Pantau Jejak Penebangan Hutan Ilegal Edisi Kedua: Lima Wilayah Teratas untuk Dipantau
Edisi Kedua ini menyajikan 5 Wilayah Teratas untuk Dipantau, yang terindikasi mengalami penebangan hutan ilegal pada periode 11 Maret – 30 Juni 2018.
#1 Indikasi Penebangan Hutan Ilegal Seluas 336,24 Ha untuk Perluasan Areal Perkebunan dan Pertanian di Kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK) Kabupaten Pesisir Selatan, Provinsi Sumatera Barat
Penebangan hutan seluas 336,24 Ha terindikasi terjadi di Kecamatan Lunang dan Kecamatan Basa Ampek Balai Tapan. Hilangnya tutupan hutan di areal barat laut mengindikasikan perluasan areal perkebunan, karena di sekitar wilayah tersebut telah terlebih dahulu terjadi pembukaan lahan yang cukup luas disertai dengan pembangunan infrasruktur berupa jaringan jalan. Pembukaan lahan ini belum bisa dipastikan peruntukannya, apakah untuk kebun kelapa sawit, hutan tanaman industri, atau komoditas lainnya, karena penanaman di wilayah tersebut belum terjadi. Sementara di bagian timur laut, pembukaan lahan terindikasi untuk kegiatan pertanian lahan kering skala kecil, yang juga merupakan perluasan areal pertanian yang sudah ada.
Areal ini merupakan perluasan dari Wilayah Terindikasi #2 penebangan hutan ilegal pada edisi Pantau Jejak yang pertama – bahkan luas Wilayah Terindikasi meningkat dari 58 Ha pada edisi sebelumnya menjadi 336,24 Ha dengan peningkatan laju penebangan dari sekitar 23 Ha/bulan menjadi sekitar 96 Ha/bulan. Penebangan liar dan pemanfaatan Kawasan hutan untuk kegiatan non-kehutanan terlihat masih menjadi tantangan utama dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan dan hutan di Kabupaten Pesisir Selatan.
#2 Indikasi Penebangan Hutan Ilegal Seluas 348,21 Ha untuk Pembukaan Lahan Perkebunan atau Pertambakan di Kawasan Hutan Lindung, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan
Wilayah Terindikasi ini merupakan hutan mangrove, terletak di Kecamatan Banyuasin Dua. Belum terlihat adanya kegiatan yang dilakukan di wilayah tersebut. Namun demikian, luas Wilayah Terindikasi, pola pembukaan lahan yang teratur, serta lokasi yang berada di muara sungai memperlihatan tipologi pembukaan untuk kegiatan perkebunan atau pertambakan.
Laporan Project-JICA (2014) menunjukkan bahwa salah satu penyebab utama degradasi ekosistem mangrove di Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin adalah pembangunan tambak. Taman Nasional tersebut bersebelahan dengan Kawasan Hutan Lindung dimana Wilayah Terindikasi dan berada pada garis pantai yang sama. Selain itu, Prosiding Seminar Nasional Tahunan X Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan Tahun 2013 menunjukkan penambahan luas lahan pertambakan yang signifikan pada tahun 2003-2007 di Kabupaten Banyuasin, yang sebagian mengkonversi hutan mangrove.
#3 Indikasi Penebangan Hutan Ilegal Seluas 208,08 Ha untuk Pembukaan Lahan Perkebunan di Kawasan Hutan Produksi, Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur
Wilayah Terindikasi ini terletak di Kecamatan Pulau Derawan. Areal hilangnya tutupan hutan di bagian timur berbatasan langsung dengan areal perkebunan dan masih berupa areal bekas land clearing yang mengindikasikan penebangan hutan untuk pembukaan/perluasan lahan perkebunan. Adanya pembangunan infrastruktur berupa jaringan jalan mengindikasikan pembukaan lahan dilakukan oleh pekebun skala besar.
Sementara itu, kehilangan tutupan hutan di bagian utara terindikasi dalam rangka pembukaan lahan perkebunan yang dilakukan dengan penebangan hutan dan diikuti dengan pembakaran lahan. Indikasi bahwa penebangan hutan dilakukan sebelum dibakar terlihat dari foto citra satelit pada 1 Mei yang menunjukkan tekstur yang halus dan berwarna cokelat muda pada lahan terbuka serta tidak teridentifikasi tegakan-tegakan pohon yang tersisa. Indikasi pembakaran lahan di akhir kegiatan pembukaan lahan terlihat dari foto citra satelit pada 16 Juni yang menunjukkan rona warna cokelat tua dan sedikit hitam menyerupai burn scar pada areal bekas land clearing.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Berau 2016-2021, pembukaan hutan untuk kegiatan di luar kehutanan, seperti perkebunan kelapa sawit, terindentifikasi sebagai ancaman keberlanjutan hutan di Kawasan hutan Berau dan berpotensi besar berkontribusi terhadap perubahan iklim. Laporan Kehati juga menunjukkan indikasi dan potensi perkembangan kebun kelapa sawit yang signifikan di kawasan hutan Berau.
