Roshadi Jamaludin baru tiga tahun memancing di kolam setempat, tetapi semua orang di desanya masih mengingat ketika pabrik pulp dan kertas dan tekstil mulai membuang air limbah ke Sungai Ciujung dan menggenangi sungainya. Roshadi, yang lebih memilih disebut dengan nama panggilannya, Adi, berkomentar, “Sebelum kolam ikan ini tercemar, semuanya benar-benar lancar. Tidak ada penyakit pada udang, kepiting, dan ikan bandeng. Pertumbuhannya juga cukup bagus.”

Selama beberapa generasi, masyarakat di desa Adi, yakni desa Tengkurak di Serang, Jawa Barat, bergantung pada Sungai Ciujung sebagai sumber air bersih utama mereka untuk mandi dan memasak. Para nelayan desa mendirikan kolam-kolam tertutup di tepi sungai untuk memelihara dan menjual udang dan ikan. Akan tetapi pada tahun 1990-an, setelah industrialisasi mulai pesat di wilayah tersebut, warga desa mulai menyadari berkurangnya kualitas air dan menduga penyebabnya adalah air limbah industri. Sejak saat itu, para pemancing kolam pun mulai menyadari penurunan signifikan dalam hasil tangkap dan pendapatan mereka. Populasi udang menurun, dengan hasil tangkap turun pesat dari 30-50 kilogram menjadi 15-20 kilogram. Adi menyetujui, “Pendapatan harian menjadi tidak ada kalau ada air limbah. Jika air limbah masuk ke kolam, kami tidak dapat apa-apa.”

Setelah bertahun-tahun mencoba melibatkan pihak pabrik dan pemerintah Indonesia melalui aksi protes, pertemuan, dan bahkan pengadilan, warga Serang masih terus berjuang untuk restorasi Sungai Ciujung dan melindungi sumber penghidupan mereka. Bahkan setelah hasil audit pemerintah pada tahun 2013 mengenai kontributor limbah utama menemukan berbagai masalah dalam praktek pembuangan limbah dan pelanggaran peraturan mengenai polusi air, masyarakat setempat masih terus menderita. Mereka menginginkan jawaban mengenai polutan yang mencemari air sungai mereka dan apakah perusahaan akan terus menghasilkan polusi lebih tinggi daripada yang diperbolehkan dalam izin pembuangan air limbah.

“[Kami tidak menerima] pemberitahuan apa pun dari pemerintah ketika air limbah itu datang, dan datang tidak diundang,” ungkap Adi. “Yang sangat dibutuhkan adalah informasi. Kalau ada air limbah, datanglah dan diskusikan di forum. Hanya agar kami tahu. Itu akan berguna.”

Undang-Undang Transparansi Tidak Efektif

Adi tidaklah sendiri dalam perjuangannya. Banyak komunitas di seluruh Indonesia dan Asia yang saat ini tengah berjuang untuk mendapatkan informasi yang mereka perlukan untuk menghadapi dampak peningkatan polusi industri dan kian melemahnya penegakan peraturan untuk mengendalikan polusi. Sebagaimana didokumentasikan dalam publikasi WRI terbaru, Thirsting for Justice: Transparency and Poor People’s Struggle for Clean Water in Indonesia, Mongolia and Thailand, (Haus akan Keadilan: Transparansi dan Perjuangan Masyarakat Miskin untuk Air Bersih di Indonesia, Mongolia, dan Thailand), pemerintah negara-negara Asia tersebut memiliki undang-undang transparansi yang kuat yang dengan jelas mewajibkan pengungkapan informasi lingkungan. Akan tetapi, implementasi yang kurang dan tidak efektifnya mekanisme pengungkapan menghambat banyak masyarakat miskin dan dari komunitas termaginalkan untuk mengakses informasi kesehatan fasilitas umum setempat yang mereka perlukan.

