This article is available in English



Penyang merupakan peserta termuda yang mengikuti pelatihan pemantauan hutan yang diselenggarakan oleh WRI Indonesia dan IFM Fund beberapa waktu lalu. Ia adalah pemuda asal Kalimantan Tengah yang sejak kecil sudah akrab dengan isu kehutanan. Usianya baru 18 tahun, namun ia terinspirasi oleh ayahnya, seorang Pemantau Independen Kehutanan yang telah berjuang selama hampir dua dekade untuk melindungi hutan dari praktik-praktik ilegal. Penyang mendapat kesempatan untuk melihat dan belajar langsung dari sang ayah mengenai peran Pemantau Independen dalam mengawasi jalannya Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK). Penyang pernah terlibat langsung dalam investigasi kasus pencemaran Sungai Kapuas yang diinisiasi oleh sang ayah. Dalam investigasi ini, Penyang membantu mengumpulkan dokumentasi untuk melengkapi laporan hasil investigasi di lapangan.

Penyang Pemantau Independen
Penyang (calon pemantau independen) sedang mengikuti investigasi lapangan
Kredit foto: Independent Forest Monitoring (IFM Fund) 

Sejak 2009, pemerintah Indonesia meresmikan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) untuk memastikan legalitas sumber kayu dan pengelolaan hutan produksi yang lestari. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan legalitas produk dan nilai sumber kayu bagi pasar internasional di tengah maraknya pembalakan liar di Indonesia. Pemantau Independen (PI) adalah salah satu aktor utama yang memiliki peran penting dalam memastikan SVLK berjalan sesuai dengan tujuannya. Namun, keberadaan PI saat ini menghadapi banyak tantangan, di antaranya:

1. Ketidakseimbangan jumlah PI dengan wilayah pemantauan. Hanya terdapat sekitar 406 PI untuk memantau sekitar 29 juta hektare hutan yang dimiliki oleh 2.000 pemegang izin usaha sektor kehutanan (Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari tahun 2023). Ini berarti, jika di rata-rata, 1 orang PI bertanggung jawab atas lebih dari 71 ribu hektare hutan.

2. Kurangnya ketertarikan masyarakat dan generasi muda terhadap isu pemantauan independen , karena terbatasnya informasi tentang peran PI dan adanya perspektif negatif serta tantangan pekerjaan yang sulit dan berat. Dibutuhkan dukungan infrastruktur, misalnya teknologi, untuk mempermudah tugas para PI di lapangan. Selain itu, ketiadaan insentif dari pemerintah membuat peran ini kerap dianggap sebagai kegiatan relawan yang belum memiliki keberlanjutan, meskipun berperan penting dalam pengawasan tata kelola hutan.

3. Keterbatasan dukungan terhadap kerja-kerja PI seperti dukungan keterbukaan data, jaminan keamanan, pendanaan, dan peningkatan kapasitas, telah berdampak pada dinamika peran mereka. Banyak PI yang kemudian memperkuat pendekatan berbasis komunitas, mengalihkan fokus dari pemantauan rantai pasok kayu ke pendampingan dan pemberdayaan masyarakat sebagai bagian dari upaya advokasi yang lebih luas.
 

peserta pelatihan pemantau independen
Para Peserta Pelatihan Pemantauan Hutan
Kredit foto: Independent Forest Monitoring (IFM Fund) 

Teknologi sebagai Kunci Regenerasi PI

Digital natives atau “melek teknologi” menjadi salah satu atribut yang melekat pada para generasi muda, karena mereka sudah terpapar dengan kecanggihan teknologi sejak dini. Kemampuan generasi muda dalam beradaptasi menggunakan teknologi baru sangatlah cepat, sehingga pemanfaatan teknologi seperti Global Forest Watch (GFW), diharapkan dapat mendorong lahirnya lebih banyak pemuda seperti Penyang. Dengan akses yang lebih mudah terhadap data dan informasi yang tepat, generasi muda dapat terlibat lebih aktif dalam pemantauan hutan, menjaga keberlanjutan sumber daya alam, dan memastikan tata kelola hutan yang lebih transparan. Di sisi lain, sekitar 85% dari populasi generasi muda  dunia tinggal di wilayah yang bergantung pada sumber daya hutan untuk penghidupan mereka. Sementara itu di Indonesia, ada 50 juta anak muda, atau sepertiga dari total populasi usia 30 tahun ke bawah, yang masih hidup dalam keterkaitan erat dengan lahan dan sumber daya alam di sekitarnya. Hal ini menjadikan peran mereka sangat strategis dalam mendorong perbaikan tata kelola hutan dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya pelestarian lingkungan.

Peran generasi muda dalam pengawasan hutan tidak harus dimulai dari lapangan. Dengan memanfaatkan teknologi yang tersedia seperti GFW, siapa saja dapat berkontribusi dalam memantau perubahan hutan dari jarak jauh, menyusun laporan berbasis data, mendorong transparansi dalam kebijakan kehutanan. Selain dapat membantu mengoptimalkan sumber daya yang terbatas, pemanfaatan teknologi juga dapat menepis stigma negatif terhadap PI dan menarik perhatian generasi muda untuk terlibat lebih banyak dalam pemantauan hutan.

