Most palm oil comes from Indonesia and Malaysia. Photo credit: Achmad Rabin Taim/Wikimedia Commons
Most palm oil comes from Indonesia and Malaysia. Photo credit: Achmad Rabin Taim/Wikimedia Commons

Minyak sawit, yang merupakan minyak nabati yang paling banyak dikonsumsi di dunia, diproduksi di 17 juta hektar lahan di dunia, setara dengan wilayah yang lebih luas dari Uruguay. Sebagian besar minyak sawit dihasilkan dari Indonesia dan Malaysia, dengan produksi yang semakin meningkat di Afrika Tengah dan Amerika Latin. Namun, dimana tepatnya kelapa sawit ditumbuhkan, dan yang lebih penting lagi, bagaimana kelapa sawit diproduksi, merupakan hal yang sulit untuk ditentukan dari perspektif perusahaan pembeli. Meskipun beberapa minyak sawit ditumbuhkan dengan cara yang berkelanjutan, perkebunan-perkebunan lainnya membuka lahan hutan dan merusak ekosistem.

Sebuah inisiatif baru dari WRI dan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) bertujuan untuk menjelaskan mengenai bagaimana setiap konsesi minyak kelapa sawit mempengaruhi hutan, informasi yang bisa memberdayakan perusahaan untuk mengelola hutan dan rantai pasokan mereka secara lebih berkelanjutan. Global Forest Watch Commodities (GFW-Commodities), platform baru yang didirikan oleh WRI dan lebih dari 40 mitra lain, mengombinasikan peta RSPO tentang tempat-tempat yang memproduksi kelapa sawit yang berkelanjutan dengan data hutan global seperti peringatan hilangnya tutupan pohon, lokasi hutan primer, dan klasifikasi lahan legal. Dengan bekal dari GFW-Commodities, peta RSPO baru, dan pengetahuan mengenai rantai pasokan mereka, perusahaan-perusahaan bisa mengurangi risiko bahwa minyak kelapa sawit yang mereka beli berkontribusi terhadap deforestasi.

Kebutuhan akan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan

Produksi minyak kelapa sawit telah meningkat dengan pesat beberapa tahun belakangan. Minyak kelapa sawit sekarang dapat ditemukan di berbagai jenis produk, dari sabun pencuci piring sampai dengan lipstik, dan bahkan kue muffin. Meskipun produksi pertanian minyak kelapa sawit telah membantu mendorong perekonomian dan menghasilkan pemasukan dan membuka lapangan pekerjaan bagi kelompok masyarakat yang ditimpa kemiskinan, produksi ini ada harganya.

Uji Coba GFW-Commodities

Global Forest Watch – Commodities merupakan platform online yang tersedia secara gratis yang menyediakan analisis praktis kehutanan terkait rantai pasokan komoditas kapan dan dimanapun perusahaan membutuhkan. Versi betanya sudah dibuka untuk uji coba dan akan diluncurkan secara resmi pada tahun ini. Kunjungi situs kami untuk mempelajari lebih lanjut.

Perkembangan kelapa sawit sudah menghancurkan banyak wilayah hutan tropis di dunia, terutama di Asia Tenggara. Selain mendorong deforestasi, produksi minyak kelapa sawit yang tidak berkelanjutan bisa mencabut hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal, menghasilkan sampah, memperburuk kualitas udara dan air, dan menyedot kesuburan lahan.

RSPO didirikan pada tahun 2004 untuk mengembangkan standar produksi dan perdagangan minyak kelapa sawit yang tidak berkontribusi terhadap deforestasi secara signifikan, membahayakan lingkungan, atau menimbulkan konflik sosial. Pada tahun 2013, diproduksi 9,7 juta metrik ton minyak kelapa sawit dengan sertifikasi berkelanjutan dari RSPO, yang merepresentasikan sekitar 18 persen produksi minyak kelapa sawit global. Keanggotaan RSPO saat ini mencapai hampir 1.500 perusahaan dan organisasi yang meliputi para pekebun minyak kelapa sawit, termasuk juga para pedagang, pengolah, produsen barang konsumsi, ritel, bank, LSM (termasuk WRI), lembaga-lembaga pemerintah, dan lainnya. Perdebatan yang seru antar para pemangku kepentingan di dalam dan di luar RSPO mendorong inovasi dan perbaikan yang terus dilakukan terhadap standar RSPO.

Mengapa Data RSPO Baru Sangat Penting?

Pemetaan dan informasi yang memadai mengenai siapa yang mengelola lahan hutan bisa sangat sulit diperoleh. Informasi – terutama mengenai siapa yang sudah memiliki perizinan untuk mengembangkan minyak kelapa sawit, kayu dan komoditas-komoditas lain di lahan hutan – tidak dihasilkan secara konsisten atau dijaga ketat oleh mereka yang memilikinya. Analisis WRI menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan, komunitas masyarakat, LSM, pemerintah, dan bahkan pegawai pemerintah di berbagai tingkatan sering kali memiliki informasi yang berbeda mengenai penggunaan lahan hutan. Misalnya, sementara Kementerian Kehutanan Indonesia menyediakan beberapa informasi mengenai dimana wilayah konsesi kelapa sawit beroperasi, informasi tersebut tidak diperbarui. Akibatnya, ketika kebakaran hutan membara pada awal tahun ini, sulit untuk mengidentifikasi secara akurat para pemilik lahan yang bertanggung jawab atas kebakaran tersebut. Malaysia tidak membuka informasi mengenai konsesi kelapa sawit untuk diakses publik.

Peta RSPO yang baru – dengan dikombinasikan dengan peringatan deforestasi Global Forest Watch yang nyaris seketika beserta informasi lainnya – menyediakan transparansi yang dibutuhkan di sektor kelapa sawit. Transparansi yang demikian dapat bermanfaat bagi bisnis, kelompok masyarakat sipil, dan para pemangku kepentingan hutan lainnya.

Jumlah pembeli minyak kelapa sawit yang telah berkomitmen pada rantai pasokan yang “bebas-deforestasi” telah meningkat, seperti Unilever, Nestle, dan Mars. Dengan data RSPO mengenai GFW-Commodities, perusahaan-perusahaan tersebut sekarang bisa melakukan verifikasi dan secara meyakinkan membuktikan kepada para konsumen bahwa produk-produk RSPO yang mereka beli sudah memenuhi standar-standar keberlanjutan. Kelompok masyarakat sipil, konsumen, dan para pemangku kepentingan lainnya dapat bertindak sebagai pengawas dan menggunakan GFW-Commodities untuk menjaga akuntabilitas perusahaan jika para pemasok minyak kelapa sawit mereka merusak lanskap hutan. Data tersebut juta bisa membantu RSPO itu sendiri untuk secara lebih efisien mengevaluasi dan merespon berbagai keluhan yang diajukan terhadap anggota-anggota yang sudah bersertifikasi.

Misalnya, pada tahun 2005, beberapa organisasi mengajukan keluhan terhadap anggota RSPO, perkebunan kelapa sawit Herakles Farms, dengan dugaan bahwa perkebunan yang diajukan akan dibangun di wilayah bernilai konservasi tinggi di Kamerun. Para pejabat dan anggota RSPO dengan demikian akan membutuhkan beberapa bulan dan dana yang besar untuk melakukan investigasi terhadap klaim tersebut sebelum perusahaan tersebut akhirnya mengundurkan diri dari keanggotaan. Dengan GFW-Commodities, para pejabat atau anggota RSPO bisa dengan mudah melakukan zoom-in pada peta kawasan pertanian seluas 30.000 hektar di Kamerun, untuk memverifikasi apakah wilayah tersebut tumpang tindih dengan wilayah hutan lebat dan dikelilingi hutan lindung, dan melihat bukti kuat adanya pembukaan lahan (lihat tampilan layar dibawah ini) – yang semuanya bisa dilakukan dalam waktu beberapa menit. Walaupun audit di lapangan masih merupakan standar yang paling baik bagi kegiatan investigasi, GFW-Commodities bisa membantu para petugas dalam menggunakan sumber daya mereka yang terbatas secara efektif. Para petugas RSPO juga bisa mendaftar untuk memperoleh peringatan hilangnya tutupan pohon di wilayah manapun yang mereka pilih.

