Berbagai studi menunjukkan bahwa pemanfaatan sumber daya laut menggunakan metode tradisional dan kearifan lokal telah berhasil menjaga persediaan perikanan dan praktik konservasi laut yang stabil sehingga keseimbangan antara mata pencaharian dan lingkungan dapat tercapai. Di Kabupaten Kaimana, Papua Barat, Indonesia, masyarakat pesisir menggunakan kearifan lokal untuk mengelola sumber daya laut.

Praktik Konservasi Laut di Kaimana, Papua Barat

Praktik konservasi adalah bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Kaimana, Papua Barat. Misalnya, untuk kegiatan penangkapan ikan masyarakat pesisir di Kaimana menerapkan kearifan lokal yang disebut sasi laut, sistem penangkapan ikan tertutup untuk menjaga ketersediaan ikan. Sebagai praktik konservasi lokal yang diwariskan dari generasi ke generasi, sasi laut menggabungkan sistem manajemen lokal, sistem klasifikasi lokal dan sistem kepercayaan lokal untuk mengelola dan melindungi sumber daya laut tertentu. Sasi laut biasanya dilakukan selama dua minggu sampai tiga bulan sebelum ditutup selama satu hingga dua tahun. Praktik ini dilakukan di seluruh perairan Kaimana, yang batasnya ditentukan berdasarkan perkiraan semata tanpa koordinat yang jelas.

Sasi laut dan praktik konservasi lainnya memiliki kompleksitas sosio-ekologis bahwa nilai-nilai yang berbeda saling terkait dalam sistem budaya. Kerangka kerja dengan model mental menawarkan sebuah pendekatan untuk memahami makna yang saling terkait di antara berbagai dimensi dalam sistem budaya. Menggunakan model mental yang terdiri dari corpus, praxis dan kosmos, kita dapat memahami bagaimana kearifan lokal yang terkandung dalam sasi laut diterapkan oleh masyarakat. Model mental adalah penjelasan mengenai proses berpikir seseorang yang dipengaruhi oleh pengetahuan yang dimiliki orang tersebut dalam menafsirkan dan memahami dunia serta bagaimana mereka menjelaskan berbagai peristiwa yang terjadi dalam hidup mereka. Corpus mengacu pada sistem kognitif dan klasifikasi lokal, praxis dapat diartikan sebagai sistem manajemen lokal dan kosmos adalah segala hal yang berkaitan dengan kepercayaan, simbol dan ritual setempat.

Praxis, corpus dan kosmos dalam sasi laut adalah contoh kearifan lokal yang digunakan untuk mengelola dan menjaga ikan serta sumber daya laut lainnya. Dalam sasi laut, praxis diterapkan melalui sistem petuanan, yaitu kepemilikan suatu keluarga atas lokasi tertentu yang diwariskan oleh leluhurnya. Dalam sasi laut, petuanan berperan untuk mengatur klasifikasi biota laut dalam upaya perlindungan dan untuk pelaksanaan berbagai ritual. Sementara itu, penerapan corpus dalam sasi laut adalah fokus perlindungan pada biota laut tertentu. Di Kaimana, usaha perlindungan berfokus pada lola (kerang - Trochus sp.), teripang (Holothuroidea) dan siput batulaga (Turbo marmoratus). Sebelum melakukan sasi laut, masyarakat melakukan ritual sinara yang mewakili dimensi kosmos. Ritual ini dilakukan dengan memberikan persembahan hasil bumi (seperti daun sirih, pinang, kapur sirih, ayam dan telur) diikuti dengan pembacaan doa-doa untuk meminta berkat dari dewa-dewa laut. Dalam model mental, ketiga dimensi ini berkaitan dan saling mendukung membentuk sistem pengelolaan dan perlindungan pesisir tradisional.

Pentingnya Menuangkan Kearifan Lokal ke dalam Program Konservasi

Meskipun pelestarian sumber daya laut sangatlah penting, namun praktik sasi laut masih menghadapi beberapa tantangan, salah satunya adalah pelanggaran oleh orang luar. Sering kali, orang luar memancing di wilayah tertentu tanpa melalui mekanisme petuanan. Dalam kasus lain, mereka memancing biota sasi ketika sistem sasi laut sedang ditutup. Jika hal tersebut dilakukan oleh penduduk setempat, pelaku akan menerima sanksi dan hukuman sosial dari para pemimpin adat. Namun, hukuman tersebut sulit diterapkan ketika pelanggarnya adalah orang luar. Biasanya, pelanggar tidak tertangkap, dan jika mereka tertangkap, pelanggar tidak dapat diberikan sanksi karena aturan sasi laut tidak ada dalam sistem hukum. Parahnya lagi, sasi laut disebarkan dari mulut ke mulut dan tidak pernah dituangkan secara tertulis.

Menuangkan kearifan lokal ke dalam kebijakan formal tentunya dapat membantu memastikan keberlanjutan mata pencaharian, perlindungan sumber daya alam dan pencapaian target pemerintah. Target pemerintah tersebut termasuk deklarasi Papua Barat yang menargetkan pelestarian 70% wilayahnya dan pengesahan Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD), khususnya Target Aichi yang memiliki tujuan akhir untuk menjaga keanekaragaman hayati demi kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini, pencegahan eksploitasi biota sasi dapat menjaga keseimbangan ekosistem dan memastikan keberlanjutan sumber daya laut yang penting bagi penghidupan masyarakat.

Melembagakan “Sasi Laut”

Pertama, mendokumentasikan sistem sasi laut secara tertulis. Diperlukan penjelasan yang cukup mengenai sistem ini bagi orang-orang yang berhubungan dengan sumber daya laut, seperti pemerintah daerah, sektor swasta di wilayah tersebut, LSM dan masyarakat pesisir terutama pemuda. Banyak praktik konservasi berdasarkan kearifan lokal yang mulai menghilang di bagian timur Indonesia hanya karena praktik atau sistem tersebut tidak tertulis secara resmi. Oleh sebab itu, mendokumentasikan kearifan lokal secara tertulis sangat penting. Diskusi antara kelompok masyarakat lokal dan para pemuda juga diperlukan agar nilai-nilai sasi laut dapat diwariskan ke generasi berikutnya.

Kedua, masyarakat pesisir yang menjalankan kearifan lokal perlu mendapatkan pengakuan, misalnya melalui pengakuan sebagai masyarakat adat oleh pemerintah. Setelah dilembagakan, masyarakat pesisir dapat diikutsertakan dalam rencana zonasi pesisir dan pulau kecil atau bahkan memiliki wilayah mereka sendiri. Dengan begitu, masyarakat akan memiliki wewenang untuk mengatur wilayah adat mereka dan menerima pendanaan dari pemerintah nasional untuk melakukan kegiatan pengelolaan dan operasional.

Ketiga, elemen kesejahteraan manusia (seperti identitas budaya, kesehatan spiritual dan mata pencaharian berkelanjutan) perlu diikutsertakan dalam perumusan program konservasi keanekaragaman hayati. Untuk itu, para peneliti perlu melakukan penelitian lebih lanjut mengenai berbagai dimensi kearifan lokal dalam mode mental masyarakat setempat.

Jika model mental dapat dituangkan ke dalam rancangan konservasi, kita dapat melihat pendekatan yang dapat memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat sekaligus melestarikan alam di saat yang bersamaan.