Photo credit: our-planet/Flickr
Sumber foto: our-planet/Flickr

Sementara mekanisme penetapan harga feed-in tariff mulai menjadi pilihan mekanisme kebijakan, kita tidak boleh melupakan gambar besar kondisi keuangan sektor listrik di negara-negara berkembang.

Baru-baru ini World Bank dan institusi keuangan internasional lainnya menaruh perhatian kepada tingkat utang negara-negara berkembang yang semakin besar. Agar feed-in tariff dan kebijakan listrik lainnya menjadi efektif, pendekatan yang komprehensif perlu dilakukan untuk mengatasi tantangan finansial dan pengelolaan yang menghambat pelayanan. Terlebih lagi, harus ada proses penentuan tarif yang transparan yang memberikan ruang kepada keterlibatan publik.

Apa yang dimaksud dengan feed-in tariffs?

Feed-in tariff merupakan sebuah jaminan bahwa produsen energi yang dapat diperbaharui akan dapat menjual listrik yang mereka hasilkan dengan tingkat harga yang sudah ditetapkan sebelumnya oleh pemerintah. Sejak desember 2010, 78 negara, negara bagian, dan provinsi, telah mengeluarkan feed-in tariffs untuk energi yang dapat diperbaharui, termasuk negara-negara berkembang.

Penentuan tarif merupakan isu utama yang berkaitan dengan aspek finansial dan pengelolaan dari kinerja pelayanan listrik. Dalam 10-15 tahun terakhir, usaha-usaha reformasi telah menekan agar tarif dinaikan agar menutupi seluruh biaya pengadaan listrik. Transisi menuju prinsip-prinsip pengembalian biaya merupakan kebijakan yang dilematis, yang berkutat di antara ketegangan sosial yang disebabkan oleh kenaikan tarif dasar listrik, dan solusi-solusi populis yang melanjutkan subsidi dan menambah jumlah utang kedepannya. Yang kurang dari semua ini adalah proses formal di mana konsumen dapat terlibat dalam penentuan tarif dan proses pengambilan kebijakan mengenai struktur subsidi dan dampak kenaikan harga.

Kurangnya Masukan dari Publik

Di negara-negara berkembang terdapat sedikit institusi yang memungkinkan keterlibatan pihak-pihak terkait sehingga tercipta pendekatan dan analisis yang lebih luas. Tidak seperti di Amerika Serikat, di mana institusi regulator independen dibentuk sebagai akibat dari protes konsumen terhadap manipulasi pasar karena monopoli, regulator di negara-negara berkembang dibentuk untuk menciptakan lingkungan yang kondusif untuk investor swasta. Sebagai akibatnya, proses institusional untuk membuka informasi dan menampung masukan dari publik, cenderung kurang berkembang.

Jika memang terdapat badan-badan yang independen, mereka kekurangan mandat, otoritas, dan kapasitas yang memadai untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut. Ketika kurangnya proses yan transparan dan terbuka dikombinasikan dengan tidak adanya aksi regulator yang nyata untuk mengatasi ketidakefisienan, maka kepercayaan konsumen akan hilang. Kurangnya jalur-jalur formal untuk memasukkan perspektif konsumen memiliki efek yang beragam. Dengan kurangnya ruang institusional untuk mengeksplorasi beragam solusi, konsumen cenderung turun ke jalan atau mengancam stabilitas politik sebagai respon dari kenaikan tarif listrik yang mereka anggap sebagai tidak adil.

Konsumen dan Kenaikan Harga

Di Indonesia sebagai contohnya, pemerintah gagal menetapkan kenaikan tarif yang berkelanjutan meskipun telah diberikan penjaman bersyarat oleh World Bank dan Asian Development Bank (ADB). Namun jika diamati lebih dekat, konsumen dan organisasi-organisasi yang memperjuangkan kepentingan publik tidak serta-merta menolak kenaikan harga.

Studi ADB yang akan segera keluar mencatat bahwa organisasi-organisasi yang memperjuangkan kepentingan publik mendukung keputusan pemerintah Indonesia pada April 2010 untuk mencabut subsidi listrik bagi konsumen yang menggunakan lebih dari 6600W listrik per bulan. Situasi ini tidaklah baru. Yang diprotes oleh kelompok-kelompok konsumen sejak awal program reformasi sektor listrik adalah kurangnya transparansi dalam penentuan tarif dan proses subsidi. Mereka berpendapat bahwa kurangnya proses regulasi independen membuat kepentingan politik jangka pendek telah mendominasi alokasi subsidi, yang berujung kepada subsidi yang salah sasaran dan ketidakefisienan lainnya. Selama ini, harga-harga hampir tidak pernah naik. Bisa jadi dengan membuka lebih awal kesempatan bagi perspektif alternatif – dan proses formal untuk menimbangnya – dapat mempercepat usaha untuk memulihkan kondisi finansial. Bahkan saat ini, kelompok-kelompok kepentingan publik di Indonesia memberikan perhatian lebih kepada kurangnya metodologi tarif yang jelas dan keterlibatan sebuah badan yang dapat mewakili publik.

