
Mengenal Berbagai Jenis Lahan Gambut di Asia Tenggara
Takjub adalah kata yang tepat untuk menggambarkan kesan pertama Riri Wirasatria dan Dortina Tiorogun, dua Project Operations Assistant WRI Indonesia, saat pertama kali menginjakkan kakinya di atas lahan gambut. Bagaimana tidak, sebelum bekerja di WRI Indonesia, keduanya belum pernah mengunjungi lahan yang memiliki karakteristik unik ini. Tanah gambut yang mudah amblas ketika diinjak, air gambut yang berwarna coklat kehitaman, serta berbagai flora dan fauna yang hidup di lahan gambut cukup membuat keduanya terkesima karena karakteristik tersebut tidak dapat ditemukan di tempat mereka tinggal, Jakarta.
Kesan yang sedikit berbeda didapatkan Annisa Nisitha Nindyarini, seorang Communications Officer WRI Indonesia. Dalam benaknya sudah tertanam bahwa lahan gambut itu basah dan tergenang. Saat melakukan kunjungan pertamanya ke lahan gambut di Kalimantan Barat, Annisa cukup terkejut karena apa yang dilihatnya tidak sesuai dengan ekspektasi. Lahan gambut yang didapatinya hanya lahan yang sudah kering akibat kanal drainase yang dibangun untuk areal perkebunan itu. Meski begitu, Annisa merasa sangat beruntung karena berkesempatan mengenal dan mengunjungi lahan gambut yang luasnya mencakup 3% dari seluruh daratan yang ada di muka bumi.

Lahan gambut dikenal sebagai bagian dari lahan basah karena pada proses terbentuk dan kondisi alaminya berada dalam kondisi tergenang. Lahan basah memiliki jasa ekosistem yang penting bagi kehidupan kita. Mengutip Dr. Musonda Mumba, Secretary General of the Convention on Wetlands, yang menyatakan bahwa “Di mana pun daratan bertemu dengan air, kehidupan akan berkembang. Lahan basah ada di setiap sudut planet ini dan sering disebut sebagai arteri dan pembuluh darah bumi. Mereka mendukung ekosistem dan keanekaragaman hayati yang sangat penting; bahkan, 40% dari semua spesies tanaman dan hewan hidup atau berkembang biak di lahan basah”. Selain itu, lahan basah juga berperan dalam mitigasi iklim, pengelolaan air, dan mendukung sumber mata pencaharian masyarakat.
WRI Indonesia telah melaksanakan berbagai kegiatan baik dalam lingkup nasional maupun regional guna mendukung upaya pelestarian lahan basah, terutama lahan gambut. Kegiatan-kegiatan tersebut berupa riset, peningkatan kesadartahuan masyarakat, konferensi atau seminar, dan pendampingan pebisnis di lahan gambut yang ditujukan untuk mempraktikkan pengelolaan gambut berkelanjutan. Selama menjalankan kegiatan-kegiatan tersebut, kami mendapati fakta bahwa selain memiliki karakteristik yang unik, lahan gambut juga memiliki jenis yang berbeda-beda.

Lahan Gambut: Si Hitam yang Kaya Akan Karbon
Perbedaan utama karakteristik tanah gambut dengan jenis tanah lainnya sangat berkaitan dengan bahan pembentuknya. Mengacu pada sistem klasifikasi Soil Taxonomy yang diterbitkan the United States Department of Agriculture (USDA), dari 12 ordo1 tanah yang ada, tanah gambut (Histosols) merupakan satu-satunya jenis tanah yang terbentuk dari endapan bahan organik. Tidak heran jika tanah gambut menyimpan begitu banyak karbon yang merupakan komponen utama penyusun bahan organik. Tidak hanya di bawah permukaan (below ground) dalam bentuk tanah gambut, lahan gambut juga menyimpan karbon di atas permukaannya (above ground) berupa vegetasi penutup lahan. Dengan kemampuannya tersebut, lahan gambut dapat menyimpan 500-600 Gigaton karbon atau dua kali lipat dari karbon yang tersimpan di hutan.

