Memperingati Hari Laut Sedunia, 8 Juni 2025.

***

Beberapa tahun lalu, enam perempuan yang baru saja melahirkan di sebuah rumah sakit di Pulau Tiber, di tengah Kota Roma, Italia, menjadi subjek penelitian oleh belasan akademisi biomedis dan kesehatan. Plasenta mereka didedah dan diuji oleh para saintis. Hasilnya: untuk pertama kalinya ditemukan mikroplastik dalam ari-ari manusia pada 2021.

Tiga tahun kemudian, penelitian serupa juga dilakukan pada 62 orang di Amerika Serikat dan hasilnya semua plasenta ditemukan mikroplastik. Dan setelahnya, semakin banyak studi lainnya yang telah mendeteksi keberadaan mikroplastik dalam sistem organ manusia—mulai dari kardiovaskular, pencernaan, endokrin, integumentari (kulit), limfatik, pernapasan, reproduksi, dan urin. Kendati dampak nyata dari tembusnya mikroplastik ke tubuh manusia butuh pembuktian lebih mendalam lagi, namun kesehatan umat manusia di masa depan semakin terancam.

Menurut Food and Agriculture Organization (FAO), salah satu sumber mikroplastik adalah bahan pangan yang berasal dari sektor perikanan tangkap dan budidaya. Berbagai studi menunjukkan bahwa ragam produk perikanan di dunia telah tercemar mikroplastik dalam konsentrasi yang bervariasi.

Memang, perikanan adalah sektor yang menggiurkan. Selama empat dekade terakhir, produksi perikanan global tumbuh signifikan. Pada 2022 lalu, angkanya mencapai 223,2 juta ton dan 10% di antaranya berasal dari Indonesia. Dari total angka produksi itu, lebih dari setengahnya berasal dari perikanan budidaya, jauh melampaui perikanan tangkap.

Kenyataan ini membawa kita pada sebuah refleksi mendasar: apakah Indonesia sudah berhasil menjaga kualitas produk perikanan guna memenuhi kebutuhan pangan warganya? Atau justru perikanan hanya dijadikan komoditas ekonomi yang terus digenjot produksinya sebagai bagian dari rantai pangan global, juga atas nama pertumbuhan nasional, sembari mengabaikan kesehatannya?

Salah satu tambak udang milik warga di Muncar, Banyuwangi, Jawa Timur.

Ancaman Mikroplastik dalam Perikanan Tangkap & Budidaya Udang

Di republik ini, udang adalah salah satu komoditas perikanan unggulan—baik tangkap maupun budidaya. Setidaknya tercatat ada 300.501 hektar tambak udang se-Indonesia—dengan wilayah terluas di Nusa Tenggara Barat (NTB), Jawa Barat, dan Jawa Timur. Kendati produksinya mencapai 942.000 ton pada 2023 lalu—atau terbesar kelima berdasarkan volume, namun nilai produksinya tertinggi dibanding komoditas perikanan budidaya lainnya: Rp62,7 triliun. Selain itu, untuk produksi perikanan tangkap udang mencapai 268.000 ton dengan nilai produksi mencapai Rp13,3 triliun.

Deretan angka jumbo tersebut tentu tak mengherankan mengingat negara ini tercatat sebagai pengekspor udang terbesar kelima di dunia—atau 6,9% dari total rantai pasok udang global. Pasarnya mulai dari Jepang hingga Eropa. Udang adalah cuan.

Di balik kontribusinya atas perputaran ekonomi, budidaya udang terancam sampah tak kasat mata: mikroplastik dan nanoplastik. Di Indonesia, sejumlah studi laboratorium menemukan kandungan mikroplastik dalam tubuh udang di berbagai wilayah seperti Jakarta, Demak, Aceh, dan Surabaya. Selain mengandung protein serta vitamin, udang juga ternyata telah diinvasi oleh mikroplastik.

Dalam operasional tambak udang—mulai dari pembenihan, pembesaran, hingga pemanenan, plastik masif digunakan sebagai bahan terpal kolam, jaring, selang, kantong benih, dan kantong pakan. Seolah sulit melepas penggunaan plastik dalam budidaya udang, apalagi mengingat sifatnya yang ringan, tahan korosi dan abrasi, mudah digunakan, serta murah. Plastik adalah pilihan yang efisien.

Masalahnya, ketika bahan plastik tersebut mengalami kerusakan dan tak terkelola dengan baik, risiko penyebaran mikroplastik meningkat. Mereka tersuspensi di kolam air atau terendap di dasar perairan budidaya dan berakhir terakumulasi ke dalam tubuh udang. Apalagi, budidaya udang kerap menggunakan air yang bersumber dari laut yang kadung tercemar mikroplastik. Tak hanya itu, sampah plastik hasil budidaya udang juga rentan terakumulasi menjadi limbah mikroplastik yang mengalir ke saluran air dan ekosistem pesisir. 

Ketika sudah tiba di laut, mikroplastik memiliki dampak ekologis yang berbahaya. Di tingkat paling dasar, ia bisa menghambatkan proses fotosintesis fitoplankton serta efek toksik bagi zooplankton. Padahal, keduanya berperan krusial dalam rantai makanan laut. Bayangkan jika zooplankton tersebut dimakan oleh udang, dan udang bisa langsung dikonsumsi manusia tanpa melewati rantai makanan yang panjang. Selain itu, udang laut juga memakan sisa-sisa organisme mati dan bahan organik busuk di dasar laut (detritus) yang mudah terkontaminasi mikroplastik dan nanoplastik. Sebuah studi yang berlokasi di pesisir mangrove Gunung Anyar, Surabaya, menemukan bahwa mikroplastik telah terkontaminasi ke udang, baik hasil budidaya maupun hasil tangkapan.

Tak hanya mengganggu organisme biologis laut, mikroplastik berpotensi menurunkan kemampuan ekosistem laut saat menyerapkan karbon—baik pada ekosistem mangrove maupun lamun. Itu artinya, secara tidak langsung berkontribusi mempercepat pendidihan global.

Salah satu tambak udang milik warga di Muncar, Banyuwangi, Jawa Timur.

Perikanan Budidaya Minus Aturan Penggunaan Plastik

Sayangnya, hingga saat ini tak ada satu pun aturan mengenai penggunaan plastik dalam industri agrikultur, termasuk sektor perikanan budidaya. Pada 2021 lalu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memang telah menerbitkan aturan soal pencegahan pencemaran dan kerusakan, serta rehabilitasi di sektor sumber daya ikan.

Aturan tersebut mewajibkan pengelola perikanan budidaya melakukan pencegahan kerusakan sumber daya ikan dan lingkungannya. “Kerusakan sumber daya ikan” didefinisikan sebagai penurunan potensi sumber daya ikan yang dapat membahayakan kelestarian dan diakibatkan oleh perbuatan setiap orang.

Plastik atau mikroplastik bisa saja masuk ke dalam kategori penyebab “kerusakan sumber daya ikan” yang perlu dicegah oleh pengelola budidaya perikanan. Namun, mikroplastik masih belum diarustamakan sebagai kontaminan yang dapat tersebar dalam setiap tahapan budidaya—yang bukan dari “perbuatan manusia” melainkan dari sumber-sumber lainnya—seperti: sumber pakan, benih ikan, peralatan plastik yang rusak atau usang, air, udara, hingga hujan.  

Jika melirik pedoman turunannya, peralatan dalam pengelolaan budidaya perikanan memang telah didorong untuk dibuat dari bahan yang ramah lingkungan dan tidak berbahaya bagi ikan. Dalam pedoman tersebut, disebut dengan jelas bahwa styrofoam, yang berbahan plastik, disarankan untuk dihindari karena tak bisa terurai.

Langkah ini sudah tepat, namun perlu diberi panduan ragam peralatan perikanan budidaya lainnya yang ramah lingkungan dan minim penyebaran mikroplastik, termasuk metode penggunaan, perawatan, sampai pembuangan akhir, sehingga meminimalisir penyebaran mikroplastik terhadap sumber daya ikan maupun lingkungannya.  

Kendati penyebab kerusakan sumber daya ikan telah diatur, namun ancaman mikroplastik dalam pengelolaan perikanan budidaya belum terefleksikan secara komprehensif. Apalagi, aturan ini memang tidak secara spesifik memasukkan “plastik” atau “mikroplastik” sebagai bagian dari “kerusakan sumber daya ikan”, yang akhirnya menjadi celah untuk tidak menjadikan mikroplastik sebagai ancaman nyata dalam perikanan budidaya. 

Tak hanya itu, perlu ada pedoman terperinci soal upaya identifikasi, pencegahan, dan mitigasi mikroplastik dari hulu ke hilir. Ketiadaan aturan dan pedoman yang spesifik membahas mikroplastik dalam perikanan budidaya akan menghambat perlindungan kualitas pangan masyarakat dan industri perikanan nasional. Karena mengurangi sumber mikroplastik dari perikanan tangkap dan budidaya udang adalah langkah penting bersama untuk melindungi ekosistem perairan sekaligus menjamin keamanan pangan di masa depan.

Keberlanjutan produksi udang seharusnya tidak hanya ditentukan oleh produktivitas dan nilai ekspor, tetapi juga oleh bagaimana sektor ini menjaga keseimbangan antara keuntungan ekonomi dengan tanggung jawab atas kesehatan pangan dan kelestarian Bumi, sebagaimana tercantum dalam Laudato si’ (2015), ensiklik Paus Fransiskus yang menjadi inspirasi para akademisi biomedis Italia saat meneliti kandungan mikroplastik dalam plasenta: “Lingkungan hidup adalah suatu kebaikan bersama, milik semua orang dan untuk semua orang."[]