Artikel ini sebelumnya diterbitkan di Mongabay.co.id pada 22 Juni 2020.

Terjadi pro dan kontra terkait anjuran Presiden Joko Widodo untuk memanfaatkan lahan gambut untuk mencetak sawah baru di Kalimantan guna mencegah ancaman krisis pangan selama pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19).

Kekhawatiran terbesar adalah mengulangi kegagalan proyek sejuta hektar lahan gambut pada 1995 yang menguras banyak dana dan gagal menyediakan setok pangan. Sedang lahan gambut basah yang menyimpan banyak karbon untuk mencegah krisis iklim rusak karena pengeringan.

Lahan gambut sebenarnya bisa untuk budidaya tanaman dengan syarat-syarat tertentu. Pertama, lahan gambut harus berada di zona fungsi budidaya sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri LHK tahun 2017.

Pemanfaatan lahan gambut dangkal yang terbengkalai di zona budidaya bisa untuk menambah nilai ekonomi sekaligus melindungi lahan gambut dari kerusakan. Kedua, praktik budidaya tanaman harus memenuhi kaidah ramah gambut, yakni, tidak merusak ekologi gambut dengan tak mengeringkan gambut, tidak membakar lahan gambut, dan tidak mencemari lingkungan. Walau masih memungkinkan dengan berbagai syarat, pertanian di lahan gambut bukan tanpa tantangan.

Dari aspek sosial, masyarakat di wilayah gambut memiliki kebiasaan menyiapkan lahan dengan cara membakar sebelum menanam padi. Metode pembakaran dipilih karena praktis, murah, dan dipercayai sebagai cara menambah kesuburan. Contoh, lahan gambut biasa ditumbuhi tanaman bawah yang lebat yang memerlukan upaya ekstra dalam pembersihan lahan. Dengan membakar, semua tanaman bisa langsung bersih. Namun, budaya membakar ini menyumbang emisi karbon besar dan pembakaran berulang akan menyebabkan gambut hilang.

Mengubah perilaku dari membakar jadi tak membakar bukanlah hal mudah karena seringkali tidak memiliki kapasitas cukup dalam segi keilmuan, keahlian maupun metode.

Dari sisi tanaman padi, tantangan besar dalam menanam padi di lahan gambut adalah ketersediaan air untuk pertumbuhan tanaman. Banyak lahan gambut sudah terbangun kanal untuk mengeringkan gambut demi kebutuhan perkebunan monokultur, misal, sawit. Pada musim kemarau, akan terjadi kekeringan dan tak ideal untuk menanam padi.

Peluang dan Tantangan

Ada beberapa peluang pertanian di lahan gambut. Pertama, perlu menerapkan praktik pertanian sesuai kaidah pengelolaan lahan gambut berkelanjutan. Yakni, dengan tidak membakar dan tak mengeringkan gambut. Pembersihan lahan dapat dengan cara manual, yakni, menebas vegetasi dengan parang, dan tanpa alat berat (eskavator).

Dengan eskavator, gambut akan rusak karena lapisan permukaan akan terkikis. Dengan cara manual, proses pembersihan dapat lebih berhati-hati tanpa mengikis lapisan permukaan gambut, meskipun cara ini memerlukan waktu lebih lama.

Untuk membuat lahan kondusif bagi pertumbuhan tanaman, opsi dapat dilakukan dengan pemberian pupuk hayati dan penyubur tanah. Pada 2017, pertanian padi di gambut dangkal seluas satu hektar dengan metode pembersihan lahan manual dan pupuk hayati sudah diuji coba oleh satu kelompok masyarakat di Desa Sebangau Jaya, Kecamatan Sebangau Kuala, Kabupupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Pada satu kali rotasi tanam yakni 102 hari, mulai dari pembuatan persemaian sampai dengan pemanenan.

Dari praktik uji coba ini, hasil produksi gabah 4,5 ton per hektar, lebih tinggi dari pertanian dengan membakar, yang berdasarkan informasi dari masyarakat hanya menghasilkan gabah paling banyak 2,5 ton perhektar.

Setelah kegiatan uji coba ini, masyarakat desa menerapkan praktik pertanian secara mandiri. Hasilnya, dalam dua tahun, telah tercetak 10 hektar lahan pertanian padi swadaya dengan metode tanpa membakar. Dari contoh itu, masyarakat perlu dibekali ilmu dan keterampilan cukup untuk pertanian berkelanjutan.

Kedua, dari sisi ekologis, kedalaman gambut yang dianjurkan pertanian padi adalah gambut dangkal atau kurang dari satu meter karena memiliki risiko lingkungan lebih rendah dan tingkat kesuburan relatif lebih tinggi.

Lahan gambut dengan kedalaman lebih satu meter tidak dianjurkan untuk pertanian padi, melainkan untuk pemulihan kembali dengan menanam pohon asli gambut. Kegiatan penanaman pohon asli gambut ini harus diiringi pembasahan gambut guna memulihkan kembali gambut mendekati kondisi alami.

Ketiga, guna memastikan pertanian tidak mengeringkan gambut, kebasahan lahan selama praktik pertanian berlangsung harus tetap terjaga. Pada wilayah-wilayah gambut yang dibangun kanal, pembuatan sekat penting untuk membasahkan gambut dan memastikan ketersediaan air untuk pertanian.

Keempat, pemilihan varietas padi agar tumbuh baik dalam kondisi gambut basah atau tergenang jadi sangat penting agar gambut tetap basah. Dengan memilih varietas padi rawa, misal, Inpari 3, praktik pertanian tak memerlukan pengeringan gambut. Rotasi padi rawa memerlukan waktu sekitar 3-4 bulan, hingga dalam satu tahun dapat dioptimalkan tiga rotasi sepanjang tersedia keperluan air untuk tanaman padi. (Catatan editor 29 Juni 2020: Ada kekeliruan jenis varietas padi. Sebelumnya ditulis sebagai Impara 3, diperbaiki menjadi Inpari 3.)

Peluang untuk pertanian berkelanjutan di lahan gambut memang ada tetapi tetap perlu sinergi dan kerja sama antar lembaga dan kementerian terkait.

Berkenaan dengan penyiapan sekat kanal untuk irigasi, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat memiliki peranan penting. Kementerian Pertanian berperan mentransfer metode pertanian ramah gambut atau pertanian basah pada lahan gambut dangkal kepada masyarakat yang akan jadi mitra. Dengan bimbingan teknis dan pengawasan, penyuluhan, serta menyediakan prasarana dan sarana.

Kalau dengan cara-cara benar dan berhati-hati, lahan gambut bisa untuk menambah setok pangan tanpa memperparah krisis iklim yang saat ini sudah terjadi.