#4 Indikasi Penebangan Hutan Ilegal Seluas 98,1 Ha untuk Pembukaan Lahan Pertanian di Kawasan Hutan Produksi Tetap (HP) dan Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT), Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi
Wilayah Terindikasi ini terletak pada Kecamatan Batang Asam. Pola kehilangan tutupan hutan yang tidak beraturan, menyebar, dan berukuran relatif kecil mengindikasikan pembukaan lahan kering untuk kegiatan pertanian. Tidak adanya jaringan jalan di sekitar Wilayah Terindikasi dan jauhnya dari permukiman mengindikasikan tipe pertanian lahan berpindah.
Sebuah penelitian Institut Pertanian Bogor menunjukkan adanya peningkatan kebutuhan masyarakat akan lahan di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, yang salah satunya disebabkan oleh penetapan Kabupaten tersebut sebagai target lokasi transmigrasi sejak tahun 1990. Peningkatan kebutuhan lahan ini mendorong kegiatan ekonomi masyarakat masuk ke dalam Kawasan hutan guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
#5 Indikasi Penebangan Hutan Ilegal Seluas 76,59 Ha untuk Pembukaan Lahan Pertanian Berpindah di Kawasan Hutan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling, Kabupaten Kuantan Singingi, Provinsi Riau
Wilayah Terindikasi ini terletak pada Kecamatan Singingi Hilir. Hilangnya tutupan hutan terindikasi untuk kegiatan pertanian lahan kering, ditandai dengan pola pembukaan lahan yang tidak beraturan, berukuran kecil, dan menyebar. Tidak adanya akses jalan di sekitar wilayah pembukaan hutan mengindikasikan bahwa pembukaan hutan digunakan sebagai lahan pertanian berpindah dan bukan menetap.
Dalam suatu kajian mengenai Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling, diketahui terdapat sekitar 15 desa yang berbatasan dengan suaka margasatwa. Kajian ini menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan masyarakat terhadap kawasan suaka margasatwa sangat tinggi. Selain itu, aktivitas penebangan ilegal di kawasan Suaka Margasatwa Rimbang Baling juga diberitakan marak terjadi.
Langkah Selanjutnya
Daftar Wilayah Teratas ini masih bersifat indikasi namun dapat menjadi sarana untuk menentukan wilayah prioritas untuk dipantau. Berikut adalah langkah-langkah yang perlu ditempuh segera.
1. Verifikasi Lapangan dan Tindakan Untuk Mencegah Perluasan Kegiatan Penebangan Hutan Ilegal di Kelima Wilayah Terindikasi
Kelima wilayah terindikasi menunjukkan sebuah tren bahwa penebangan hutan bukanlah pelopor di daerahnya, melainkan perluasan/lanjutan dari kegiatan yang sudah ada sebelumnya. Wilayah terindikasi berisiko mengalami penebangan yang terus meluas hingga merambah ke hutan di sekitarnya.
Dengan demikian, pejabat yang berwenang dalam melakukan perlindungan kawasan hutan di Wilayah Terindikasi tersebut perlu segera melakukan verifikasi lapangan dan tindakan segera untuk mencegah perluasan penebangan dan pemanfaatan hutan ilegal. Urun daya masyarakat dalam memberikan informasi dari lapangan dapat memperkuat proses verifikasi tersebut. Semakin luas kawasan hutan yang telah dibuka dan dimanfaatkan untuk kegiatan non-kehutanan, akan semakin sulit pula upaya penanggulangan dan pemulihannya. Khususnya, Wilayah Terindikasi #1 perlu menjadi fokus perhatian karena muncul sebagai Wilayah terindikasi #2 pada edisi sebelumnya dan intensitas penebangan yang meningkat.
2. Setelah verifikasi, upaya penanganan harus mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi masyarakat setempat.
Indikasi penebangan hutan ilegal di kelima wilayah tersebut sarat dengan kegiatan ekonomi berskala kecil. Oleh karena itu, setelah verifikasi, upaya penanganan perlu mempertimbangan aspek sosial-ekonomi masyarakat setempat. Mekanisme penanganan tersebut dapat memuat skema penyelesaian konflik, perhutanan sosial, dan penegakan hukum yang logis dan adil. Tidak hanya itu, penelusuran pelaku juga perlu dilakukan sampai kepada sang dalang (pelaku intelektual) dari perambahan hutan, yang terorganisasi mengambil keuntungan utama dari kegiatan penebangan hutan secara ilegal.