Dua puluh tahun lalu, Dr. Florian Siegert, seorang peneliti biologi asal Jerman, sedang melakukan penelitian ekologis di Kalimantan ketika terjadi rentetan kebakaran hutan di berbagai wilayah di seluruh Indonesia. Peristiwa Kebakaran Hutan di Asia selama periode 1997-1998 menghanguskan ribuan mil hutan hujan, yang menyebabkan kabut dan kualitas udara memburuk serta menyebabkan kerugian ekonomi sebesar US$5-6 miliar dan membahayakan kualitas kesehatan jangka panjang 70 juta orang penduduk.

Kebakaran yang merajalela di bentangan hutan hujan tropis menimbulkan pertanyaan bagi Siegert. Mengapa kebakaran hutan terus terjadi dengan sangat agresif?

Perjalanan Siegert dalam mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut membawanya pada keberhasilan sebagai pemenang hadiah sebesar $1 juta karena berhasil memetakan lahan gambut Indonesia, rawa yang terdiri dari bahan organik yang membusuk. Ini bukan satu-satunya pencapaian Siegert dalam karier panjangnya mempelajari lahan gambut, ekosistem yang seringkali terabaikan namun sangat penting dalam pertarungan dunia melawan perubahan iklim.

Dari penelitian Siegert dan tim pada tahun 1997-1998, jelas bahwa hutan hujan di Kalimantan dan Sumatera tumbuh di atas lahan gambut dan masih tersisa banyak lapisan lahan gambut yang belum terbakar.

“Saat itu, lahan gambut pada dasarnya tidak berpenghuni – ekosistem tak dikenal dengan air yang bersifat asam dan ditumbuhi banyak tumbuhan endemik,” jelas Siegert. “Kami ingin mencari tahu lebih jauh mengenai ekologi ekosistem lahan gambut dan bagaimana pembentukannya.”

Lahan Gambut, Lama Terkubur, Mulai Terbakar

Pada tahun 2012, Siegert dan timnya menerbitkan makalah penting yang menyingkap sebuah masalah besar: Lahan gambut tropis yang terbakar melepaskan emisi karbon secara besar-besaran.

Mengetahui ketebalan lapisan lahan gambut yang belum terbakar kini menjadi sangat penting, untuk menghitung sisa karbon di lahan gambut – sekaligus memahami seberapa besar kerusakan yang akan ditimbulkan bila lahan gambut ini terbakar.

<p> Rawa gambut di Kalimantan Tengah, Indonesia. Flickr/WRI</p>

Rawa gambut di Kalimantan Tengah, Indonesia. Flickr/WRI

Dengan menggandeng sejumlah universitas di Indonesia dan Eropa, Siegert dan ilmuwan lainnya mulai mengumpulkan data lapangan selama lebih dari 10 tahun mempelajari sifat-sifat khusus rawa gambut dan penyebab lahan gambut terbakar. “Untuk mempelajari proses pembentukan lahan gambut, kami mengebor lubang pada rawa gambut untuk melihat ketebalan lapisan dan menganalisis biomassa yang terkandung di dalamnya,” jelas Siegert.

Kebakaran hutan di Indonesia yang mencapai tingkat tertinggi pada tahun 2015 menunjukkan betapa pentingnya penelitian tersebut saat ini. Setengah kebakaran terjadi di lahan gambut sehingga melahirkan sebuah bom karbon, yang menyebabkan Indonesia naik peringkat dari negara penghasil emisi tertinggi keenam menjadi keempat di dunia. Tekanan global terhadap Indonesia dalam hal perlindungan dan pemulihan lahan gambut pun kian meningkat.

Tanpa pemahaman yang tepat tentang lokasi, tipe, luas dan dalamnya lahan gambut di Indonesia, mustahil kita dapat melawan perubahan iklim. Menanggapi hal ini, Badan Informasi Geospasial (BIG) Indonesia menyelenggarakan kompetisi Indonesian Peat Prize. Tim yang dapat menemukan cara terbaik untuk memetakan lahan gambut akan menerima hadiah sebesar $1 juta - peta ini kemudian akan menjadi fondasi aksi iklim nasional untuk mengatasi masalah lahan gambut.

