Peternakan Babi di Labuan Bajo: Sumber Pangan dan Solusi Alternatif Sampah Makanan
Labuan Bajo merupakan salah satu destinasi wisata super prioritas1 yang ditetapkan oleh Kementerian Pariwisata pada 2021. Menurut Kepala Dinas Pariwisata, Ekonomi Kreatif dan Kebudayaan (Disparekrafbud) Manggarai Barat, Stefanus Jemsifori, yang dikutip oleh ANTARA News, sebanyak 411.349 wisatawan berkunjung ke Labuan Bajo sepanjang tahun 2024. Angka ini didominasi oleh wisatawan mancanegara, yakni sebanyak 229.763 orang. Merujuk pada angka tersebut, Labuan Bajo tentu menyimpan banyak potensi ekonomi untuk dapat terus dikembangkan dalam masa yang akan datang.
Namun, di balik potensi ekonominya, angka kunjungan wisatawan yang tinggi itu tentu berkontribusi pada tingginya timbulan sampah di Labuan Bajo. Menurut Badan Otorita Pariwisata Labuan Bajo Flores (BOPLBF), timbulan sampah rata-rata di Labuan Bajo mencapai 112,4 meter kubik atau setara dengan 13 ton per hari. Lebih lanjut, jenis sampah yang mendominasi di Labuan Bajo adalah sampah organik, yang mencakup 44,27% dari total timbulan sampah (WWF, 2024).
Salah satu sumber penghasil sampah organik, yang didominasi oleh sampah pangan, adalah hotel, restoran, dan kafe (horeka) (WWF, 2024). Sampah-sampah pangan tersebut sangat beragam, mulai dari kulit buah, tulang-tulangan, hingga sisa makanan. World Wide Fund (WWF) juga menyebutkan bahwa sampah organik ini kerap diumpankan menjadi pakan ternak, salah satunya adalah untuk ternak babi. Di saat yang bersamaan, babi menjadi hewan ternak kedua paling banyak dikonsumsi setelah sapi di daerah tersebut. Kondisi ini tidak hanya terjadi di Labuan Bajo, tetapi juga di seluruh Kabupaten Manggarai Barat.
Dalam ranah sistem pangan, peternakan babi di Labuan Bajo menjadi sebuah studi kasus yang menarik karena berperan sebagai sumber pangan sekaligus membantu pengelolaan sampah makanan.
Ternak Babi sebagai Sumber Pangan dan Penghasilan
Badan Pusat Statistik Kabupaten Manggarai Barat mencatat bahwa populasi babi sebagai hewan ternak di Kecamatan Komodo mencapai 3.906 ekor pada 2023. Uniknya, total populasi babi tersebut dihasilkan dari peternakan yang berbasis rumahan (home-based industry). Oleh karenanya, rata-rata jumlah babi yang dipelihara oleh masing-masing rumah biasanya berkisar antara 3 hingga 10 ekor. Dengan kata lain, mayoritas masyarakat di Manggarai Barat memiliki peternakan babi sehingga babi merupakan salah satu sumber protein hewani bagi masyarakat setempat.
Tingginya jumlah peternakan babi di Manggarai Barat utamanya didorong oleh dua faktor, yakni ekonomi dan budaya. Secara ekonomi, babi merupakan komoditas yang mahal harganya dan di saat yang bersamaan, permintaan akan babi selalu ada. Hal ini dipengaruhi oleh faktor kedua, yakni budaya. Masyarakat Manggarai Barat menjadikan babi sebagai pangan utama dalam berbagai acara adat, seperti misalnya pada upacara pertunangan, upacara pernikahan, hingga upacara kematian.
Fakta tersebut diungkap oleh Tio, orang muda yang tinggal di Desa Batu Cermin, Kecamatan Manggarai Barat, yang telah beternak babi selama tiga tahun terakhir. Kini, ia memiliki tujuh ekor babi dengan kandang yang terletak tepat di pekarangan rumahnya. Ia mengurus para babi tersebut sendiri dan terkadang dibantu oleh anggota keluarga lainnya. Salah satu alasannya adalah karena beternak babi dianggap dapat mendukung perekonomian keluarga. Anak babi dapat dibanderol dengan harga hingga 1-1,5 juta per ekor.

