Tanpa suara, tujuh wanita masuk dan duduk di lantai semen kasar rumah batu petakan itu. Kami berada di sebuah desa kecil berdebu di Distrik Kisarawe Tanzania, tepat di luar ibu kota Dar es Salaam. Tersedia beberapa kursi kayu dan tempat kosong di sofa tua, tetapi wanita-wanita ini tidak berani mengambil tempat di sana. Kecuali dua juru bicara perempuan yang hadir, sebagian besar dari mereka diam saja selama wawancara. Wawancara ini pun hanya dapat dilakukan dengan izin dari para laki-laki yang memimpin desa.

Kami melakukan pertemuan ini untuk mencari tahu bagaimana kehidupan mereka berubah setelah tanah desa diakuisisi oleh investor swasta beberapa tahun yang lalu. Para wanita ini memang hadir dalam pertemuan desa untuk membahas akuisisi tersebut. Namun di luar itu, mereka sama sekali tidak dilibatkan dalam prosesnya. Dalam pertemuan itu pun, para wanita ini tidak bersuara sama sekali, karena para lelaki lah yang berbicara mewakili masyarakat. Beberapa wanita harus tinggal di rumah untuk mengurus pekerjaan rumah tangga. Keputusan mengenai pengalihan tanah kepada investor tersebut dibuat oleh otoritas desa yang kebanyakan laki-laki.

Tetapi semua wanita ini pada akhirnya menghadapi kesulitan akibat kehilangan tanah mereka. Mereka terkejut mengetahui bahwa mereka tidak bisa lagi mengambil kayu bakar di hutan setempat dan bahkan dilarang memasuki tempat pemakaman keluarga mereka. Mereka juga menghadapi tingkat kemiskinan yang lebih parah dari sebelumnya. Mereka harus berjuang keras hanya untuk memberi makan anak-anak mereka.

Kisah para wanita ini terlalu banyak dijumpai, terutama di negara berkembang.

Meskipun komitmen internasional untuk kesetaraan gender terus bertumbuh, kesenjangan gender masih terus hadir dalam keterwakilan politik perempuan, tidak hanya di ruang legislatif dan eksekutif, namun juga di level kota dan desa. Meskipun hampir semua negara yang didasari undang-undang menjunjung tinggi kesetaraan gender dan prinsip non-diskriminasi, banyak perempuan masih belum mencapai kesetaraan dengan laki-laki, terutama di masyarakat pedesaan dan masyarakat adat yang miskin. Kurang dari 20 persen pemilik lahan pertanian di dunia adalah perempuan. Sisanya harus berjuang menghadapi berbagai tantangan kepemilikan tanah. Mereka menguasai lebih sedikit lahan dibandingkan laki-laki dengan kualitas tanah yang lebih buruk. Mereka juga sering kali tidak diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan masyarakat.

Sementara itu, praktik diskriminasi gender terus berlanjut karena kurangnya payung hukum, bahasa hukum yang jelas dan serta kurangnya tindak lanjut dalam penerapan peraturan.

Hukum Nasional Masih Belum Memenuhi Komitmen Internasional

A woman in the Indian state of Maharashtra. (WRI)

Penelitian baru dari Rights and Resources Initiative menyoroti kesenjangan antara komitmen kesetaraan gender global seperti Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) dan payung hukum yang diperlukan untuk mewujudkan kesetaraan gender. Hampir 95 persen dari 30 negara berpenghasilan menengah dan rendah yang mengakui penguasaan hutan berbasis masyarakat - hak hukum untuk memiliki atau mengelola hutan secara kolektif - memberikan jaminan perlindungan hukum yang setara dan menentang diskriminasi gender. Namun, hanya sekitar setengah dari negara-negara tersebut yang memiliki undang-undang yang menegaskan hak perempuan untuk memiliki properti.

