This article is currently only available in Indonesian.

Perdagangan kayu ilegal merupakan salah satu kejahatan global yang paling mengkhawatirkan. United Nations Environment Programme (UNEP) dan INTERPOL memperkirakan nilai perdagangan kayu ilegal dunia bisa mencapai antara USD 30 hingga100 miliar per tahun. Di sisi lain, perdagangan kayu ilegal juga menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati, memperburuk perubahan iklim, hingga menimbulkan konflik sosial antara masyarakat yang tinggal di dalam hutan. Oleh karenanya, usaha untuk mengatur penebangan kayu, rantai pasok, pengolahan, dan perdagangan kayu legal  diatur dalam berbagai instrumen hukum nasional dan internasional.

Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), yang dikoordinasikan oleh UNEP, merupakan salah satu instrumen hukum internasional untuk mengontrol perdagangan kayu melalui sistem perizinan global. CITES lahir karena adanya kekhawatiran terhadap perdagangan spesies hewan dan tumbuhan yang terancam punah. Sejak resmi berlaku pada tahun 1975, CITES sudah diratifikasi oleh 184 negara dan setidaknya mengatur perdagangan 800 spesies pohon di seluruh dunia. CITES bekerja dengan cara menempatkan perdagangan internasional atas spesies tertentu melalui sistem perizinan yang dibagi menjadi tiga bagian, yaitu Apendiks I, II dan III. Pengelompokkan apendiks didasarkan pada tingkat kelangkaan serta jumlah populasi spesies tumbuhan dan satwa liar yang disepakati oleh negara-negara anggota.

Negara yang meratifikasi CITES harus menyiapkan aturan nasional untuk menerapkan standar dan prosedur perizinan tertentu agar spesies-spesies yang masuk dalam Apendiks CITES dapat dipantau. Dalam perdagangan kayu, ketentuan ini berimplikasi terhadap bertambahnya perizinan yang harus ditempuh untuk memperdagangkan kayu sehingga mempersulit perdagangan kayu ilegal.

Indonesia telah meratifikasi CITES sejak tahun 1978,  karenanya Indonesia berkewajiban untuk melaporkan dan memperbaharui data perdagangan, membentuk aturan domestik dan otoritas untuk mengawasi perdagangan, serta menerbitkan izin ekspor dan/atau impor untuk spesies-spesies yang tercantum pada Apendiks CITES yang berada di dalam atau memasuki wilayah Indonesia. Spesies kayu komersial Indonesia yang masuk dalam Apendiks II di antaranya adalah kayu ramin (Gonystylus bancanus) dan sonokeling (Dalbergia latifolia).

Pada awal tahun 2000-an, banyak kasus pembalakan liar kayu ramin di taman nasional dan area konservasi yang dilaporkan (EIA, 2014). Selain karena kualitasnya sebagai bahan konstruksi ringan, ramin juga mengandung gaharu yang berguna untuk wangi-wangian (Heriyanto dan Garsetiasih, 2006). Pada awalnya, ramin hanya digolongkan dalam Apendiks III CITES, tetapi kemudian statusnya meningkat menjadi Apendiks II di tahun 2004 (Traffic, 2004).  Sedangkan kayu sonokeling pada tahun 2017 langsung masuk ke Apendiks II, karena meningkatnya frekuensi perdagangan ilegal kayu dengan genus Dalbergia spp. atau lebih dikenal sebagai rosewood.

Adopsi CITES dalam Hukum di Indonesia

Sebagai instrumen hukum internasional, CITES hanya dapat berjalan efektif apabila negara-negara anggota mengadopsi prinsip-prinsip CITES melalui hukum nasional. Untuk membantu negara-negara anggota, Sekretariat CITES banyak berkontribusi dalam pendanaan dan program pengembangan kapasitas yang bertujuan untuk mempersiapkan kemampuan otoritas nasional CITES serta membantu penyusunan aturan nasional di masing-masing negara anggota, yang terkadang membutuhkan waktu cukup lama.

Di Indonesia, saat ini ada tiga aturan nasional terkait CITES yang berlaku, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 447/KPTS-II/2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar, dan khusus untuk perdagangan kayu, Indonesia baru saja mengeluarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 20 tahun 2022 tentang Peredaran Hasil Hutan Kayu yang tercantum dalam Apendiks Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora.

Beberapa produk perizinan yang lahir dalam peraturan-peraturan khusus CITES ini adalah Izin Edar, Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Liar Dalam Negeri (SATS-DN), serta Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Liar Luar Negeri (SATS-LN). Perizinan-perizinan ini harus didapatkan oleh pelaku usaha sebagai tambahan atas kepatuhan terhadap aturan legalitas kayu lainnya, seperti Sistem Verifikasi Legalitas Kayu yang kini berubah menjadi Sistem Verifikasi dan Kelestarian (SVLK), sebuah program sertifikasi wajib yang bertujuan untuk memastikan kepatuhan pelaku usaha kayu di setiap rantai pasok. Pelanggaran atas perizinan CITES diancam dengan sanksi administrasi, seperti pencabutan izin dan penjatuhan denda administrasi. Sanksi pidana tidak dimuat dalam semua aturan-aturan tersebut karena ketentuan pidana hanya bisa diatur dalam aturan setingkat undang-undang. Di satu sisi, Undang-Undang Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Kerusakan Hutan (UU P3H) sama sekali tidak memuat ketentuan terkait perizinan CITES.

