno, M.Sc., dalam pembukaan kegiatan Jelajah Konservasi, kontribusi para pihak terhadap pengembangan dan penyadartahuan ilmu konservasi amat diperlukan. Utamanya, pegiat konservasi diminta menyebarluaskan informasi yang didapat dari Jelajah Konservasi serta terus mengembangkan konsep konservasi secara inovatif di masa mendatang. Selamat menikmati!

Hari ke-1 (1 November 2018)

Sebelum kegiatan lapangan dimulai, peserta berkumpul di Wisma Tamu Puspiptek Serpong guna mendapatkan beberapa materi pendahuluan. Para peserta berasal dari berbagai kawasan konservasi dan lokasi kerja, mulai dari Aceh hingga Papua.

Berbagai materi disajikan oleh para pemapar yang berasal dari unsur FKKI maupun profesional. Materi yang diberikan misalnya mengenai kepemimpinan dalam kawasan konservasi, pendekatan bentang lahan, pentingnya kolaborasi, komunikasi, dan berjejaring, tipologi dan penanganan konflik tenurial, ekonomi konservasi, hingga kebijakan anggaran kawasan konservasi. Dalam foto di atas, Bapak Wahjudi Wardojo selaku Senior Advisor TNC Indonesia tengah mengampu materi tentang kepemimpinan untuk pengelolaan kawasan konservasi.

Hari ke-2 (2 November 2018)

Di hari kedua, para peserta berangkat menggunakan bis menuju Serang, Banten guna mengunjungi Cagar Alam (CA) Pulau Dua. Di foto tampak sebuah galon air mineral dalam bus. Kegiatan Jelajah Konservasi berusaha meminimalkan penggunaan plastik, salah satunya dengan meminta peserta menggunakan botol minum yang telah diberikan dan mengisi ulang dari galon yang ada.

CA Pulau Dua merupakan habitat burung air dan menjadi salah satu rute jelajah burung migran, sehingga para pegiat pengamatan burung dapat memanfaatkan momen ketika burung-burung berkumpul. Peserta Jelajah Konservasi turut mengamati beragam burung-burung air dan migran tersebut dengan didampingi Ferry Hasudungan dari Burung Indonesia.

Peserta Jelajah Konservasi berdiskusi dengan warga setempat tentang pengelolaan tambak di area penyangga CA Pulau Dua. Keberadaan tambak secara tidak langsung menghijaukan area sekitar CA karena mangrove turut ditanam di sekitar kolam-kolamnya. Wetlands International Indonesia sebagai mitra CA Pulau Dua mendampingi masyarakat dalam pengembangan tambak dengan metode ramah lingkungan ini.

Setiap malam sesudah makan malam dilakukan refleksi atas materi serta pengalaman yang didapatkan hari tersebut. Refleksi kegiatan lapangan tentang pembelajaran pengelolaan CA Pulau Dua dan pengelolaan tambak ramah lingkungan di sekitar CA Pulau Dua juga menghasilkan beberapa masukan konstruktif bagi pengelolaan CA Pulau Dua dan area penyangganya.

Hari ke-3 (3 November 2018)

Hari ketiga merupakan hari dengan perjalanan panjang menuju TNBBS di Lampung. Dalam gambar di atas, peserta berfoto di atas kapal feri yang membawa peserta Jelajah Konservasi menyeberangi Selat Sunda dari Pelabuhan Merak ke Pelabuhan Bakauheni. Selama perjalanan, peserta juga didampingi panitia dari KSDAE seperti Bapak Rumchani Agus Sulistiyo (berbaju merah) dari Direktorat Kawasan Konservasi.

Sesampainya di Kota Agung Lampung, peserta disambut oleh panitia FKKI dari WCS dan WWF. Peserta juga diberikan briefing mengenai kegiatan di seputar TNBBS sembari makan malam.

Hari ke-4 (4 November 2018)

Hari keempat diawali dengan sambutan dari Kepala Bidang Teknis Konservasi TNBBS yakni Bapak Ismanto di kantor Balai.

Sebelum beranjak menuju Stasiun Riset Way Canguk, peserta Jelajah Konservasi menyempatkan waktu untuk melihat bunga bangkai Rafflesia arnoldii yang kebetulan tengah mekar di salah satu site TNBBS. Alangkah cantiknya!

Perjalanan menuju Stasiun Riset Way Canguk ditempuh dengan berjalan kaki melintasi hutan selama hampir dua jam. Tak heran, pacet-pacet pun hinggap di kaki para peserta. Peserta juga harus menyeberangi sungai yang membatasi wilayah perkampungan dengan kawasan TN.

Meskipun fasilitas yang ditawarkan di Stasiun Riset Way Canguk cukup sederhana, para peserta sangat menikmati suasana asri di sekitar Stasiun Riset.

Di malam harinya, peserta berkumpul di aula Stasiun Riset untuk mendapatkan materi mengenai sejarah pengelolaan Stasiun Riset Way Canguk serta berbagai macam hasil riset yang telah dihasilkan dari pengambilan data di sekitar Stasiun Riset, mulai dari data curah hujan hingga keanekaragaman hayati.

Hari ke-5 (5 November 2018)

Peserta Jelajah Konservasi mempraktikkan penggunaan SMART Patrol dalam patroli hutan. SMART Patrol merupakan aplikasi pengumpulan data yang dikembangkan berdasarkan pengalaman praktis supaya kegiatan patroli kawasan konservasi menjadi lebih efektif dan efisien. Di sekitar Way Canguk, guide lokal WCS yang merupakan masyarakat sekitar TNBBS bekerja membantu jagawana dalam melakukan patroli hutan dan mengumpulkan data flora dan fauna untuk dimasukkan ke dalam aplikasi SMART Patrol. Selain SMART Patrol, peserta juga diperkenalkan dengan Global Forest Watch, yaitu suatu sistem daring dan gratis untuk pemantauan dan pengawasan hutan tropis.

Setelah makan malam, peserta Jelajah Konservasi menerima materi, salah satunya dari Bapak Hagnyo Wandono, seorang Pengendali Ekosistem Hutan TNBBS. Beliau menjelaskan pengelolaan kolaboratif TNBBS bersama para mitra seperti WCS dan WWF, terutama dalam pengawasan kawasan, termasuk potensi flora dan faunanya.

Seusai penyampaian materi, acara dilanjutkan refleksi dari peserta tentang kegiatan lapangan yang dilakukan pada siang harinya, terutama tentang teknik pengawasan kawasan hutan. Pada sesi ini, para peserta membagikan pengalaman melakukan patroli hutan di kawasan kerja masing-masing dengan berbagai macam metode.

Hari ke-6 (6 November 2018)

Di pagi hari, para peserta meninggalkan Stasiun Riset Way Canguk menuju Resor Pemerihan. Di kantor resort peserta mendapatkan arahan sekaligus gambaran mengenai area yang akan dikunjungi berikutnya, terutama untuk belajar mengenai potensi konflik manusia-satwa.

Di lapangan, peserta mempraktikkan metode geotagging yang digunakan WWF untuk program pemulihan ekosistem bernama NewTrees. Metode ini memungkinkan pendataan posisi titik koordinat bibit pohon yang telah ditanam, untuk kemudian dilakukan pengecekan secara berkala.

Untuk program penanganan konflik gajah-manusia, peserta diberi pengarahan tentang beberapa metode mitigasi konflik gajah-manusia yang telah digunakan baik pihak TNBBS maupun masyarakat secara swadaya.

Metode ini menggunakan kembang api/ mercon untuk mengusir gajah. Bunyi-bunyian yang keras diharapkan mampu mengahalau gajah untuk kembali ke hutan.

Hari ke-7 (7 November 2018)

Di malam hari keenam, peserta berpindah ke Desa Sukaraja. Di sini, peserta menginap di rumah warga (homestay). Desa Sukaraja merupakan sebuah desa yang berbatasan langsung dengan kawasan TNBBS. Terdapat tiga hal yang dipelajari oleh para peserta dari masyarakat Desa Sukaraja, yaitu mitigasi konflik satwa-manusia, potensi jasa lingkungan berupa mikrohidro, dan pengembangan ekowisata berbasis masyarakat. Kepala Balai Besar TNBBS Bapak Agus Wahyudiyono juga turut serta dalam diskusi bersama masyarakat di hari ketujuh.

