Oleh Thontowi Suhada, peneliti Wahana Riset Indonesia.

Apa kaitan antara perubahan iklim dan Chelsea Islan? Pada suatu ketika, direktur WRI Indonesia mengumumkan sebuah kesempatan yang menarik. Akan dipilih satu orang untuk dapat duduk bersama Chelsea Islan sebagai pembicara dalam sebuah acara bertema lingkungan. Syaratnya adalah orang tersebut harus paham tentang perkembangan isu lingkungan kedepan dan tentu saja artikulatif. Apa yang terjadi? Bisa dibayangkan, tiba-tiba kantor menjadi ramai dengan pembahasan isu lingkungan ke depan. Berlomba-lombalah kami menjadi yang terbaik untuk menjadi yang terdepan dalam isu tersebut.

Ritme hidup di WRI adalah hal yang baru bagi saya. Selama ini saya cukup banyak bergelut dengan riset dan proyek, namun didominasi oleh riset jangka pendek berkisar tiga sampai enam bulan. Di sini, saya harus melakukan riset dengan jangka waktu setahun bahkan lebih. Bisa dibayangkan, menjaga antusiasme dan usaha akan menjadi relatif lebih sulit dalam proses riset yang cukup panjang itu. Untungnya, WRI menyediakan dinamika-dinamika menarik selama menjalani proses panjang tersebut. Duduk bersama dengan Chelsea Islan misalnya, akan memberikan gairah baru. Secara berkala, WRI Indonesia juga mengadakan pelatihan-pelatihan praktis. Sebulan sekali, kami mengadakan pitching riset ataupun presentasi hasil riset yang telah kami lakukan. Seluruh staff, tanpa memandang latar belakang, dapat ikut berpartisipasi dan memberikan masukan. Percikan-percikan dan asupan semangat di tengah perjalanan ini lah yang diperlukan untuk menjaga ritme individu dan organisasi agar dapat mencapai tujuan jangka panjang.

Dan Ariely, pakar ekonomi perilaku menjelaskan bahwa visi ke depan adalah salah satu kelebihan terbesar manusia dibanding makhluk hidup lainnya. Kita mampu memprediksi apa yang akan terjadi di masa depan dalam tataran tertentu. Namun sayangnya, sebagian dari otak kita tidak berkembang untuk mengikuti otak visioner tersebut. Kita cenderung mengabaikan apa yang terjadi di masa depan, terutama bila hal itu berarti kita harus mengorbankan kebahagiaan kita di saat ini. Contoh paling sederhana adalah pola hidup sehat. Kita mengerti bahwa sakit jantung, obesitas, dan kanker akan muncul di kemudian hari bila kita tidak berpola hidup sehat. Namun, tetap saja kita dengan mudahnya mengatakan “besok sajalah” untuk berolahraga.

Lalu apa solusinya? Ariely memberikan trik untuk mengatasi masalah tersebut. Rancanglah hadiah untuk diri sendiri setiap kali melakukan hal-hal visioner. Satu cangkir yogurt setelah berolahraga tentu akan menjadi motivasi jangka pendek yang menyenangkan. Begitu pula ketika berbicara pada konteks yang lebih besar, perubahan iklim misalnya. Seringkali kita lebih fokus untuk menjelaskan bencana apa saja yang akan terjadi di masa datang, namun kita lupa membangun sistem insentif untuk mendorong perubahan perilaku dalam jangka pendek. Sudahkah pemerintah kita menerjemahkan target pengurangan emisinya menjadi sebuah sistem berbasis insentif? Gagal memahami pola perilaku manusia pada jangka pendek, berarti kita merencanakan kegagalan dalam jangka panjang. Mungkin kita hanya perlu insentif lebih, seperti berdiskusi bersama Chelsea Islan, untuk mendorong perubahan perilaku kita dalam mengatasi perubahan iklim.