Lahan gambut juga dikenal akan kemampuannya yang tinggi dalam menyimpan air. Sebagai catatan, lahan gambut memiliki karakteristik yang fragile atau rentan terhadap gangguan. Ketika terdegradasi, lahan gambut akan mudah terbakar dan menjadi sumber emisi karbon. Hal ini dikarenakan lahan gambut memiliki sifat irreversible drying atau kering tak balik, yaitu sebuah kondisi dimana ketika lahan gambut dikeringkan maka kemampuan menyimpan airnya akan hilang dan sulit untuk dipulihkan.
Kedalaman Lahan Gambut Bisa Mencapai Belasan Meter
Lahan gambut terbentuk melalui pengendapan bahan organik dan pembentukannya dapat membutuhkan waktu ratusan bahkan ribuan tahun. Bahan organik yang mengendap dan tidak terdekomposisi secara sempurna tersebut membentuk lapisan organik yang ketebalannya sangat beragam. Berdasarkan ketebalan lapisan organiknya, tanah atau lahan gambut dibagi ke dalam empat kategori yaitu gambut dangkal (0,5-1 m), gambut sedang (1-2 m), gambut dalam (2-4 m), dan gambut sangat dalam (>4 m).
Pengecekan kedalaman gambut cukup mudah yaitu dengan menggunakan peat auger atau bor gambut, sebagaimana ditunjukkan pada gambar 4 ketika tim WRI Indonesia melakukan pengecekan ketebalan gambut di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan dan U Minh Ha National Park, Cà Mau Province, Vietnam. Kedalaman gambut diukur dari permukaan tanah sampai menemukan batas lapisan substratum atau lapisan mineral di bawah gambut. Kedalaman gambut dapat mencapai belasan meter dan gambut paling dalam yang pernah penulis ukur adalah 16 m ketika melakukan pengukuran kedalaman gambut di Pulau Bengkalis, Riau.

Lahan Gambut Topogen dan Ombrogen, Apa Bedanya?
Selain berdasarkan kedalamannya, lahan gambut juga dapat dibedakan berdasarkan sumber airnya. Berdasarkan kategori ini, lahan gambut dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu gambut topogen (topogenous peatlands) atau lahan gambut yang dipengaruhi pasang surut air laut atau sungai dan gambut ombrogen (ombrogenous peatlands) yang sumber airnya hanya dari air hujan.
Walaupun lahan gambut dikenal sebagai lahan yang miskin unsur hara, gambut topogen relatif lebih subur jika dibandingkan dengan gambut ombrogen karena mendapatkan asupan unsur hara dari luapan sungai atau laut. Semakin jauh letaknya dari garis pantai atau sungai, biasanya gambut yang ditemukan adalah gambut ombrogen. Salah satu contoh gambut topogen dan ombrogen yang pernah menjadi lokasi kegiatan tim WRI Indonesia adalah lahan gambut di Tanjung Taruna, Kalimantan Tengah dan Toh Daeng Peat Swamp Forest di Narathiwat, Thailand. Satu hal yang patut dicontoh dari Toh Daeng Peat Swamp Forest yaitu pengelolaannya sudah menerapkan prinsip ekowisata untuk pelestarian hutan rawa gambut terakhir di Thailand ini.

Lahan Gambut di Dataran Tinggi
Lahan gambut tersebar di berbagai zona iklim di 180 negara di dunia. Ekosistem ini mayoritas berada di zona temperate dan boreal, serta sebagian dapat ditemukan di negara beriklim tropis. Berdasarkan letak geografisnya, lahan gambut dapat dibedakan menjadi lahan gambut dataran rendah (lowland peatlands) dan dataran tinggi (mountainous peatlands). Mayoritas lahan gambut di Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya merupakan lahan gambut yang masuk pada kategori pertama. Diantara contoh lahan gambut dataran rendah yang menjadi lokasi kegiatan WRI Indonesia adalah Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) Kapuas – Barito di Kalimantan Tengah yang merupakan lokasi ex-mega rice project, Agusan Marsh di Filipina, dan Ayer Hitam Utara Forest Reserve, Johor, Malaysia. Cukup sulit menemukan lahan gambut dataran tinggi. Namun, penulis berkesempatan untuk mengunjungi lahan gambut jenis ini di Simingshan, Tiongkok, ketika berpartisipasi pada kegiatan International Peatland Congress 2024.

Masih banyak lagi jenis-jenis lahan gambut berdasarkan kategori yang digunakan di seluruh dunia. Dari ulasan ini, dapat disimpulkan bahwa lahan gambut sangat unik dan berharga bagi keberlanjutan ekosistem, karenanya dibutuhkan perhatian yang mendalam. Dengan semangat peringatan Hari Lahan Basah Sedunia, di mana tahun ini mengusung tema “Protecting Wetlands for Our Common Future”, sudah selayaknya kita menyadari bahwa sumber daya tanah dan lahan, termasuk gambut, merupakan harta yang sangat berharga bagi kita sebagai bangsa. Sebagaimana pesan yang dicetuskan Franklin D. Roosevelt2, yaitu “The nation that destroys its soil, destroys itself” (bangsa yang merusak tanah dan lahannya, merusak -masa depan- bangsanya sendiri). Jika kita tidak menjaga kelestariannya, tidak menutup kemungkinan penerus bangsa kita kelak akan bernasib sama seperti rekan kami yang kecewa karena mendapati lahan gambut yang sudah rusak tak berdaya.