Peran untuk Masyarakat

Perspektif masyarakat sangatlah dibutuhkan dalam konteks mengantisipasi dampak energi yang dapat diperbaharui. Di negara bagian Tamil Nadu, India, sebagai contohnya, banyaknya utang yang dimiliki oleh pemasok listrik harus dikaitkan dengan beragam tipe pembayaran subsidi yang belum ditransfer oleh pemerintah negara bagian. Seperti di Indonesia, tarif listrik belum dinaikan bahkan ketika biaya untuk menyediakan listrik telah naik. Sebagai negara bagian dengan pasokan energi yang dapat diberpaharui tertinggi di India, melebihi target nasional 10%, sebagian permasalahan berhubungan dengan subsidi energi yang dapat diperbaharui. Ketika tarif akhirnya dinaikan, suara konsumen akan menjadi sangat penting dalam dialog mengenai bagaimana menutupi biaya yang semakin meningkat.

Di Thailand, kelompok konsumen mengadvokasi bahwa kebijakan energi yang dapat diperbaharui harus digabungkan dengan pengelolaan permintaan dan efisiensi energi, ketimbang berdiri sendiri. Perhatian kepada efisiensi energi tidak hanya akan mengurangi biaya energi yang dapat diperbaharui, tetapi juga mengurangi kecenderungan pemasok di Thailand untuk investasi secara berlebihan, yang berdampak negatif terhadap tarif.

Di Indonesia, organisasi masyarakat berpendapat bahwa subsidi untuk energi yang dapat diperbaharui, seperti kebijakan pada umumnya, seharusnya tidak ditentukan secara mutlak oleh pemerintah, namun harus dikaitkan dengan kepentingan dan pengawasan publik. Beberapa investigasi korupsi tengah berlangsung di Indonesia yang berhubungan dengan dugaan mark up dan manipulasi proses tender. Pada sebuah proyek solar PV, biaya instalasi dinaikan hampir sebesar 20%.

Di Filipina, para analis mencatat bahwa terdapat kecenderungan untuk membiarkan sektor-sektor yang termarginalisasi, khususnya yang tidak bergerak di sektor industri, di luar proses pembuatan kebijakan energi. Sebagai contohnya, suara masyarakat pribumi dan komunitas lokal diabaikan dalam pengembangan proyek energi dan bahan bakar minyak. Kurangnya transparansi dan partisipasi publik dalam pengembangan dan perencanaan energi telah berujung kepada terganggunya standar dan prinsip lingkungan serta konflik sosial yang mengakibatkan kenaikan harga-harga. Hal ini harusnya dapat diatasi karena Filipina baru saja meloloskan Undang-Undang Energi yang dapat Diperbaharui; jika tidak, maka dukungan terhadap energi yang dapat diperbaharui akan hilang.

Konsumen memiliki peran yang penting dalam proses penentuan tarif, memberikan keahlian analitis, membantu mengurangi keterbatasan informasi, dan menuntut tata kelola perusahaan dan standar kinerja yang lebih baik dari pemasok. Konsumen dapat juga memberikan masukan penting dalam penentuan prioritas investasi dan dampak distribusi dari desain tarif.

Membangun Kapasitas dan Partisipasi

Potensi yang dimiliki oleh masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan mengenai harga dan dampak energi yang dapat diperbaharui belum dimaksimalkan. Studi terbaru Prayas “Clean Energy Regulation and Civil Society in India” mendokumentasikan respon publik yang buruk terhadap tarif energi yang dapat diperbaharui yang dikeluarkan komisi regulasi India. Studi tersebut, yang meninjau proses regulasi dan mewawancarai pihak terkait di lima negara bagian di India, menyimpulkan bahwa kurangnya data yang dapat dipercaya mengenai energi yang dapat diperbaharui, termasuk ketersediaan sumber daya, biaya, dan kinerja, membuat hanya sebagian organisasi masyarakat yang mampu menganalisis secara layak kebijakan-kebijakan regulasi dan data yang mendasarinya, dan usaha ini sangat tergantung kepada ketersediaan sumber daya yang memadai.

Studi tersebut juga memasukkan sebuah survei global oleh US National Association of Regulatory Utility Commissioners (NARUC) yang menyimpulkan bahwa badan-badan regulasi cenderung untuk fokus kepada isu-isu investor dan mengabaikan peran dari partisipasi masyarakat. Untuk sebagian besar organisasi masyarakat, fokus yang diberikan kepada isu-isu investor berarti bahwa proses regulasi bernilai rendah bagi mereka.

Mengakhiri Siklus Pengabaian

Dimulailah siklus pengabaian, di mana organisasi masyarakat menjauh dari proses regulasi, persepsi bahwa proses tersebut telah dikuasasi oleh pengembang proyek semakin menguat, dan memiliki potensi untuk memicu kecurigaan publik terhadap generasi energi yang dapat diperbaharui, ketimbang publik yang menuntut ambisi lebih.

Untuk mengakhiri siklus ini, negara-negara harus menciptakan institusi regulasi yang lebih kuat dan proses pembuatan kebijakan yang transparan dan akuntabel. Harus ada investasi untuk membangun kapasitas agar partisipasi organisasi masyarakat menjadi lebih efektif. Keberlanjutan secara politik dan ekonomi dari feed-in tariffs tidak dapat dipisahkan dari konteks pemerintahan yang lebih luas, seperti proses penentuan tarif dan perjuangan pemasok dengan likuiditas finansial.


Para penulis artikel ini merupakan mitra Electricity Governance Initiative, sebuah jaringan global organisasi-organisasi masyarakat yang berdedikasi untuk mendorong pembuatan kebijakan yang transparan, inklusif, dan akuntabel di sektor listrik. WRI dan Prayas merupakan sekretariat dari inisiatif ini.