Peternakan Babi sebagai Solusi Sampah Pangan

Berdasarkan observasi penulis di lapangan pada Februari 2025 dalam rangkaian kegiatan proyek Urban Futures2, merupakan hal yang lumrah bagi para peternak babi untuk mengumpulkan sisa-sisa makanan dari hotel, rekreasi dan kafe (horeka) dan kapal wisata. Tidak heran ditemukan banyak peternak yang berjaga di Pelabuhan KP 3 Labuan Bajo untuk mengumpulkan sisa makanan dari para wisatawan di kapal wisata. Dalam satu hari di masa bukan liburan (low season), jumlah kapal wisata yang berlabuh – baik berbentuk kapal cepat maupun kapal pinisi – dapat berkisar antara 10 hingga 20 unit.
Sebagai konteks, terdapat dua jenis wisata laut yang biasanya tersedia di Labuan Bajo; perjalanan satu hari menggunakan speed boat dan perjalanan tiga hari menggunakan kapal pinisi. Masing-masing kapal memiliki kapasitas angkut yang berbeda-beda, dengan 10-20 orang untuk kapal cepat dan 15 hingga 30 orang untuk kapal pinisi.
Untuk perjalanan dengan kapal pinisi yang menginap, data di lapangan menunjukkan dua pendekatan yang dilakukan awak kapal untuk mengelola sampah makanan. Ada kapal pinisi yang membawa seluruh sampah pangannya untuk dibuang di tempat pembuangan sampah di pelabuhan, tetapi ada juga kapal yang membuang sampah pangannya ke laut3.
Berdasarkan kedua informasi tersebut, setidaknya terdapat lebih dari 300 porsi makanan yang terkumpul dalam satu hari. Sampah makanan ini meliputi sisa nasi, daging, tulang-tulangan ayam dan ikan, kulit buah, serta sayuran untuk garnish.
Di sinilah peternak babi memainkan peran. Mereka biasanya menitipkan kantong sampah secara berkala di beberapa rumah makan, restoran, dan kapal wisata. Setelah itu, kantong sampah diambil setiap hari untuk menghindari tumpukan sampah dan merebaknya bau busuk. Penitipan kantong sampah ini dilakukan secara terbatas dan informal dengan memanfaatkan hubungan pertemanan antara peternak babi dengan kolega yang bekerja di tempat-tempat tersebut, atau melalui keluarga mereka.
Berdasarkan pengamatan penulis di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Warloka, praktik pengumpulan sampah pangan untuk pakan babi berpotensi menjadi salah satu solusi untuk mengurangi bau tidak sedap. Saat dikunjungi, sebagian besar profil sampah di TPST Warloka adalah plastik. Wawancara dengan para petugas TPST juga mengonfirmasi bahwa sampah pangan biasanya sudah diangkut terlebih dulu oleh para peternak babi.

Peluang dan Tantangan Beternak Babi di Labuan Bajo
Berdasarkan penjelasan Tio, peluang memanfaatkan sampah pangan sebagai pakan ternak terletak pada proses fermentasi sampah. Menurutnya, fermentasi dapat menciptakan pakan ternak yang lebih mudah dicerna, lebih bergizi, dan memungkinkan pertumbuhan babi yang lebih cepat. Selain itu, proses fermentasi juga mengurangi bau busuk yang kerap keluar dari sampah pangan. Bau tidak sedap dari kotoran babi yang memakan pakan hasil fermentasi juga jauh berkurang.
Dari aspek ekonomi, pakan ternak babi hasil fermentasi pangan juga terbukti lebih murah dibanding konsentrat atau pelet. Harga konsentrat atau pelet untuk satu karung berukuran 50 kg dapat mencapai 500-700 ribu rupiah. Di sisi lain, fermentasi sampah pangan terhitung gratis karena berasal dari sisa-sisa makanan, dan peternak hanya perlu membeli bakteri probiotik EM4 sebagai bahan campuran pakan. Hasil fermentasi ini juga dapat bertahan hingga dua bulan.
Namun, fermentasi sampah pangan bukanlah tanpa rintangan. Tio juga memaparkan bahwa pemerintah belum memberikan perhatian lebih pada upaya fermentasi ini dan masih berfokus pada pengawasan kesehatan babi. Padahal, cara fermentasi ini dapat membantu para peternak babi untuk memproduksi anakan babi yang berkualitas sekaligus meningkatkan pendapatan para peternak.

Melihat potensi keuntungan ekonomi serta manfaat bagi lingkungan dari peternakan babi yang menggunakan proses fermentasi, Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Barat perlu mendorong sosialisasi yang lebih masif. Hal ini dapat dimulai dengan pelatihan dasar terkait sampah pangan bagi para peternak. Lebih lanjut, pelatihan dapat membahas pemanfaatan bakteri probiotik EM4 secara lebih khusus, untuk mendorong peningkatan pengetahuan dan kemampuan para peternak babi sekaligus mendukung upaya pengelolaan sampah sisa makanan di Labuan Bajo.
Selain pelatihan, Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Barat dapat memberikan dukungan dengan mengembangkan mekanisme pengumpulan sampah pangan yang menghubungkan pelaku usaha horeka dan peternak babi. Dengan begitu, pelaku usaha horeka dapat tetap menjaga standar kebersihan usahanya, sekaligus mendukung peternak dalam menghasilkan babi yang lebih sehat.
1Destinasi wisata super prioritas adalah program Kementerian Pariwisata yang bertujuan untuk meningkatkan kunjungan wisatawan di luar Pulau Bali, dan menciptakan pemerataan ekonomi lokal sehingga tercipta ekosistem ekonomi kreatif di masing-masing daerah.
2Urban Futures (UF) adalah program global berdurasi 5 tahun (2023–2027) yang memadukan sistem pangan perkotaan, kesejahteraan orang muda, dan aksi iklim. Program ini dikelola oleh Hivos, Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Humanis), serta mitra, jejaring, dan pakar lokal. Urban Futures beroperasi di 10 kota di Kolombia (Cali dan Medellin), Ekuador (Manabi dan Quito), Indonesia (Bandung dan Manggarai Barat), Zambia (Chongwe dan Kitwe), dan Zimbabwe (Bulawayo dan Mutare). Kota-kota perantara ini memiliki ukuran yang bervariasi namun memiliki kesamaan, yaitu berkembang dengan pesat, menghubungkan wilayah metropolitan dan pedesaan atau kelompok kota yang berbeda di dalam suatu sistem perkotaan, dan mengelola arus orang, barang, modal, informasi, dan pengetahuan. Masing-masing kota ini memiliki tantangan dan peluang yang berbeda. Silakan akses tautan berikut untuk mempelajari proyek Urban Futures.
3Berdasarkan wawancara yang dilakukan ke 10 kapal pinisi, sampah yang dibuang ke laut hanyalah sampah sisa makanan dan bukan sampah plastik. Para awak kapal berkewajiban untuk membawa kembali sampah plastik ke daratan untuk kemudian dibuang di TPA Pelabuhan KP 3 Labuan Bajo.