Blog ini adalah bagian dari seri “Taking Root” yang menelusuri beberapa kisah sukses restorasi masyarakat di seluruh dunia.

Indonesia memiliki kawasan konservasi terbesar di dunia. Pada tahun 2016, luas kawasan ini mencapai 23,2 juta hektar, hampir menyamai luas Selandia Baru. Kawasan yang terdiri dari taman nasional, cagar alam dan suaka margasatwa ini merupakan bagian penting dari strategi konservasi lingkungan yang bertujuan untuk melindungi keanekaragaman hayati endemik Indonesia dan beberapa hutan tertua di dunia.

Meskipun telah mendapatkan status resmi sebagai wilayah konservasi, kawasan-kawasan ini masih terancam karena minimnya tingkat pengawasan dan penegakan hukum. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memperkirakan sepuluh persen dari total luas kawasan konservasi terdegradasi akibat ulah manusia seperti penebangan liar, pembakaran hutan untuk membuka lahan serta serangan hama, penyakit dan spesies yang invasif.

Menanggapi situasi tersebut, KLHK telah berkomitmen untuk merestorasi 100.000 hektar lahan terdegradasi hingga tahun 2019. Ternyata, cukup banyak tantangan yang dihadapi untuk mencapai target sederhana ini, terutama karena kurangnya sumber pendanaan. Akan tetapi, KLHK telah melangkah maju dengan mendorong pendekatan restorasi partisipatif yang didukung oleh para peneliti sains dan konservasi.

Melalui pendekatan ini, masyarakat adat diajak bekerja sama dan diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam kegiatan restorasi. Dengan mengedepankan restorasi yang bermanfaat bagi masyarakat, kemitraan ini melahirkan insentif berkelanjutan dengan manfaat jangka panjang dalam restorasi dan perlindungan ekosistem. Pendekatan ini juga turut memperkuat sistem perlindungan taman nasional, yang pada akhirnya berkontribusi terhadap mata pencaharian jutaan orang yang menggantungkan hidupnya pada ekosistem tersebut.

Di Taman Nasional Gunung Leuser dan Gunung Palang, restorasi partisipatif telah menunjukkan hasil yang menjanjikan. Hal ini membuktikan bahwa mata pencaharian lokal dan konservasi dapat berjalan beriringan.

Mengubah Perkebunan Menjadi Hutan di Gunung Leuser

Terletak di ujung utara Sumatera, Taman Nasional Gunung Leuser merupakan hutan utuh yang membentang seluas satu juta hektar. Taman nasional ini merupakan tempat tinggal bagi subspesies harimau, gajah, orangutan dan badak Sumatera yang terancam punah. Karena kekayaan aneka ragam hayati yang dimiliki, taman nasional ini ditetapkan sebagai salah satu Situs Warisan Dunia oleh UNESCO.

Meski demikian, tekanan yang dihadapi Gunung Leuser akibat aktivitas manusia kian meningkat. Lebih dari empat juta orang tinggal di dalam dan di sekitar taman nasional ini. Selain itu, terdapat sejumlah konsesi perkebunan yang berbatasan langsung dengan kawasan taman nasional. Perkebunan kelapa sawit dan karet liar mulai memasuki kawasan taman nasional dan berujung pada penebangan hutan seluas 1.200 hektar per tahun. Perambah yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan ini sebagian besar berasal dari tempat lain di Sumatera, sehingga tidak memiliki hubungan erat dengan hutan tersebut.

<p> Penduduk desa menebangi pohon kelapa sawit sebagai bagian dari persiapan penanaman pohon asli di Taman Nasional Gunung Leuser. Kredit: Pusat Informasi Orangutan</p>

Penduduk desa menebangi pohon kelapa sawit sebagai bagian dari persiapan penanaman pohon asli di Taman Nasional Gunung Leuser. Kredit: Pusat Informasi Orangutan

Pengelola taman nasional bekerja sama dengan Pusat Informasi Orangutan dan UNESCO menggarap beberapa proyek restorasi ekosistem. Kunci kesuksesan mereka adalah jangkauan edukasi yang luas, yang memperkuat keterkaitan antara praktik budaya lokal dengan konservasi itu sendiri ditambah ketersediaan lapangan kerja dari kegiatan konservasi dan restorasi yang disebarluaskan kepada masyarakat setempat. Lebih dari 200 siswa dari 21 sekolah setempat ikut serta dalam kampanye untuk meningkatkan kesadaran ini, termasuk kegiatan perkemahan yang mengajarkan para siswa mengenai orangutan Sumatera yang terancam punah. Program ini juga difasilitasi dengan mobil berisikan perlengkapan multimedia yang digunakan untuk menyebarkan informasi mengenai manfaat ekowisata bagi masyarakat.

