This blog post was originally published on The Jakarta Post

Indonesia dan negara-negara pendukung perhutanan lestari di seluruh dunia tengah merayakan pengiriman kayu dari Indonesia yang pertama yang berlisensi Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT) pada bulan November 2015. Pengiriman kayu tersebut merupakan batu loncatan dalam penjualan kayu lestari secara global setelah sejumlah negara konsumen produk kayu yang utama, seperti Amerika Serikat, negara-negara Uni Eropa, dan Australia, melarang adanya impor produk kayu ilegal.

Lisensi FLEGT menjamin bahwa kayu telah dipanen, diolah, dan diekspor sesuai dengan hukum nasional. Indonesia merupakan negara pengekspor pertama yang telah mewajibkan bahwa kayunya memenuhi persyaratan hukum tertentu agar dapat diekspor. Dengan demikian, lisensi FLEGT merupakan suatu pendekatan regulasi untuk menekan pembalakan liar.

Gagasan mengenai FLEGT dicetuskan oleh Uni Eropa pada tahun 2003 menyusul Konferensi Kementerian di Bali pada tahun 2001 mengenai Penegakan Hukum dan Tata Kelola Hutan, di mana negara-negara partisipan mendeklarasikan bahwa mereka akan menangani pembalakan liar dan perdagangan ilegal serta korupsi secara kolaboratif serta menegakkan peraturan hukum terkait persoalan tersebut. Terkait pelaksanaan FLEGT, Uni Eropa membuat suatu Rencana Aksi untuk mencegah kayu ilegal memasuki Uni Eropa dan mendorong inisiatif dan kebijakan oleh negara-negara mitra, perusahaan swasta dan lembaga keuangan untuk mengembangkan sistem yang hanya memperbolehkan kayu yang diproduksi secara resmi yang dapat memasuki pasar.

Pada saat yang bersamaan, menyusul Konferensi Kementerian di Bali, Indonesia mengembangkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), yakni suatu pendekatan berbasis pasar untuk menjamin bahwa semua kayu yang memasuki pasar di dalam maupun di luar Indonesia, telah mematuhi peraturan yang berlaku. Hal tersebut berlanjut pada terbentuknya Kesepakatan Kemitraan Sukarela (Voluntary Partnership Agreement/VPA) antara Indonesia dan Uni Eropa pada tahun 2003 untuk menjamin bahwa hanya kayu yang diproduksi secara resmi yang diperbolehkan keluar dari Indonesia dan masuk ke Uni Eropa.

Serangkaian tindakan kemudian dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia dengan dukungan dari Uni Eropa untuk memperkuat SVLK dengan mengintensifikasi pengelolaan hutan berkelanjutan serta meningkatkan transparansi dan partisipasi masyarakat umum di dalam sistem tersebut. Pada bulan November 2015, SVLK berubah menjadi lisensi FLEGT. Dengan demikian, semua kayu yang memiliki lisensi FLEGT diakui sebagai kayu legal oleh Uni Eropa dan menggantikan uji kelayakan yang sebelumnya diwajibkan oleh Regulasi Kayu Uni Eropa (EU Timber Regulation/EUTR).

Meskipun pengiriman kayu dengan lisensi FLEGT pertama ini layak dirayakan, efektivitas sistem perizinan FLEGT dalam memerangi pembalakan liar masih perlu dikaji. Sejak pembentukan SVLK pada tahun 2009, data dari Komisi Pemberantasan Korupsi menunjukkan bahwa kehilangan kayu dari hutan alam Indonesia menurun antara tahun 2009 dan 2011 (49-61 juta m3 pada tahun 2009 dan 28-39 juta m3 pada tahun 2011). Namun demikian, kehilangan tersebut melonjak secara signifikan hingga sekitar 47-60 juta m3 pada tahun 2012 dan angka tersebut terus meningkat pada tahun 2013 dan 2014. Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa dampak SVLK dalam memerangi pembalakan liar di Indonesia masih belum jelas.

Harus diakui, SVLK sendiri tidak dapat dipandang sebagai suatu solusi tunggal untuk kehilangan kayu. KPK telah mengidentifikasi sejumlah kelemahan pada sistem tata usaha kayu di Indonesia yang menyebabkan tingginya laju kehilangan kayu, termasuk kurangnya perencanaan dan data, sistem pemantauan yang kurang andal, dan lemahnya penegakan hukum. Selain itu, Strategi REDD+ Nasional (2012) menunjukkan bahwa lemahnya penegakan hukum, korupsi dan kesalahan pengelolaan kepenguasaan lahan telah menjadi pendorong bagi deforestasi, termasuk di dalamnya deforestasi yang dilakukan dengan kegiatan-kegiatan ilegal. Hal tersebut menunjukkan bahwa SVLK harus dipadukan dengan upaya lain untuk mencapai keberhasilan dalam memerangi pembalakan liar. Dan mulai saat ini, SVLK yang telah berubah menjadi FLEGT, merupakan bagian yang penting.

Suatu kebijakan yang memasukkan perizinan SVLK kemudian akan memperkuat dampak dari lisensi tersebut dalam melawan pembalakan liar. Sayangnya, SVK belum diterapkan dalam strategi tersebut. Dalam rencana strategi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 2015-2019, SVLK tidak dimasukkan dalam strategi untuk memerangi pembalakan liar, meskipun termasuk dalam strategi untuk meningkatkan investasi kehutanan dan mendorong ekspor kayu bersertifikat.

Namun demikian pada strategi REDD nasional, SVLK termasuk sebagai bagian dalam upaya untuk memerangi pembalakan liar, meskipun sampai mana strategi tersebut dijadikan acuan oleh kementerian dan badan yang terkait masih belum jelas. Ketidakpaduan SVLK tersebut merusak upaya pemberantasan pembalakan liar di Indonesia. Perancangan suatu strategi nasional untuk melawan pembalakan liar yang mencakup lisensi FLEGT merupakan suatu hal yang penting. Lisensi FLEGT tersebut dapat memberikan data mengenai kayu bersertifikat, sehingga memudahkan lembaga pemantauan dan penegakan hukum dalam menelusuri kayu hingga ke sumber penebangannya.

Pengembangan sistem kebertelusuran ini membutuhkan adanya dukungan dari berbagai lembaga, terutama lembaga yang mengurus lisensi penebangan dan produksi kayu. Lembaga penegak hukum dapat memperkuat lisensi FLEGT dengan melakukan pemantauan lisensi dan menindaklanjuti setiap ketidaksesuaian yang ditemukan, termasuk di dalamnya hal-hal yang dilaporkan melalui pemantauan independen. Kolaborasi seperti itu akan memperkuat jaminan legalitas lisensi FLEGT yang merupakan kunci bagi kontribusi FLEGT itu sendiri terhadap pemberantasan pembalakan liar.

Oleh karena itu, sistem lisensi FLEGT harus memiliki indikator yang jelas untuk memerangi pembalakan liar dan berkolaborasi dengan lembaga pemerintah lainnya untuk melawan tindak kriminal. Kebijakan lisensi FLEGT harus melampaui penerbitan lisensi dan sertifikasi produk ekspor. Mari berharap bahwa beberapa tahun setelah pengiriman kayu berlisensi FLEGT ini, Indonesia akan merayakan penurunan jumlah pembalakan liar yang signifikan.