Namun demikian, hasil analisis terhadap 18 putusan pengadilan dari rentang waktu 2014-2020 mengenai pembalakan liar kayu sonokeling di Indonesia menunjukkan dimungkinkannya penjatuhan sanksi pidana terhadap tidak dipenuhinya perizinan terkait CITES. Misalnya, kasus yang terjadi di Pengadilan Negeri Mataram dan Pengadilan Negeri Jombang. Di sana, terdapat pedagang kayu yang telah mengurus dokumen angkutan berdasarkan ketentuan aturan terkait Kehutanan tetapi tidak mengurus dokumen SATS-DN.  Putusan yang dikeluarkan dalam dua kasus tersebut menunjukkan bahwa perbuatan tidak membawa dokumen SATS-DN dapat dipidana karena merupakan bagian dari Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH), yang diatur sebagai dokumen legalitas kayu dalam UU P3H.

 

Hasil panen kayu hutan tropik di tepi sungai Mahakam, pedalaman Kalimantan, Indonesia (Himawan Nurhatmadi/Shutterstock)
Gambar 1. Hasil panen kayu hutan tropis di tepi sungai Mahakam, pedalaman Kalimantan, Indonesia (photo credit: Hilmawan Nurhatmadi)


Penerapan Teknologi Identifikasi Kayu untuk Meningkatkan Pemanfaatan CITES

Peningkatan kapasitas penegak hukum untuk mendeteksi kejahatan dapat juga dilakukan untuk mengoptimalkan implementasi CITES di Indonesia. Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah dengan memanfaatkan teknologi identifikasi kayu untuk memverifikasi spesies dan asal usul kayu. Teknologi ini dapat diintegrasikan melalui sistem penelusuran nasional melalui platform SIPUHH (Sistem Informasi Penelusuran Usaha Hasil Hutan) dan verifikasi kepatuhan melalui SVLK.

Kontrol dalam aturan CITES juga menitikberatkan pada dokumen atau jejak dokumen (paper trail) memungkinkan pelaku kejahatan untuk memalsukan jenis atau spesies kayu dalam dokumen untuk menghindari kontrol ketat dalam aturan CITES. Apalagi, mereka perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk pengurusan izin serta pembayaran pendapatan negara.

Negara-negara maju importir kayu seperti Amerika Serikat, Uni Eropa dan Australia telah menggunakan teknologi identifikasi kayu untuk memastikan ketelusuran rantai pasok komoditas kayu yang mereka beli. Teknologi identifikasi kayu yang ada saat ini memiliki banyak ragam dan kemampuannya masing-masing untuk mengidentifikasi jenis/ spesies dan asal usul kayu. Penggunaan teknologi dalam penegakan hukum Kehutanan dimungkinkan karena diperlukannya alat bukti ilmiah dalam kasus lingkungan.

Namun demikian, terdapat tiga faktor utama yang perlu ditingkatkan agar teknologi-teknologi ini dapat diterapkan di Indonesia, yakni investasi alat, sumber daya manusia, serta basis data (database) kayu yang lengkap.

Indonesia sebenarnya telah memiliki kemampuan yang cukup pada tiga komponen ini untuk dapat menerapkan identifikasi berbasis anatomi kayu. Namun demikian, anatomi kayu memiliki keterbatasan untuk mengidentifikasi jenis hingga tingkat ketelitian spesies sebagaimana dibutuhkan CITES dan asal usul kayu, misalnya apakah kayu tersebut berasal dari daerah tertentu atau kawasan hutan yang sudah diberikan izin. Teknik dan teknologi identifikasi kayu lainnya yang lebih inovatif membutuhkan alat, keahlian dan basis data masing-masing.

Untuk kebutuhan identifikasi spesies kayu yang masuk dalam apendiks CITES, analisis kimia kayu melalui alat Direct Analysis in Real-Time Time-Of-Flight Mass Spectrometry (DARTTOF-MS) dan analisis DNA merupakan teknologi terbaik dengan database terlengkap saat ini. Saat ini, WRI Indonesia bekerja sama dengan IPB University sedang berupaya memanfaatkan alat tersebut untuk identifikasi jenis kayu.

Pengambilan Sampel di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh oleh Tim Peneliti IPB dan WRI Indonesia
Gambar 2. Kegiatan pengambilan sampel kayu di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh oleh tim peneliti IPB dan WRI Indonesia (photo credit: Septika Sehite/WRI Indonesia)

Indonesia telah memiliki aturan nasional yang memadai untuk mengimplementasikan instrumen CITES sebagai salah satu upaya untuk melawan pembalakan liar. Namun demikian, upaya peningkatan dapat terus dilakukan guna mendeteksi kejahatan pemalsuan jenis dan asal-usul kayu yang masuk dalam Apendiks CITES untuk menghindari kewajiban hukum.

Teknologi identifikasi kayu memang sudah hadir untuk menjawab permasalahan tersebut.  Meski begitu, masih banyak pekerjaan besar yang harus dilakukan di Indonesia, seperti mencari pendanaan untuk investasi alat, pengembangan kapasitas riset, dan pengumpulan database kayu. Kerja sama dengan negara-negara maju importir kayu dan regional antarnegara anggota CITES dapat menjadi pilihan untuk mempercepat penerapan teknologi identifikasi kayu di Indonesia.