Penggunaan kandang ternak anti-harimau oleh penduduk Sukaraja dinilai efektif dalam mengurangi jumlah ternak yang mati karena serangan harimau. Di Desa Sekaraja, para peserta mempelajari cara pembuatan kandang ternak tersebut.

Di malam hari ketujuh, peserta yang kini sudah berada di Kotaagung melakukan refleksi mengenai pemulihan ekosistem dengan dipandu oleh panitia dari unsur FKKI dan KLHK.

Hari ke-8 (8 November 2018)

Di hari kedelapan, peserta kembali dibawa ke lapangan. Kali ini, peserta mempelajari pengelolaan skema Hutan Kemasyarakatan (HKm) oleh kelompok tani Beringin Jaya di Sumberejo, Tanggamus. Para petani hutan di HKm Beringin Jaya mendapatkan pendampingan dari sebuah lembaga swadaya masyarakat bernama Konsorsium Kotaagung Utara (Korut). Seperti biasa, peserta mendapatkan materi terlebih dahulu sebelum ke lapangan. Di pintu masuk balai pertemuan, peserta terlihat disambut oleh para petani anggota HKm yang memamerkan produk unggulan mereka terutama kopi codot.

Pemberian materi berlangsung di dalam balai pertemuan dimana tema-tema materi berkaitan tentang implementasi perhutanan sosial. Selama acara, peserta juga dijamu dengan produk lokal hasil bumi petani kelompok HKm Beringin Jaya.

a. Seusai pemberian materi, peserta berfoto dengan Kepala Balai Besar TNBBS Bapak Agus Wahyudiyono serta ketua HKm Beringin Jaya dan perwakilan dari Korut dan Yayasan Kehati. Bapak Riki Frindos selaku Direktur Eksekutif Kehati juga hadir dalam kesempatan ini.

b. Peserta mengunjungi salah satu gudang produksi kopi HKm Beringin Jaya.

c. Bapak Agus Wahyudiyono mendapatkan kenang-kenangan dari perwakilan dari Yayasan Kehati dan Korut serta berfoto bersama di depan gudang produksi kopi HKm Beringin Jaya.

d. Peserta kemudian melanjutkan perjalanan ke kawasan HKm dan mendapatkan penjelasan dari pihak pendamping dan petani secara langsung.

Malam harinya, refleksi dilakukan untuk membagi pengalaman tentang pembelajaran tentang implementasi perhutanan sosial melalui skema HKm di kawasan penyangga TNBBS. Refleksi dilakukan di kantor Korut di Tanggamus.

Hari ke-9 (9 November 2018)

Keempat gambar di atas menggambarkan rangkaian acara di hari kesembilan yang kesemuanya berlangsung di dalam ruangan kantor TNBBS. Setelah acara dibuka oleh Bapak Kepala Balai Besar, masing-masing peserta melakukan presentasi tentang tugas aplikatif yang akan diujicobakan di wilayah kerjanya masing-masing. Tugas aplikatif ini memuat serangkaian rencana kegiatan berdasarkan hasil refleksi yang sudah disampaikan seusai materi dan praktik lapangan. Nantinya implementasi tugas aplikatif akan dicek hingga enam bulan ke depan oleh Direktur Kawasan Konservasi selaku perwakilan dari KSDAE KLHK.

Hari ke-10 (10 November 2018)

Hari ke-10 merupakan hari terakhir penyelenggaraan Jelajah Konservasi. Tiba saatnya untuk kembali ke Pulau Jawa dengan menggunakan bis. Dengan sempat diselingi makan siang, sore harinya bis telah tiba di Jakarta. Peserta kemudian diantar ke penginapan, sebelum keesokan harinya kembali ke wilayah kerjanya masing-masing. Selamat jalan, sampai bertemu lagi.