Artikel ini awalnya diterbitkan di The Jakarta Post pada 22 Juni 2019.

Sebuah survei global baru-baru ini menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara dengan jumlah penyangkal perubahan iklim tertinggi di dunia. Dari semua responden dari Indonesia, 18 persen menyangkal perubahan iklim, diikuti oleh 16 persen responden Arab Saudi dan 13 persen responden Amerika Serikat. Penemuan ini sungguh mengkhawatirkan. Padahal, pemerintah telah memberikan komitmen untuk mengatasi perubahan iklim bahkan sebelum bergabung dengan Perjanjian Paris pada 2016.

YouGov-Cambridge Centre, sebuah perusahaan riset pasar dan analis data berbasis internet berskala internasional, bekerja sama dengan harian The Guardian dan Bennett Institute for Public Policy, Universitas Cambridge, Britania Raya, untuk menjalankan YouGov-Cambridge Globalism Project tersebut, dengan sampel nasional yang mencakup sekitar 1.000 orang di 23 negara.

Studi psikologi menunjukkan bahwa kebanyakan orang yang tidak percaya akan gejala alam seperti perubahan iklim bukannya tidak mengetahui fakta yang ada. Namun, mereka biasanya memilih untuk menghiraukan fakta-fakta yang tidak sesuai dengan apa yang mereka yakini.

Artinya, strategi komunikasi sains yang ada perlu diperkuat. Kita perlu mencari tahu apa yang dipercayai oleh orang-orang skeptis ini, kemudian menyelaraskan pesan-pesan perubahan iklim dengan hal yang mereka percayai.

Di Indonesia, agama bisa menjadi pintu masuk. Riset PEW mengemukakan bahwa 84 persen orang Indonesia menjalankan ibadah setiap hari. Oleh karena itu, nilai-nilai dan ajaran agama dapat digunakan untuk meningkatkan kesadaran dan keterlibatan setiap orang untuk menerapkan perilaku yang ramah lingkungan. Sayangnya, kita jarang mendengar pemuka agama mengemukakan isu ini.

Menurut ajaran Islam, segala sesuatu yang terjadi pada lingkungan merupakan peringatan dari Tuhan. Namun sayangnya, aktivitas manusialah yang justru mengakibatkan kerusakan dan degradasi lingkungan.

Jadi, seharusnya manusia belajar dari kenyataan tersebut, sebagaimana tecermin dalam Al-Quran surah Ar-Rum ayat 41-42, yaitu: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut yang disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, agar Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Umat Islam juga dapat merujuk pada surah Al-A’raf dalam mengatasi kerusakan lingkungan dan ancaman perubahan iklim. Surah ini mengajak umat untuk mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan, menyebutkan bahwa: “Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur.”

Kendati sudah berlalu, bulan Ramadan merupakan momen untuk meningkatkan hubungan antara nilai-nilai religius dengan gaya hidup ramah lingkungan dan upaya perbaikan lingkungan. Bulan suci bisa menjadi waktu yang tepat untuk menyebarkan edukasi lingkungan dan belajar mengenai keberlanjutan.

Kita juga harus terus belajar mengendalikan diri dan berusaha melakukan perubahan, bahkan sesederhana menyusun daftar belanja serta menu makan untuk menghindari pembelian yang tidak direncanakan sehingga harus menyimpan sisa makanan. Dengan begitu, jumlah limbah pangan atau makanan mubazir dapat dikurangi secara drastis.

Setelah melewati hari-hari berbuka puasa yang dipenuhi plastik, masjid dan lembaga keagamaan lainnya, institusi-institusi pemerintah, LSM dan siapa pun yang bergerak di industri pangan kini harus menghindari penggunaan kemasan plastik, styrofoam dan kemasan sekali pakai lainnya untuk menyajikan makanan.

Praktik ini dapat menekan angka sampah harian, yang diperkirakan meningkat sebesar 4—6 persen di Bekasi, Jawa Barat, dan Jakarta selama bulan Ramadan. Upaya-upaya tersebut juga dapat mengurangi volume limbah plastik yang terbuang ke laut setiap tahunnya dan, seperti kita ketahui, berpotensi membinasakan hewan laut.

Manusia yang taat beragama seharusnya sadar bahwa pelestarian lingkungan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari agama atau nilai-nilai religius. Agama Buddha menekankan pola pikir yang menciptakan hubungan produktif dan kooperatif antara manusia dengan alam.

Di agama Katolik, pastor dapat menyerukan ensiklik Paus 2015 yang terbukti berhasil meningkatkan kesadaran umat atas isu-isu lingkungan. Sementara bagi yang beragama Kristen, mereka dapat bekerja sama dengan berbagai lembaga keagamaan yang bergerak di bidang lingkungan dan isu-isu lingkungan terkini.

Pada agama Hindu Bali, falsafah Tri Hita Karana dapat ditanamkan sebagai pegangan untuk mempererat jalinan antara manusia, Tuhan dan lingkungan.

Keterlibatan tokoh pendidikan dan pemuka agama tentunya merupakan aspek penting dalam memaknai gaya hidup ramah lingkungan serta meningkatkan kesadaran terhadap isu-isu lingkungan dan krisis iklim saat ini. Karena pada dasarnya, menjaga bumi sebagai rumah yang perlu dilestarikan adalah tanggung jawab semua umat manusia.