Limbah telah mengotori air sungai. Kredit foto: Indonesian Center for Environmental Law

Indonesia pun tengah berupaya melakukan hal ini, meski dengan anggaran dan sumberdaya yang terbatas. Pemerintah mengeluarkan UU Keterbukaan Informasi Publik pada tahun 2008 agar masyarakat dapat meminta informasi dari pemerintah, menerapkan program penilaian yang menunjukkan bagaimana pihak industri mematuhi peraturan mengenai pengendalian polusi, dan mewajibkan dibukanya hasil kajian dampak lingkungan, yang menetapkan standar bagi perusahaan swasta dan berbagai persyaratan pemantauan. Pemerintah juga sedang mengembangkan pangkalan data lingkungan secara daring dan terbuka untuk publik. Akan tetapi, meski dengan upaya-upaya tersebut, informasi mengenai mutu air setempat belum menjangkau komunitas seperti Tengkurak.

Dampak terhadap Partisipasi

Pemerintah di Asia dan seluruh dunia telah mengakui akses terhadap informasi sebagai salah satu prasyarat penting untuk terwujudnya partisipasi dan akuntabilitas publik. Akses informasi dapat membantu membangun kepercayaan masyarakat terhadap keputusan-keputusan pemerintah; menjamin kepatuhan dan penegakan peraturan; menyesuaikan solusi dengan kondisi sosial budaya dan lingkungan, dan meningkatkan rasa kepemilikan terhadap proses dan pencapaian. Membagikan informasi dengan jelas kepada masyarakat dapat menginspirasi gerakan aktivisme masyarakat dan membantu upaya pemerintah untuk mengidentifikasi dan menangani masalah-masalah lingkungan.

Akan tetapi, tanpa akses terhadap informasi yang berarti, masyarakat lokal tidak dapat berbuat apa-apa. Bagi Adi dan komunitas lainnya di Indonesia, Mongolia dan Thailand, keterbatasan akses ini melumpuhkan kemampuan mereka untuk melindungi sumber penghidupan dan mata pencaharian mereka. Tanpa kekuatan informasi, mereka tidak dapat menuntut tanggung jawab pemerintah setempat dan perusahaan swasta atas dampak pencemaran air, atau berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pengendalian polusi dan penegakan peraturan yang dapat membantu membersihkan sungai dari pencemaran

Perahu nelayan di Sungai Ciujung di Pulau Jawa, Indonesia. Kredit foto: Indonesian Center for Environmental Law

Laporan tersebut memberikan berbagai contoh kasus. Di sebuah desa di Mongolia, para peternak hewan menduga perusahaan tambang mencemari Sungai Tuul dan membuat hewan ternak mereka sakit. Di Thailand, peneliti independen menemukan bahwa sumur-sumur air di wilayah industri Map Ta Phut terkontaminasi oleh zat merkuri dan zat arsenik. Akan tetapi, tanpa adanya dokumentasi tentang pencemaran air atau informasi tentang perusahaan yang menyebabkan pencemaran tersebut, warga setempat tidak memiliki fakta yang dapat membantu mereka menghentikan pelanggaran izin yang dilakukan oleh perusahaan tersebut.

Aksi untuk Meningkatkan Transparansi

Pemerintah, masyarakat sipil, dan donor internasional memiliki banyak pilihan untuk meningkatkan tingkat respon untuk isu-isu air. Mereka dapat mengeluarkan informasi pencemaran air setempat dalam format yang non-teknis, seperti siaran radio, gambar, dan bentuk-bentuk lain yang dapat dipahami warga setempat tanpa memerlukan penafsiran teknis atau akses internet. Mereka dapat mengumpulkan dan menyusun data lingkungan setempat dan memberikan informasi yang akurat dan terbaru kepada publik mengenai penggunaan air, risiko kesehatan, jenis-jenis dan jumlah polutan yang masuk ke saluran air, serta data lainnya yang berkaitan dengan perusahaan tertentu. Organisasi masyarakat sipil dan donor internasional dapat mengadvokasi dan berinvestasi pada inisiatif-inisiatif yang mendorong peningkatan akses terhadap informasi pencemaran air.

Namun untuk sekarang, Adi hanya mampu menyaksikan hasil tangkapnya kian menurun dan kolamnya semakin tercemar. Bagi orang-orang seperti Adi di seluruh Asia, mengimplementasikan rekomendasi-rekomendasi ini akan membantu memastikan ia mendapatkan informasi kesehatan umum di fasilitas-fasilitas publik setempat yang ia perlukan. Hal ini akan memastikan ia memiliki kekuatan untuk memperjuangkan keadilan air bersih.