WRI Indonesia dan Lembaga Hubungan Internasional Singapura (Singapore Institute of International Affairs) dengan dukungan Tropical Forest Alliance 2020 menyelenggarakan lokakarya bertajuk Making Green Finance Count: Impact Investing for Indonesia's Agricultural Sector pada hari Jumat, 20 Oktober 2017 di hotel Ritz Carlton Jakarta. Kegiatan ini dihadiri lebih dari 90 peserta dari berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), perusahaan agrobisnis, bank dan pemerintah Indonesia. Sebagaimana disampaikan oleh salah satu pembicara, pembiayaan hijau yang terus bergerak cepat dan isu keberlanjutan pertanian semakin mendapatkan perhatian di forum internasional seperti G20. Selain itu, titik temu antara isu-isu tersebut juga sudah semakin jelas. Lokakarya ini menyoroti bahwa pembiayaan hijau bukan hanya isu lingkungan, tetapi juga isu pembangunan. Investasi pada kebun petani tidak hanya mewujudkan rantai pasokan yang lebih berkelanjutan, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan para petani.

Lokakarya ini membahas cara menciptakan program dan kemitraan untuk mewujudkan rantai pasokan hijau di tingkat petani mandiri yang juga bermanfaat bagi pemain besar dan pemain kecil. Masalahnya, petani mandiri tidak mendapatkan dukungan yang sama dengan operasi pertanian skala besar. Akibatnya, pemahaman mereka akan isu keberlanjutan, penguasaan lahan dan legalitas cukup terbatas. Salah satu pembicara mengungkapkan bahwa karena terbatasnya pemahaman mereka atas legalitas lahannya, mereka sering kali menanam di kawasan konservasi atau lindung secara ilegal. Praktik ini mengakibatkan banyak kebakaran hutan yang menimbulkan masalah lingkungan. Selain itu, petani juga menjadi kesulitan untuk mendapatkan akses kepada dukungan finansial.

Banyak pembicara lain yang mengedepankan sulitnya akses kepada bantuan kredit bagi petani mandiri. Lembaga keuangan biasanya menghindari investasi pada petani mandiri karena dianggap terlalu berisiko. Jika para petani ini bisa mendapatkan bantuan kredit, suku bunga yang diberikan bisa sangat tinggi (hingga 11 persen dibandingkan dengan Bank Perkreditan Rakyat).

Diskusi panel ini awalnya membahas kenapa kita harus membantu petani. Salah satu pembicara menjabarkan dua alasan utama: 1) produktivitas dan hasil serta 2) kepatuhan terhadap standar keberlanjutan. “Banyak komoditas di Indonesia diproduksi oleh petani mandiri yang tidak terikat dengan perusahaan besar,” ujar pembicara tersebut. Lebih dari 40% kawasan budidaya kelapa sawit dikelola atau dimiliki oleh petani. Akan tetapi, menurut perusahaan, tanaman dan hasil panen yang dihasilkan oleh petani biasanya memiliki kualitas yang lebih rendah. Pelatihan dan akses kepada bantuan kredit yang lebih baik akan meningkatkan produktivitas dan pendapatan para petani sehingga dapat meningkatkan pendapatan perusahaan agrobisnis. Selain itu, perusahaan dituntut untuk mematuhi standar keberlanjutan. Sedangkan, terbatasnya pengetahuan petani sering kali menjadi penghalang bagi mereka dalam mencapai keberlanjutan. Pembicara lain menambahkan bahwa “rendahnya hasil panen mengakibatkan ekspansi kegiatan petani yang tidak perlu sehingga menyebabkan deforestasi.”

Diskusi panel yang dipimpin oleh moderator ini kemudian membahas solusi bagi isu-isu ini dengan menekankan pentingnya edukasi. Beberapa program pelatihan telah dilaksanakan bagi para petani terkait praktik keberlanjutan, isu legalitas dan pengetahuan finansial. Program-program ini cukup berhasil meningkatkan produktivitas dan kepatuhan pada standar keberlanjutan. Salah satu program ini bahkan telah mendapatkan penghargaan karena berhasil mencegah kebakaran hutan.

Solusi lain yang dibahas adalah penyebaran dan pengumpulan data. Kebun petani dapat dipetakan secara geospasial untuk memastikan bahwa kebun tersebut tidak berada di kawasan konservasi. Selain itu, beberapa perusahaan telah mengembangkan alat penilaian kredit (credit-scoring tool) untuk meningkatkan transparansi kelayakan pendanaan bank (bankability) dan mengidentifikasi kebutuhan penanaman dan pendanaan masyarakat.

Terkait penerapan pendanaan, salah satu pembicara menyoroti keuntungan pembiayaan lunak (concessional financing) yang menggabungkan uang masyarakat dan komersial. Dengan skema ini, lembaga finansial dapat mengambil risiko yang lebih besar. Bagi para petani yang tidak bisa mendapatkan pendanaan dari bank, ada gagasan untuk memberikan pasokan seperti benih dan pupuk sebagai ganti bantuan uang tunai.

Terakhir, ditekankan pula perlunya komunikasi dan kerja sama yang efektif. Hal ini diwujudkan melalui kelompok tani dan koperasi, kemitraan masyarakat-swasta, dan forum seperti Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) yang menyelenggarakan pertemuan antara bupati dari daerah-daerah pelestarian untuk membahas kebutuhan dan tantangan yang mereka hadapi. Berbagai ide telah dibagikan dalam lokakarya ini sebagai bagian dari pertukaran pengetahuan yang berpenting dalam mendorong pembangunan berkelanjutan. WRI berharap dapat terus bekerja sama dengan para mitra untuk mencapai misinya meningkatkan kualitas lingkungan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.