Upaya-upaya bersama telah berhasil mengembalikan sejumlah bidang lahan di dalam taman nasional, yang sebelumnya digunakan sebagai perkebunan, kepada pihak pengelola. Penduduk setempat yang dulunya mengelola perkebunan sawit dan karet di dalam kawasan taman nasional kini beralih memelihara bibit, menanam pohon dan memantau kesehatan pertumbuhan hutan baru. Melalui proyek tersebut, sejauh ini 70 hektar lahan telah berhasil direstorasi. Meskipun kecil, restorasi 70 hektar lahan ini menandai perubahan sikap dan tindakan yang luar biasa dari masyarakat setempat.

Menghubungkan Upaya Pemulihan Ekosistem di Gunung Palung dengan Akses Kesehatan

<p> Penanaman pohon untuk restorasi Taman Nasional Gunung Palung. Kredit: ASRI</p>

Penanaman pohon untuk restorasi Taman Nasional Gunung Palung. Kredit: ASRI

Di timur Gunung Leuser, tepatnya di Pulau Kalimantan, terletak Taman Nasional Gunung Palung. Dengan luas 100.000 hektar, taman nasional ini merupakan rumah bagi orangutan Kalimantan, spesies yang terancam punah dan menjadi prioritas konservasi dunia. Walaupun statusnya dilindungi, penebangan ilegal dan perburuan liar masih terjadi di taman nasional tersebut, mengancam habitat orangutan yang kritis.

Sebagian besar masyarakat yang tinggal di sekitar perbatasan Taman Nasional Gunung Palung merupakan petani miskin berpenghasilan kecil. Akses mereka terhadap perawatan medis begitu rendah karena jumlah dokter yang sedikit dan jarak tempuh yang jauh. Akibatnya, saat seseorang jatuh sakit, anggota keluarga yang lain menebang pohon atau memburu hewan di taman nasional untuk dijual untuk membiayai kunjungan dokter dan pengobatan.

Dengan kata lain, kesehatan hutan berkaitan dengan kesehatan masyarakat yang tinggal di sekitarnya.

Dalam rangka menjawab kedua permasalahan tersebut, pengelola Taman Nasional Gunung Palung berkolaborasi dengan Alam Sehat Lestari (ASRI), sebuah LSM lokal yang bergerak di bidang kesehatan masyarakat. Semua bermula pada tahun 2007, saat ASRI menerapkan program akses layanan dokter bagi masyarakat setempat dengan syarat mereka menandatangani perjanjian penghentian penebangan. Mereka juga memiliki pilihan untuk membayar layanan kesehatan ASRI melalui kegiatan restorasi, misalnya dengan menanam pohon asli daerah tersebut dan pohon asli lainnya. Di samping itu, ASRI juga memberikan edukasi mengenai konservasi hutan dan mengembangkan mata pencaharian alternatif bersama dengan masyarakat setempat. Mereka bahkan memulai sebuah program inovatif yaitu pembelian kembali gergaji. Jika seorang petani bermaksud untuk memulai usaha sendiri atau memperluas jaringan operasionalnya, ia dapat menyerahkan gergaji yang sebelumnya ia pakai untuk menebang hutan dan sebagai gantinya, ASRI akan memberikan kredit mikro serta bimbingan mengenai teknik pertanian berkelanjutan dan manajemen keuangan.

Karena keberhasilan program ini, tingkat penebangan hutan pun telah berkurang hampir 90 persen, dari 1.800 hektar (4.400 ekar) per tahun di tahun 2012 ke 200 hektar (500 ekar) per tahun di tahun 2017. Pada periode yang sama, angka penebang hutan ilegal juga ikut turun hingga 70 persen, sementara keberagaman spesies justru meningkat.

Belajar dari Keberhasilan

Sederet upaya di atas menunjukkan betapa pentingnya upaya-upaya restorasi untuk menyelesaikan permasalahan masyarakat setempat yang menjadi pemicu awal degradasi hutan. Tanpa menjawab masalah yang dihadapi pelaku degradasi, upaya ini tidak akan menjadi solusi berkelanjutan. Sebaliknya, pemerintah dan LSM harus bisa membaca situasi di lapangan dan menghubungkannya dengan intervensi restorasi yang mereka tawarkan.

Restorasi ekosistem berbasis masyarakat yang dilakukan di Gunung Leuser dan Gunung Palung menunjukkan bagaimana sekelompok pemangku kepentingan yang terlibat dalam aksi restorasi–seperti pengelola taman nasional, masyarakat adat dan LSM–dapat bersatu untuk memulihkan kawasan perlindungan secara berkelanjutan dan memberikan manfaat bagi manusia dan alam itu sendiri. Seiring meningkatnya upaya Indonesia dalam perlindungan ekosistem hutan dan perumusan komitmen restorasi hutan menuju pelaksanaan Tantangan Bonn, kita perlu belajar dari program-program kemitraan masyarakat di seluruh penjuru negeri yang telah berhasil mewujudkan restorasi ekosistem.

Kumpulan kisah sukses dan kisah lainnya mengenai restorasi ekosistem baru saja diterbitkan dalam buku berbahasa Indonesia berjudul “Belajar dari Lapangan: Kisah Keberhasilan Pemulihan Ekosistem di Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam secara Partisipatif.