Pelibatan Generasi Muda melalui Peningkatan Kapasitas Pemantauan Hutan

Untuk memastikan generasi muda memiliki keterampilan yang dibutuhkan dalam memantau hutan, WRI Indonesia dan Independent Forest Monitoring (IFM) Fund—sebelumnya dikenal sebagai Y-PIKI, Yayasan Pemantau Independen Kehutanan Indonesia, telah mengadakan serangkaian pelatihan peningkatan kapasitas bagi Pemantau Independen untuk generasi muda. Pelatihan ini berlangsung di Papua dan Kota Bogor. Serta melibatkan 26 peserta berusia 16 hingga 35 tahun dari 15 organisasi masyarakat sipil yang bergerak di sektor lingkungan hidup dan kehutanan. Para peserta berasal dari berbagai daerah di Indonesia, mencakup 10 provinsi, termasuk Aceh, Papua, dan Kalimantan Utara dengan dengan total kawasan hutan yang mereka pantau mencapai sekitar 600 ribu hektare, di wilayah izin usaha kehutanan.

pelatihan penggunaan aplikasi
Pelatihan Penggunaan Aplikasi Pemantauan Hutan di Lapangan
Kredit foto: Independent Forest Monitoring (IFM Fund) 

Melalui pelatihan ini, peserta dibekali keterampilan teknis dalam memanfaatkan teknologi untuk mempermudah identifikasi awal lokasi perubahan tutupan hutan. WRI Indonesia memperkenalkan Global Forst Watch (GFW), sebuah platform berbasis data terbuka yang memberikan informasi real-time tentang perubahan tutupan hutan. GFW memiliki fitur-fitur yang interaktif, seperti fitur analisis yang dapat membantu PI dalam mengidentifikasi lokasi pembalakan liar, terutama ketika area tersebut menunjukkan indikasi kehilangan tutupan hutan di luar batas izin pengelolaan. 

Selain itu, peserta juga diperkenalkan dengan fitur akses citra satelit resolusi tinggi melalui GFW yang memungkinkan pengguna melihat perubahan tutupan hutan dengan lebih detail, melakukan verifikasi awal indikasi kehilangan tutupan hutan dengan membandingkan kondisi sebelum dan sesudah kejadian di suatu area. Dengan adanya fitur ini, PI dapat mengidentifikasi pola deforestasi, mendeteksi aktivitas illegal dengan lebih akurat, dan mendukung pengambilan keputusan berbasis data dalam upaya pemantauan dan perlindungan hutan.

Demo penggunaan gfw
Demo Penggunaan Global Forest Watch
demo citra satelit
Demo Penggunaan Citra Satelit Global Forest Watch

Dalam pelatihan selama 4 hari, peserta belajar menggunakan GFW untuk:

1. Menganalisis wilayah yang berisiko mengalami deforestasi – Dengan menggabungkan data peringatan deforestasi, batas kawasan hutan, dan izin usaha kehutanan, peserta diharapkan mampu mengidentifikasi indikasi pembalakan liar.

2. Melakukan verifikasi awal menggunakan citra satelit resolusi tinggi – Sebelum turun ke lapangan, peserta diharapkan dapat memanfaatkan data satelit untuk mengurangi kesalahan interpretasi.

3. Menggunakan peringatan dini untuk pemantauan jangka panjang – Melalui sistem berlangganan data peringatan deforestasi, seorang PI dapat merespons indikasi pembukaan hutan dengan lebih cepat.

Selain pemanfaatan teknologi, peserta juga mendapatkan materi mengenai tata cara melakukan investigasi lapangan untuk kasus-kasus pelanggaran hukum terkait kehutanan.  Pengetahuan tentang investigasi lapangan sangat penting bagi PI dalam memahami kompleksitas situasi di lapangan, mengidentifikasi permasalahan, serta mengambil keputusan berbasis data yang valid. Pembelajarannya mencakup kerangka pemantauan dan investigasi hutan, pengumpulan data serta pemahaman dokumen (desk study), persiapan investigasi lapangan, protokol keamanan investigator, titik kritis pelanggaran kehutanan, serta teknik pengumpulan fakta dan bukti.

Selain itu, peserta juga dibekali materi pemetaan aktor (stakeholders mapping), yang meliputi identifikasi pemangku kepentingan, analisis kekuasaan dan pengaruh, komunikasi serta koordinasi, strategi intervensi, mitigasi konflik, dan advokasi. Melalui materi tersebut, PI diharapkan mampu memahami dan menganalisis keterkaitan antara para aktor yang terlibat, serta menyusun strategi investigasi dan tindak lanjut yang lebih efektif dan terarah.

foto pemantau independen

Melalui inisiatif-inisiatif yang berfokus pada regenerasi PI, seperti yang dilakukan oleh WRI Indonesia dan IFM Fund, harapannya semakin banyak anak muda yang tertarik menjadi bagian dari pemantauan hutan dan turut serta dalam upaya pelindungan lingkungan di Indonesia.

Cerita Penyang diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi generasi muda untuk ikut andil dalam proses menjaga hutan. Simak kisah pemantauan hutan lainnya dan mari menjadi bagian dari Pemantau Independen Kehutanan bersama IFM Fund melalui forestfund.or.id dan cari tahu kondisi hutan di wilayahmu melalui www.globalforestwatch.org/map/