Artikel ini awalnya dipublikasikan di The Jakarta Post

Anda mungkin pernah mendengar atau bahkan sudah menjalankan pola makan Mediterania. Pola makan yang secara tradisional dijalankan oleh penduduk beberapa negara Mediterania umumnya terdiri dari minyak zaitun, biji-bijian, kacang-kacangan, buah-buahan, sayuran, ikan, unggas dan hanya mengandung sedikit daging merah, gula, dan susu berlemak. Pola makan ini tidak hanya memberikan berbagai manfaat kesehatan, tetapi juga berdampak baik bagi lingkungan.

Bahkan, Food and Agriculture Organization telah secara khusus menyebutkan bahwa pola makan Mediterania adalah contoh pola makan berkelanjutan, yang didefinisikan sebagai "pola makan yang meminimalkan dampak lingkungan [yang] berkontribusi terhadap ketahanan pangan dan gizi serta menjaga kesehatan generasi saat ini dan generasi mendatang".

Di sisi lain, istilah “pola makan berkelanjutan” masih belum terlalu dikenal di Indonesia. Walaupun demikian, pemerintah Indonesia telah menganut gagasan konsumsi berkelanjutan selama beberapa waktu.

Sebagai contoh, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan meluncurkan Kerangka Kerja 10 Tahun Konsumsi dan Produksi Berkelanjutan pada tahun 2014, yang menjelaskan tentang cara-cara untuk meningkatkan produksi dan penggunaan produk dan jasa yang meminimalkan dampak terhadap lingkungan..

Dari sisi konsumen, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) juga terus menggalakkan pola hidup dengan konsumsi berkelanjutan. Pola makan berkelanjutan termasuk ke dalam konsumsi berkelanjutan.

Di tengah berbagai isu mendesak yang dihadapi oleh Indonesia, kenapa kita perlu memberikan perhatian khusus pada konsumsi berkelanjutan dan pola makan berkelanjutan?

Laporan World Resources Institute yang berjudul “Creating a Sustainable Food Future” menyoroti salah satu tantangan pembangunan terbesar abad ini: memenuhi kebutuhan pangan penduduk yang terus bertambah, kebutuhan pangan dunia akan meningkat sebesar hampir 70 persen pada tahun 2050 (diukur dalam kalori) relatif terhadap pasokan pangan global pada tahun 2006. Ini disebut sebagai "kesenjangan pangan".

Kesenjangan ini diakibatkan oleh fakta bahwa pola konsumsi pangan global beralih ke pola makan perkotaan yang makmur. Seiring dengan urbanisasi dan peningkatan ekonomi negara berkembang, masyarakat cenderung mendiversifikasi pola makanan dan meningkatkan asupan kalori dan makanan hewani.

Walaupun tren ini mencerminkan perbaikan kesehatan dan kesejahteraan bagi banyak orang, tren ini juga cenderung mendorong konsumsi berlebihan, yang terkait dengan risiko kesehatan dan tekanan yang tidak perlu terhadap lingkungan.

Kesenjangan pangan dapat menjadi masalah besar di Indonesia, khususnya karena penduduk perkotaan Indonesia diproyeksikan mencapai 68 persen dari total penduduk pada tahun 2025 atau meningkat 16 persen dari proporsi penduduk perkotaan pada tahun 2013.

Narasi umum untuk menutup kesenjangan pangan ini adalah meningkatkan produksi pertanian. Salah satu program Nawacita Presiden Joko “Jokowi” Widodo adalah kedaulatan pangan, yang dapat dicapai dengan mengubah tata guna lahan bagi pertanian dan meningkatkan produksi komoditas.

Walapun peningkatan produksi pangan adalah strategi yang penting, ini hanyalah salah satu strategi untuk menutup kesenjangan pangan.

Mengandalkan peningkatan produksi dan perluasan pertanian dapat menyebabkan pembukaan lahan di hutan dan kerusakan lingkungan, yang pada akhirnya mengakibatkan krisis pangan dan Indonesia akan kesulitan memenuhi kebutuhan pangan jutaan penduduk di masa mendatang.

Salah satu tindakan yang dapat dilakukan masyarakat untuk membantu mengatasi kesenjangan pangan ini secara berkelanjutan adalah dengan mengurangi konsumsi makanan seperti protein hewani, khususnya daging sapi, sembari meningkatkan asupan makanan nabati.

Ternak membutuhkan lebih banyak lahan dan air serta menghasilkan lebih banyak emisi GRK daripada bahan pangan nabati. Selain itu, mengingat bahwa banyak makanan hewani membutuhkan tanaman untuk pakan, meningkatnya permintaan makanan hewani akan memperlebar kesenjangan makanan relatif terhadap peningkatan permintaan makanan nabati.

Peningkatan konsumsi makanan nabati juga bermanfaat bagi kesehatan kita. Penelitian menunjukkan bahwa konsumsi daging merah yang berlebihan dapat meningkatkan risiko penyakit jantung, obesitas, dan stroke. Rekomendasi di seluruh dunia juga menyarankan agar kita memenuhi setengah dari piring kita dengan makanan nabati.

Dengan manfaat yang ditawarkan makanan berkelanjutan bagi lingkungan dan kesejahteraan, apa yang dapat kita lakukan untuk mengajak masyarakat Indonesia agar beralih ke pola makan berkelanjutan?

Pertama, kita tidak perlu sepenuhnya berhenti makan daging untuk menerapkan pola makan yang lebih berkelanjutan dan mengatasi kesenjangan pangan. Faktanya, pendekatan bertahap untuk perubahan perilaku, daripada perubahan cepat, kemungkinan akan lebih berkelanjutan.

Misalnya, peralihan minor ke pola makan yang menargetkan makanan berdampak sangat tinggi, seperti daging sapi, cenderung lebih sesuai bagi lebih banyak orang.

Yang kedua, semua pemangku kepentingan harus bekerja sama dan mengembangkan strategi terbaru untuk mendorong konsumen agar menjalankan pola makan berkelanjutan.

Inisiatif baru bernama Better Buying Lab, kemitraan perusahaan besar yang menyediakan layanan makanan di AS dan Inggris, seperti Google, Sainsbury's, dan Hilton Worldwide, berupaya untuk mencapai target ini dengan mengembangkan strategi yang menggabungkan penelitian ekonomi pemasaran, konsumen, dan perilaku agar konsumen membeli dan mengonsumsi makanan yang lebih berkelanjutan.

Better Buying Lab akan meneliti, menguji, dan akhirnya meningkatkan skala strategi agar konsumen memilih makanan yang lebih berkelanjutan. Penerapan inisiatif serupa di Indonesia, melalui kemitraan dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kementerian terkait lainnya, perusahaan swasta, dan CSO, dapat berperan dalam membantu konsumen memilih makanan yang berkelanjutan.

Penelitian khusus tentang pola makan sehat dan berkelanjutan yang dijalankan oleh nenek moyang dan kelompok adat perlu dilakukan, begitu pula dengan makanan nabati alternatif yang lebih sehat dan berkelanjutan.

Bagi konsumen, makanan adalah salah satu sumber kebahagiaan terbesar dalam hidup. Kita dapat memaksimalkan kegembiraan tersebut dengan menjalankan konsumsi yang sehat dan berkelanjutan, untuk memastikan ketersediaan pangan bagi generasi saat ini dan generasi mendatang.