Peta Lahan Gambut yang Sempurna: Laser, Pesawat dan Satelit

Ketika Siegert mendengar tentang Peat Prize, ia mulai membentuk sebuah tim yang beranggotakan rekan-rekannya selama lebih dari 15 tahun terakhir.

Dengan beragam keahlian, tim ini memetakan distribusi dan topografi lahan gambut.

Tahap pertama dalam memahami distribusi gambut adalah mengidentifikasi lahan gambut yang sudah terbakar atau terdegradasi yang tidak lagi dapat dikenali sebagai rawa gambut dalam citra satelit terbaru. Dalam prosesnya, tim Siegert menggunakan data citra satelit Landsat dari tahun 1970an yang membantu mereka melihat distribusi hutan rawa gambut dan perubahannya dari waktu ke waktu. Dengan menggunakan citra satelit terbaru dengan resolusi lebih tinggi dari Sentinel-2, tim Siegert dapat mengidentifikasi beberapa karakteristik lain dari lahan gambut, seperti kanal pembuangan air sekaligus mengecek ulang informasi yang diperoleh dari Landsat.

Dengan pemahaman distribusi gambut yang lebih baik, mereka melanjutkan penelitian dengan menghitung ketebalan lokasi lahan gambut - proses ini juga dilakukan dalam dua tahap. Secara karakteristik, lahan gambut terbentuk dalam struktur yang menyerupai kubah; Anda dapat menebak berapa banyak jumlah lahan gambut dengan memetakan topografi kubah pada sebuah lanskap. Sebuah citra satelit yang diambil dari pesawat Airbus WorldDEM menyajikan tampilan awal perkiraan tinggi setiap kubah lahan gambut. Tim Siegert kemudian secara inovatif menggunakan LiDAR – yang bekerja seperti sonar pada suara, tetapi dengan laser - untuk menciptakan topografi yang sangat rinci dan tampilan 3D digital di wilayah-wilayah tertentu. (Menerbangkan instrumen pancaran sinar LiDAR menggunakan pesawat menghabiskan biaya lebih besar dari tahapan lain dalam proses pemetaan gambut. Namun demi efisiensi, tim Siegert hanya menggunakan metode ini untuk memeriksa ulang wilayah tertentu dalam peta topografi yang diperoleh dari WorldDEM.)

Terakhir, tim Siegert mempekerjakan penduduk lokal yang tinggal di dekat area lahan gambut untuk mengebor beberapa lusin lubang di tanah. Mereka meneliti masing-masing lubang untuk memperkirakan kedalaman gambut - cara mengecek ulang metode berbasis satelit yang dapat digunakan secara efisien oleh seluruh masyarakat Indonesia di penjuru negeri.

Kombinasi ini terbukti menghasilkan metode paling akurat, efisien dan terjangkau dalam kompetisi Indonesian Peat Prize sehingga tim International Peat Mapping berhasil menyabet hadiah kompetisi Indonesian Peat Prize sebesar $1 juta. Pemerintah Indonesia akan menggunakan metode tim tersebut - termasuk beberapa elemen lain dari peserta lainnya seperti kerangka berbasis helikopter untuk mengukur ketebalan lahan gambut menggunakan gelombang elektromagnetik - sebagai standar pemetaan lahan gambut di seluruh wilayah Indonesia.

Potensi Pemulihan Lahan Gambut

Setelah mengembalikan investasi yang diperoleh dari Remote Sensing Solution, sebuah perusahaan beranggotakan 15 orang milik Siegert yang mendanai inisiatif tersebut, Siegert berencana untuk memakai dana yang ia menangkan untuk meneliti pemulihan lahan gambut. Ia juga berniat untuk meningkatkan kerja sama akademis dengan berbagai universitas untuk mengembangkan program “tesis lahan gambut” yang berfokus pada restorasi lahan gambut. Terakhir, Siegert menyatakan bahwa ia juga akan mengembangkan upaya ini di luar Indonesia untuk menjelajahi lahan gambut di Afrika yang sama sekali belum pernah dieksplorasi - dan untungnya belum tersentuh.