Forest in Kerinci region, Sumatra, Indonesia. Photo credit: Luke Mackin/Flickr
Hutan di wilayah Kerinci, Sumatra, Indonesia. Sumber foto: Luke Mackin/Flickr

Bagaimana Indonesia – negara dengan populasi terbesar keempat di dunia dan kekuatan ekonomi yang sedang berkembang – dapat mengurangi deforestasi dan mempromosikan pembangunan yang berkelanjutan di seluruh bentang alam mereka yang luas dan senantiasa mengalami perubahan yang cepat?

Inilah pertanyaan yang diajukan oleh Nirarta “Koni” Samadhi, wakil ketua Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) dan ketua kelompok kerja pengawasan hutan satgas REDD+. Dalam sebuah pertemuan informal bersama para ahli pembangunan dan hutan di kantor WRI di Washington DC, Koni menjabarkan beberapa kemungkinan jawaban, sekaligus melaporkan usaha pemerintah Indonesia untuk mengawasi dan memetakan hutan serta memperbaiki kebijakan penggunaan lahan di seluruh Indonesia.

Koni menjelaskan beberapa pandangannya kepada kami dalam sebuah video wawancara. Lihatlah video tersebut di bawah ini.

Indonesia memiliki hutan tropis terbesar ketiga di dunia, yang kaya akan cadangan karbon. Di sisi lain, Indonesia berada di dalam lima besar negara penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di dunia, sebagian besar karena deforestasi dan konversi lahan gambut. Indonesia telah membuat salah satu komitmen paling ambisius untuk mengatasi perubahan iklim, berkomitmen untuk menurunkan emisi sebesar 26 persen (atau 41 persen dengan bantuan internasional) pada 2020.

Sebuah elemen penting dari strategi iklim Indonesia adalah moratorium selama dua tahun kedepan untuk pemberian izin baru pembukaan hutan primer alami dan lahan gambut. Seperti yang dijelaskan Koni, moratorium ini dibuat untuk memberikan “ruang bernapas” bagi pemerintah untuk meningkatkan tata kelola hutan. Kantor Koni telah memulai proses ini dengan memperkenalkan inisiatif-inisiatif seperti ONE MAP Indonesia, sebuah sistem pemetaan yang menyamakan perbedaan perhitungan tutupan hutan, penggunaan lahan, dan batas-batas administratif yang digunakan oleh berbagai kementrian dan pemerintah lokal.

Pemerintah Indonesia juga meningkatkan usaha pengawasan, menggunakan data satelit untuk memantau perubahan tutupan hutan di wilayah-wilayah terpencil. Hal tersebut, dikombinasikan dengan tersedianya instrumen-instrumen baru seperti Forest Cover Analyzer WRI dan Global Forest Watch 2.0 (tersedia di akhir 2013), akan memungkinkan pemerintah Indonesia untuk memperkuat moratorium dan mengetahui di mana terjadi pembukaan hutan baru.

Koni juga mengakui masih banyak yang perlu dilakukan untuk mentransformasi tata kelola hutan di Indonesia. Moratorium akan berakhir tanggal 20 Mei, dan pemerintah Indonesia mungkin akan memilih untuk memperpanjangnya untuk melanjutkan reformasi di sektor hutan. Penelitian WRI juga menunjukkan terdapat beberapa kesempatan yang signifikan untuk memperbaiki moratorium untuk mencapai hasil maksimal.

Dalam beberapa bulan kedepan Indonesia akan menentukan kebijakan-kebijakan yang akan memiliki dampak signifikan kepada hutan-hutan di Indonesia. Dan satu hal yang pasti – hutan-hutan tersebut sangatlah penting, baik untuk masyarakat Indonesia maupun untuk perjuangan melawan perubahan iklim global.

PELAJARI LEBIH LANJUT: Kunjungi website Project POTICO untuk informasi lebih lanjut mengenai beberapa program WRI di Indonesia.