Kemana Kita Akan Melangkah Kemudian?

Penerbitan data RSPO merupakan sesuatu yang transformatif, namun baru merepresentasikan hal yang kecil – bahkan di sektor kelapa sawit. Salah satu alasannya, peta-peta yang ada, yang menunjukkan wilayah yang bersertifikasi RSPO per Mei 2013, harus terus diperbarui dan distandardisasikan.

Data RSPO tersebut juga masih terbatas di wilayah-wilayah yang sudah melakukan sertifikasi. Selama beberapa bulan ke depan, kami berharap untuk menambahkan data ke platform GFW-Commodities, termasuk:

  • Peta dari seluruh Anggota RSPO: Meskipun lembaga-lembaga anggota RSPO sudah mewakili sebagian besar produksi minyak kelapa sawit dunia, tidak semua konsesi anggota RSPO sudah bersertifikasi. WRI, Zoological Society of London, Sumatran Orang Utan Society, dan New Britain Palm Oil Limited baru-baru ini mensponsori sebuah resolusi yang mensyaratkan semua perusahaan anggota RSPO untuk mengumpulkan peta lengkap kegiatan usaha mereka yang terus berkembang, baik yang sudah bersertifikat maupun belum. Peta-peta tersebut harus dikumpulkan ke RSPO pada bulan September 2014, dan kami berharap untuk mempublikasikannya melalui GFW-Commodities.

  • Peta-peta dari Produsen Plasma: Peta-peta RSPO yang baru hanya mencakup sekitar 70 persen perkiraan total kelapa sawit yang diproduksi dengan sertifikat kelapa sawit berkelanjutan. Sisanya kemungkinan dipenuhi oleh produksi dari produsen plasma dibawah perusahaan sawit, namun bisa dikontrol langsung oleh perusahaan-perusahaan anggota RSPO.

  • Peta Komoditas Hutan yang lain: Kelapa sawit hanya merupakan salah satu tanaman pertanian dari sekian banyak tanaman lainnya yang ikut memberikan tekanan bagi wilayah hutan di dunia. Kami berharap sektor kelapa sawit akan membuktikan bagaimana transparansi bisa mendukung berbagai tujuan pemerintah, lembaga masyarakat sipil, dan perusahaan, dan mendorong sektor-sektor lain seperti kedelai, daging, dan akasia untuk mempublikasikan peta mereka bagi masyarakat umum.

  • Dari Transparansi menuju Keberlanjutan: Transparansi pada dasarnya adalah mengenai kepercayaan. Keterbukaan peta-peta ini membantu kami untuk memahami dimana kelapa sawit diproduksi dan oleh siapa. Hal ini kemudian memungkinkan kami untuk melakukan investigasi lebih lanjut terkait bagaimana proses produksinya dan apakah kegiatan produksi tersebut konsisten dengan komitmen-komitmen yang sudah dibuat. Kami membangun fungsi analitis ke dalam Global Forest Watch Commodities untuk mendukung kajian tersebut.

Jalan masih panjang untuk menjadikan kelapa sawit sebagai tanaman pertanian yang berkelanjutan di seluruh dunia. Namun langkah-langkah yang diambil oleh RSPO untuk membuka data konsesi sudah merupakan pertanda baik untuk masa depan. Seiring dengan semakin banyaknya perusahaan yang memperhatikan seruan menuju transparansi, kami bisa menantikan masa depan yang kaya akan data dengan akuntabilitas yang semakin besar, dan diharapkan, keberlanjutan yang semakin kuat.