Dari 80 rezim tenurial berbasis masyarakat yang diteliti, hanya 23 - sekitar sepertiga - yang secara eksplisit mengakui perempuan sebagai anggota masyarakat. Sembilan rezim tenurial lainnya mengakui hak keanggotaan semua orang dalam masyarakat dan setidaknya tiga rezim tenurial mendefinisikan rumah tangga sebagai unit keanggotaan, sementara 22 tidak menyebutkan hak keanggotaan masyarakat. Hanya Kolombia dan India yang memiliki rezim tenurial yang secara eksplisit memastikan hak suara perempuan dalam dewan musyawarah masyarakat atau badan pembuat keputusan serupa melalui persyaratan kuorum. Dua belas rezim tenurial lainnya memang memberikan hak suara kepada perempuan, tetapi tidak menetapkan kuorum untuk kehadiran perempuan dalam pembuatan keputusan oleh dewan ini. Enam puluh lima dari 80 rezim tenurial berbasis masyarakat gagal mengakui hak perempuan untuk memberikan suara atau bahkan sama sekali tidak mengatur proses pengambilan keputusan masyarakat. Secara keseluruhan, kurang dari sepertiga - 29 persen - rezim tenurial berbasis masyarakat memiliki ketentuan sensitif gender yang memadai terkait keanggotaan masyarakat, sementara hanya 3 persen yang memiliki ketentuan serupa terkait hak suara. Akibatnya, sebagian besar perempuan masih rentan terhadap norma-norma adat yang memandang laki-laki sebagai pemegang hak kepemilikan dan hak suara masyarakat

Perempuan umumnya bertani untuk konsumsi rumah tangga dan mengelola sumber daya seperti air, kayu bakar dan pakan ternak, sehingga ketahanan pangan rumah tangga, produktivitas ekonomi dan kesehatan masyarakat ikut terganggu ketika perempuan tidak dapat berpartisipasi dalam pengelolaan sumber daya lokal.

Konsekuensi yang Tidak Diinginkan dari Bahasa Netral Gender

Bahkan ketika payung hukum memberikan hak tanah yang setara kepada laki-laki dan perempuan, bahasa netral gender seperti "penduduk desa" atau "masyarakat lokal" dapat secara tidak sengaja mengecualikan perempuan dari proses pengambilan keputusan masyarakat, terutama ketika keputusan terkait penggunaan lahan dibuat dalam pertemuan yang hanya melibatkan laki-laki karena adanya budaya patriarki. Bahkan ketika wanita dapat menghadiri pertemuan tersebut, mereka lebih banyak diam dan mengikuti budaya yang menetapkan pria sebagai juru bicara mereka.

Collecting seeds in Kenya. (WRI)

“Ya, kami berpartisipasi [dalam pertemuan desa] dan kadang ada lebih banyak perempuan dibandingkan laki-laki. Tapi saya memilih untuk diam saja, karena mereka sering mengabaikan saya ketika saya bicara dan mengatakan saya tidak tahu apa-apa tentang tanah ... para pemimpin desa memaksa kami untuk menghadiri pertemuan ini karena jika Anda tidak hadir, Anda dicap kejam dan tidak hormat kepada pihak berwenang." (Seorang wanita di desa Kidugalo, Tanzania)

Selain itu, pengakuan hukum atas norma-norma adat dan praktik masyarakat dapat merugikan perempuan jika tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kesetaraan gender dan antidiskriminasi. Sebagai contoh, Filipina mengakui aturan dan proses pengambilan keputusan tradisional masyarakat berdasarkan persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan dalam keputusan alokasi lahan. Tetapi karena payung hukum yang ada memberikan pengakuan menyeluruh atas praktik pengambilan keputusan adat, perempuan adat dalam masyarakat yang berfokus pada laki-laki tidak memiliki pengaruh apa-apa terhadap keputusan ini.

Peraturan Pelaksanaan yang Lemah Membuat Hukum yang Tegas Menjadi Lemah

Tanpa peraturan dan implementasi yang tegas, kerangka hukum terbaik pun tidak bisa memastikan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan masyarakat dan menjamin kesetaraan hak atas tanah. Misalnya, hukum Tanzania telah menetapkan kuota gender bagi badan pemerintahan desa untuk menjamin keterwakilan minimum perempuan, tetapi tidak menentukan persyaratan kuorum atau pemungutan suara. Karena perempuan adalah minoritas, keputusan dapat dibuat tanpa kehadiran atau suara mereka. Demikian juga di Etiopia. Meskipun kepemilikan tanah bersama telah dimandatkan untuk pasangan, tidak ada kewajiban untuk mencantumkan nama kedua pihak dalam sertifikat tanah.

Tanpa hukum dan peraturan yang jelas, komitmen internasional terhadap kesetaraan gender akan terus menjadi janji simbolis yang tidak pernah terwujud dalam bentuk kebijakan yang dapat ditindaklanjuti untuk memberikan hak atas tanah yang setara serta memfasilitasi partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan.