Pelestarian hutan dan lahan gambut di Indonesia semakin menjadi perhatian sejak kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada 2015. Bencana yang menyebabkan terbakarnya 2,6 juta hektare hutan dan lahan tersebut mengakibatkan kerugian sebesar 16,128 miliar USD (~251–438 triliun rupiah) serta mengakibatkan 69 juta jiwa terdampak, 19 orang meninggal, dan hampir 500 ribu orang mengalami gangguan pernapasan. Bencana tersebut juga menyebabkan lumpuhnya sektor transportasi dan pendidikan karena tebalnya kabut asap yang ditimbulkan.  

Lahan gambut berperan penting dalam menjaga keseimbangan iklim global. Ini disebabkan oleh kemampuannya menyimpan sepertiga karbon yang ada di tanah (500600 gigaton karbon). Jumlah ini dua kali lebih besar dibandingkan karbon yang tersimpan di hutan. Mengintegrasikan lahan gambut ke dalam aksi iklim nasional menjadi sangat penting untuk mencapai target pembatasan kenaikan suhu global di bawah 1,5˚C. Indonesia sendiri merupakan salah satu negara dengan lahan gambut tropis terluas di dunia, yakni seluas 13,43 juta hektare. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan konservasi yang komprehensif untuk memastikan kelestariannya. 

Salah satu kunci keberhasilan dalam upaya pelestarian lahan gambut adalah riset. Melalui penelitian, kita bisa memahami karakteristik unik lahan gambut, bagaimana ekosistem di dalamnya bekerja, dan jasa ekosistem yang ditawarkan. Penelitian yang memadai menjadi fondasi bagi para pemangku kepentingan dalam merumuskan kebijakan terkait pengelolaan lahan gambut. Selain itu, riset juga berfungsi meningkatkan kesadartahuan masyarakat tentang pentingnya menjaga ekosistem gambut.  

Meskipun sangat penting, riset dan data terkait lahan gambut masih minim secara global, terutama terkait isu perubahan iklim. Hingga saat ini masih ada kesenjangan data tentang gambut yang menghambat integrasinya dalam model iklim dan proyeksi iklim masa depan. Lebih spesifik, data terkait pengaruh aktivitas pembasahan gambut terhadap emisi gas rumah kaca (GRK) masih sangat minim untuk wilayah tropis seperti di Indonesia. Untuk mengisi kesenjangan tersebut, WRI Indonesia bersama mitra yaitu CIMTROP, UK Center for Ecology and Hydrology (UKCEH), dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melakukan riset pada topik tersebut dan menjadikan Laboratorium Alam Hutan Gambut (LAHG) Sebangau sebagai salah satu lokasi risetnya. 

Gambar 1. Aktivitas riset di lahan gambut yang dilakukan oleh tim WRI Indonesia
Gambar 1. Aktivitas riset di lahan gambut yang dilakukan oleh tim WRI Indonesia

Belajar dari Laboratorium Alam Hutan Gambut (LAHG) Sebangau  

Pemilihan lokasi merupakan tahap awal dalam pelaksanaan riset. Tahapan ini sangat penting untuk dilakukan demi mendapatkan lokasi yang sesuai dengan desain riset yang telah direncanakan. Adanya lokasi yang representatif sangat dibutuhkan untuk memastikan penelitian dapat mencapai hasil yang diharapkan.  

LAHG Sebangau, dengan tutupan lahan berupa hutan alami, merupakan lokasi yang cocok untuk melakukan penelitian terkait lahan gambut. Saat ini, hutan rawa gambut yang tersisa di Indonesia hanya sekitar 7% dari luas total lahan gambut di negara ini, sehingga keberadaan LAHG Sebangau menjadi sangat berharga. Lokasinya juga mudah diakses, sekitar 30 menit dari Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah, dengan mobil dan perahu, serta memiliki jalan setapak menuju area hutan rawa gambut.  

LAHG Sebangau dikelola oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) Centre for International Cooperation in Sustainable Management of Tropical Peatland (CIMTROP). Laboratorium alam ini terletak di utara Sungai Sebangau, Kelurahan Kereng Bangkirai, Kecamatan Sebangau, Kota Palangka Raya dengan luas sekitar 50.000 hektare. Berdasarkan eksplorasi yang dilakukan tim WRI Indonesia, kedalaman gambut di lokasi ini mencapai sekitar 3–4 meter, atau dikategorikan sebagai gambut dalam.  

Gambar 2. Bentang alam dan akses jalan setapak di LAHG Sebangau
Gambar 2. Bentang alam dan akses jalan setapak di LAHG Sebangau

Laboratorium alam yang berada di kawasan Taman Nasional Sebangau ini telah menjadi  referensi dunia untuk penelitian lahan gambut tropis. Hingga kini, LAHG Sebangau telah dimanfaatkan oleh para peneliti dari dalam dan luar negeri, baik individu maupun lembaga. termasuk WRI Indonesia. Dalam sepuluh tahun terakhir, terdapat sekitar 20 peneliti yang melakukan penelitian di sini setiap tahunnya. Laboratorium alam ini juga berfungsi sebagai objek edukasi lingkungan bagi generasi muda untuk mengenal lahan gambut dan keanekaragaman hayati di dalamnya.  

LAHG Sebangau memiliki keanekaragaman hayati yang amat kaya. Di Taman Nasional Sebangau, setidaknya terdapat 808 jenis flora, dan sebagian di antaranya dapat ditemukan di LAHG Sebangau. Beberapa tanaman ini menjadi sumber makanan bagi hewan-hewan yang hidup di sana.  

Kita juga dapat menemukan lima jenis mamalia besar di LAHG Sebangau, termasuk babi hutan (Sus barbatus) dan kelasi (Presbytis baricunda). Selain itu, terdapat mamalia besar yang terancam punah atau terdaftar dalam Appendix I1 , seperti orang utan (Pongo pygmaeus), gibbon (Hylobates albibarbis), dan beruang madu (Helarctos malayanus). Selain mamalia, berbagai jenis hewan melata atau herpetofauna juga dapat dijumpai di sini.  

Ular hijau
Gambar 3. The Bornean keeled green pit viper (Tropidolaemus subannulatus) yang ditemui tim riset WRI Indonesia di LAHG Sebangau

Penelitian WRI Indonesia di LAHG Sebangau 

Sebagai lembaga riset independen, WRI Indonesia memberikan perhatian khusus terhadap lahan gambut. Penelitian yang dilakukan  mencakup berbagai topik, mulai dari biofisik (seperti pengukuran dampak pembasahan lahan gambut, pemantauan subsidensi gambut, dampak kebakaran lahan gambut, serta pemantauan tinggi muka air dan kelembaban tanah gambut), aspek sosial dan ekonomi (seperti revitalisasi mata pencaharian masyarakat dan economic cost-benefit analysis dalam pengelolaan lahan gambut), serta berbagai topik lainnya. WRI Indonesia juga memberikan hibah riset kepada para peneliti di Asia Tenggara untuk melakukan penelitian terkait lahan gambut.  

Saat ini, tim WRI Indonesia sedang meneliti dampak pembasahan lahan gambut terhadap emisi gas rumah kaca (GRK) serta kaitannya dengan subsidensi gambut. Penelitian ini dilakukan di Kota Palangka Raya dan Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, dengan LAHG Sebangau menjadi salah satu lokasi penelitiannya. LAHG Sebangau dipilih karena memiliki tutupan lahan berupa hutan alami dan fungsi ekologis yang masih terjaga, sehingga cocok dengan tujuan dan desain riset yang dilakukan.  

Penelitian ini merupakan kelanjutan dari riset pengukuran dampak pembasahan terhadap parameter hidrologis gambut yang dilakukan WRI Indonesia pada tahun 2020-2021. Mengutip pernyataan Kepala CIMTROP Dr. Adi Jaya, penelitian terkait emisi GRK dan keterkaitannya dengan subsidensi gambut masih sangat diperlukan. Terlebih, riset yang dilakukan WRI Indonesia bersama mitra ini dilakukan di lahan gambut yang telah dan belum dilakukan pembasahan dan penelitian serupa masih jarang dilakukan. 

Melalui penelitian ini, diharapkan kita dapat memahami pengaruh pembasahan lahan gambut terhadap emisi GRK dan korelasinya dengan subsidensi gambut, Parameter utama yang diamati untuk riset emisi GRK adalah karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan nitrogen oksida (N2O). Sementara itu, parameter utama untuk riset subsidensi gambut adalah tinggi muka air (TMA) gambut dan pergerakan permukaan tanah gambut. Dengan demikian, riset ini akan memperlihatkan perbedaan nilai dan fluktuasi parameter-parameter tersebut di lahan gambut yang sudah dan belum dilakukan pembasahan.  

Penilitian ini diharapkan dapat mengisi kesenjangan sekaligus memperkaya data dan pengetahuan terkait isu tersebut,  khususnya untuk lahan gambut tropis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi para pemangku kepentingan dalam menyusun peraturan terkait pengurangan emisi GRK di lahan gambut. Lebih lanjut, penelitian ini juga  dapat mendorong masyarakat serta pemangku kepentingan lainnya dalam mempraktikkan pengelolaan lahan gambut berkelanjutan demi mengurangi emisi GRK dari lahan gambut. 

Gambar 4. Riset emisi gas rumah kaca yang dilakukan tim WRI Indonesia bersama partner di LAHG Sebangau
Gambar 4. Riset emisi gas rumah kaca yang dilakukan tim WRI Indonesia bersama partner di LAHG Sebangau

Riset merupakan jembatan yang sangat penting untuk memperkaya pengetahuan dan informasi mengenai fenomena yang terjadi di lahan gambut. LAHG Sebangau, dengan berbagai keunikan dan keutuhan lahan gambutnya, merupakan surga bagi para pemerhati lahan gambut tropis untuk memahami lebih dalam lahan yang kaya akan karbon ini. Keberadaan laboratorium alam ini tidak hanya memberikan kesempatan untuk penelitian, tetapi juga berkontribusi dalam upaya pelestarian dan pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan.