Sebagai kaum urban Jakarta, banjir yang melanda sebagian area Jabodetabek selasa, 4 Maret 2025, seakan-akan menjadi hal yang lumrah terjadi. Di pagi hari ketika melalui jalan di area Puri Kembangan, Jakarta Barat, seorang rekan yang baru beberapa bulan pindah dari Bangkok, Thailand, bahkan ikut mengabadikan video anak-anak bermain di genangan air di jalan utama dalam perjalanan menuju tempat kerja. Namun ternyata sekolah tempatnya bekerja harus tutup, akibat banjir. Benarkah banjir hanya merupakan hal biasa yang perlu kita hadapi musim penghujan?

Beberapa faktor penting penyebab banjir di Jabodetabek adalah karena berkurangnya tutupan pohon, topografi lahan di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS), dan cuaca ekstrem. Berdasarkan data BNPB, 52% bencana yang terjadi sepanjang 2016-2025 merupakan bencana hidrometeorologi seperti banjir dan kekeringan yang mengakibatkan korban dan kerusakan di berbagai daerah. Walaupun tidak semua cuaca ekstrem diakibatkan oleh perubahan iklim, namun cuaca ekstrem yang semakin intensif terjadi di berbagai belahan dunia saat ini, termasuk di Indonesia didorong oleh perubahan iklim. Berikut tiga hal yang perlu kita ketahui untuk menghadapi bencana iklim yang makin gencar di masa depan.

1.    Peningkatan resiko bencana di seluruh dunia akibat pemanasan global

Menurut laporan yang dirilis oleh IPCC tahun 2023, peningkatan intensitas cuaca ekstrem seperti curah hujan lebat dan kekeringan yang sedang terjadi di seluruh dunia dipengaruhi oleh meningkatnya suhu bumi secara global. Diprediksikan situasi kekeringan ekstrem dapat melanda 950 juta jiwa sementara hampir seperempat populasi dunia akan mengalami bencana banjir. Berbagai aktivitas manusia di beberapa sektor erat kaitannya dengan pelepasan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) seperti di sektor energi, industri, transportasi, bangunan, serta pertanian. 

Tindakan mitigasi iklim secara global maupun nasional menjadi semakin mendesak. Berbagai aktor perlu terlibat secara kolaboratif dalam upaya pengurangan emisi GRK dan menekan kenaikan suhu bumi hingga 1,5°C, sesuai dengan target Perjanjian Paris. Tanpa langkah nyata dan komitmen kolektif, bencana iklim di masa depan akan semakin sulit dikendalikan, mengancam keberlanjutan ekosistem dan kehidupan manusia.

Blog Climate and Flood 2025 1

Gambar 1 Tangkapan visual suhu global permukaan bumi pada 1980-1984

Blog Climate and Flood 2025 2

Gambar 2 Tangkapan visual suhu global permukaan bumi pada 2015-2019, menunjukkan bahwa temperatur bumi secara global semakin menghangat.

2.    Indonesia akan terdampak secara signifikan akibat bencana iklim di masa depan 

Cuaca ekstrem berupa hujan lebat terjadi pada tanggal 1-3 Maret 2025 yang menyebabkan banjir di sejumlah daerah, salah satunya di Jabodetabek. Menurut BMKG, curah hujan tertinggi memang tercatat terjadi pada tanggal 3-4 Maret 2025 di stasiun pengamatan Katulampa, Bogor dengan curah hujan 232 mm/hari. Selain itu, beberapa wilayah stasiun pengamatan seperti di Cibeureum Bogor, Jatiasih, Angke Hulu, dan Citeko terpantau menunjukkan curah hujan sangat lebat sekitar 126-144 mm/hari. Lebih lanjut, perbedaan intensitas hujan ekstrem di tahun 2020 dan 2025 disebabkan oleh adanya pengaruh fenomena cuaca atmosferik dan pengaruh kondisi lokal pada awal Maret lalu.

Analisa iklim dan dampak banjir khususnya di Bekasi juga sempat diteliti oleh Pusat Riset Limnologi dan Sumber Daya Air, BRIN. Hasil riset oleh BRIN mengungkapkan korelasi kuat antara curah hujan ekstrem akibat fenomena iklim global dan peningkatan risiko banjir di sepanjang garis pantai Indonesia. Data curah hujan GSMaP (Global Satellite Mapping of Precipitation) mencatat intensitas hujan mencapai 21,37 mm/jam, dengan akumulasi harian sebesar 236,44 mm pada puncaknya (2-4 Maret). Sirkulasi angin darat-laut (sea breeze) juga memperburuk kondisi dengan memicu hujan deras di malam hari dan di daerah aliran sungai (DAS) Bekasi, Cikeas, dan Cileungsi. Jika dibandingkan pada kejadian banjir Jabodetabek pada tahun 2020, 2022, dan 2025, akumulasi curah hujan di tahun 2025 memiliki nilai maksimum yang tertinggi (236,44 mm/hari), kemudian diikuti oleh tahun 2020 (188,51 mm/hari) dan 2022 (101,86 mm/hari).

Blog Climate and Flood 2025 3

Gambar 3 Akumulasi curah hujan harian di DAS Bekasi, Cikeas, dan Cileungsi pada kejadian banjir tahun 2020, 2022, dan 2025. Garis biru muda hingga tua = 31 Desember 2019 - 2 Januari 2020, garis hijau muda hingga tua = 15 Februari 2020 - 17 Februari 2020, dan garis oranye muda hingga tua = 2 - 4 Maret 2025 (Sumber: BRIN, 2025)

BMKG sendiri juga telah melakukan analisa terkait pemodelan proyeksi iklim menggunakan model Coupled Model Intercomparison Project Phase-6 (CMIP6). Model menunjukkan bahwa Indonesia harus bersiap menghadapi peningkatan intensitas curah hujan yang semakin tinggi pada musim penghujan, namun juga penurunan intensitas curah hujan secara drastis ketika musim kemarau. Hasil proyeksi ini juga menunjukkan pergeseran awal, puncak, dan panjang dari masing-masing musim itu sendiri.

Hasil kajian basis ilmiah proyeksi atmosferik oleh Bappenas juga menunjukkan bahwa secara umum proyeksi distribusi curah hujan di Indonesia lebih tinggi pada bulan Januari-April dan September-Desember. Kajian ini disusun berdasarkan multimodel ensemble untuk model iklim global (Global Climate Models/GCMs) untuk periode tahun 2020-2035 (jangka pendek) dan tahun 2030-2045 (jangka menengah) dengan skenario RCP4.5 (moderate) yang merepresentasikan trajektori emisi tingkat menengah. 

Blog Climate and Flood 2025 5

Gambar 4 Proyeksi curah hujan harian di Indonesia periode 2020-2035 relatif terhadap periode historis 1990-2005 dengan skenario RCP4.5 (moderate)

Blog Climate and Flood 2025 4

Gambar 5 Proyeksi curah hujan harian di Indonesia periode 2030-2045 relatif terhadap periode baseline 1990-2005 dengan skenario RCP4.5 (moderate)

Anomali cuaca ini tentunya akan berdampak secara luas pada berbagai sektor. Pertanian misalnya, berdasarkan analisa BMKG, kerugian ekonomi nasional pada sektor pertanian periode 2020-2024 akibat perubahan iklim diperkirakan mencapai Rp 77,9 triliun. Sementara pada sektor kesehatan, perhitungan Bappenas pada 2020 memperkirakan kerugian akibat perubahan iklim sepanjang 2020-2024 mencapai angka Rp 31,3 triliun. Bappenas pada tahun 2023 memperkirakan bahwa bencana akibat perubahan iklim di Indonesia dapat mengakibatkan kerugian Rp22,8 triliun per tahun, dengan total kerugian Rp544 triliun sepanjang 2020-2024. Potensi kerugian tersebut berasal dari banjir pesisir, kekurangan air, kecelakaan kapal akibat gelombang tinggi dan cuaca ekstrem, penurunan produktivitas padi, serta peningkatan kasus penyakit. Pada bencana banjir di Kota Bekasi, total kerugian akibat lumpuhnya sejumlah fasilitas umum seperti stasiun kereta, perkantoran, dan pusat perbelanjaan ditaksir mencapai lebih dari Rp 3 Triliun.

3.    Kebijakan yang mengintegrasikan adaptasi terhadap perubahan iklim akan mengurangi risiko bencana dan kerugian di masa depan.

UNFCC (United Nations for Climate Change) menjabarkan bahwa adaptasi iklim merupakan tindakan yang dapat diambil untuk membantu masyarakat dan ekosistem mengatasi perubahan kondisi iklim, seperti membangun pertahanan banjir, mengembangkan tanaman yang tahan kekeringan, atau meningkatkan sistem pengelolaan air. Fokus utama dalam adaptasi iklim adalah respon jangka panjang untuk melindungi masyarakat dan lingkungan dari ancaman iklim ekstrem. 

Adaptasi iklim akan berjalan dengan baik dengan memperhatikan beberapa faktor penting. Pertama, adanya keseriusan dalam mengintegrasikan dan mengimplementasikan kajian iklim dalam berbagai peraturan dan kebijakan hingga ke daerah. Saat ini Indonesia memiliki dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) dan Long Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilient 2050 (LTS-LCCR) yang mengintegrasikan kegiatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, serta sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah Nasional (RPJPN dan RPJMN). Dokumen LTS-LCCR 2050 memberikan gambaran pendekatan secara sektoral dan daerah terdampak. Memastikan pendekatan yang lebih terintegrasi dan mendetail dalam peraturan-peraturan di daerah akan membantu penanganan bencana yang lebih prediktif, alih-alih secara reaktif.

Kedua, program adaptasi yang berfokus tidak hanya secara top-down oleh pemerintah namun juga secara bottom-up agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Saat ini, Program Kampung Iklim (PROKLIM) oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Program Desa Tangguh Bencana (DESTANA) oleh BNPB menjadi salah satu contoh bagaimana implementasi adaptasi iklim yang berbasis masyarakat. Masyarakat di Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis, sebagai salah satu dari 10.113 kelompok  telah menerapkan adaptasi iklim pengendalian banjir melalui sumur resapan. 

Ketiga, perlunya keterlibatan sektor swasta dalam pendanaan inisiatif dan program terkait adaptasi iklim yang dilakukan oleh pemerintah. Investasi yang efektif untuk inovasi dan penerapan inisiatif adaptasi iklim akan mengurangi kerugian yang jauh lebih besar di masa depan. Sebagai ilustrasi, dari data Aqueduct yang dikembangkan WRI, bencana banjir di Jakarta Raya (Jabodetabek) dapat mempengaruhi Pendapatan Domestik Bruto (PDB) 3,14% dan perkiraan kerusakan perkotaan sebesar USD2,5 miliar pada tahun 2050 jika tidak ada perbaikan infrastruktur mitigasi banjir.

Keterlibatan swasta dapat mendukung kekurangan pendanaan iklim global dalam mengurangi dampak bencana akibat iklim bagi masyarakat. Saat ini, menurut Asia Investor Group on Climate Change (AIGCC), kurangnya akses dan ketersediaan data iklim dan informasi resiko menghambat kepercayaan sektor swasta untuk berinvestasi dalam proyek-proyek terkait adaptasi iklim. Ke depan, Indonesia bisa mendetailkan rancangan inisiatif keterlibatan sektor swasta dalam pendanaan perencanaan adaptasi iklim dengan akses data mengenai iklim dan manajemen risiko.