Pada tahun 2016, Indonesia mulai memberlakukan lisensi Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan di Bidang Kehutanan (FLEGT) untuk memverifikasi produk kayu yang diekspor ke Uni Eropa (UE). Melalui lisensi ini, dapat dipastikan seluruh kayu bersertifikat dari Indonesia yang memasuki pasar UE diperoleh dan diproses secara legal oleh pihak-pihak yang juga sah secara hukum. Meskipun FLEGT telah berhasil meningkatkan kredibilitas produk kayu Indonesia, masih banyak tantangan yang harus dihadapi. Salah satunya adalah penggelapan kayu, di mana kayu ilegal yang dicampur dengan kayu legal mendapatkan sertifikasi sebagai kayu legal. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan menyatakan kayu hutan alam sebagai kayu yang berasal dari hutan hak. Laporan dari Environmental Investigation Agency menunjukkan bahwa beberapa kayu yang diperdagangkan ke Tiongkok diklaim berasal dari Papua Nugini, padahal sebenarnya kayu-kayu ini berasal dari Papua. Praktik ini jelas melanggar prinsip-prinsip FLEGT, yang mewajibkan semua kayu asal Indonesia untuk mematuhi undang-undang negara terkait.

Membedakan kayu legal dan ilegal bisa dibilang cukup sulit, mengingat kemiripannya secara fisik. Menurut penelitian, kayu ilegal dan kayu legal sebenarnya dapat dibedakan dengan cara mengidentifikasi jenis dan asal kayu melalui teknik identifikasi kayu melalui anatomi kayu, analisis DNA, isotop stabil dan masih banyak lagi. Namun, dibutuhkan dana yang sangat besar dan tenaga ahli untuk membangun kemampuan teknis yang memadai untuk menerapkan teknologi ini.

Temuan awal kami dalam penelitian yang masih berjalan, dari berbagai teknologi identifikasi kayu, identifikasi anatomi kayu merupakan teknologi yang paling andal dan paling sering digunakan di Indonesia karena biayanya yang relatif rendah. Teknik ini dapat mengidentifikasi dan membedakan satu kayu dari kayu lainnya berdasarkan pengamatan beberapa karakteristik khusus, seperti diameter, ukuran cincin pohon, susunan sel dan masih banyak lagi. Selain itu, teknik ini juga dapat mengidentifikasi habitat pohon mengingat lingkungan juga mempengaruhi anatomi kayu. Sayangnya, teknik ini tidak dapat menelusuri asal kayu.

Teknik identifikasi DNA adalah teknologi kedua yang paling menjanjikan, meskipun cukup memakan waktu dan membutuhkan referensi data genetik yang kuat. Melalui teknik identifikasi DNA, variasi unik yang melekat dari sebuah kayu dapat diidentifikasi dan dianalisis untuk mendapatkan informasi jenis, asal dan lokasi tunggul atau pohon. Saat ini, para ahli kayu Indonesia di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Teknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (B2P2BPTH) dan Institut Pertanian Bogor sedang bereksperimen dan berusaha untuk merampungkan metode tersebut.

Teknik lain yang sedang dikembangkan adalah teknik Spektroskopi Inframerah Dekat (NIRS) yang mengkaji perbedaan senyawa kimia pada kayu untuk membedakan genus/ spesies dan asalnya. Meskipun masih dalam tahap awal pengembangan, teknik ini berpotensi untuk mengidentifikasi kayu. Akan tetapi, diperlukan referensi data yang kuat dan berbagai peralatan pendukung seperti spektrometer dan piranti lunak statistik yang lebih berkualitas untuk mengembangkan kemampuan teknisnya lebih lanjut. Dibandingkan dengan teknik identifikasi DNA dan anatomi kayu, NIRS memiliki potensi untuk mengidentifikasi kayu dengan lebih cepat dan lebih mudah selama referensi kayu yang tersedia cukup memadai.

Sejumlah temuan awal ini menunjukkan bahwa teknologi identifikasi kayu berpotensi untuk mengatasi penebangan liar. Oleh karena itu, sangat penting bagi pemerintah untuk berinvestasi pada pengembangan teknologi tersebut. Setidaknya ada tiga manfaat yang dapat dirasakan oleh pemerintah melalui investasi ini.

1. Mengetahui asal kayu dan jenisnya dapat memaksimalkan pendapatan negara dari sektor kehutanan

Dana Reboisasi (DR) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) merupakan dua sumber pajak terbesar dari sektor kehutanan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 12 tahun 2014, pemerintah mengenakan biaya berbeda untuk setiap jenis kayu berdasarkan kelas komersial kayu tersebut. Peraturan ini membedakan pungutan biaya untuk hutan alam di tiga area panen: Sumatera dan Sulawesi, Kalimantan dan Maluku serta Papua dan Nusa Tenggara. Pungutan PSDH juga berbeda antara hutan alam, perkebunan dan Perhutani (BUMN kehutanan). Dengan demikian, jika kita dapat membedakan jenis kayu dan melacak lokasi asalnya kita dapat memastikan bahwa setiap pemegang konsesi membayar jumlah pungutan yang sesuai dan menghindari potensi kehilangan pendapatan negara.

2. Teknologi identifikasi kayu meningkatkan integritas sertifikasi legalitas kayu

Integritas FLEGT semakin dipertanyakan karena adanya penggelapan kayu yang mengurangi jaminan legalitas dari sertifikasi. Masuknya kayu ilegal ke dalam rantai pasokan kayu legal sangat sulit dicegah jika uji kelayakan hanya bergantung pada dokumen sebagai bukti. Kesamaan pada tampilan fisik dua jenis kayu yang berbeda seringkali disalahgunakan untuk menyatakan satu spesies sebagai spesies lain dengan harga yang lebih tinggi. Akibatnya, semua informasi yang diberikan terkait kayu tersebut menyesatkan, termasuk status hukumnya. Dengan penggunaan teknologi identifikasi kayu dalam uji kelayakan kayu, kayu ilegal tidak dapat diklaim sebagai kayu legal, sehingga kredibilitas sertifikasi legal dapat dijaga. Dengan begitu, penebangan liar dapat dihindari dan pengelolaan hutan berkelanjutan dapat ditingkatkan.

3. Penggunaan teknologi identifikasi kayu memberikan dukungan ilmiah yang kuat dalam upaya penegakan hukum

Kemampuan teknologi identifikasi kayu untuk membongkar penebangan liar bukan omong kosong belaka. Pada kasus Lumber Liquidator contohnya, Environment Investigation Agency (EIA) memanfaatkan analisis isotop untuk membuktikan bahwa Lumber Liquidator secara sengaja mengimpor kayu yang dipanen di Timur Jauh Rusia (RFE), yang dianggap sebagai negara dengan risiko penebangan liar yang tinggi, dan mengakuinya sebagai kayu asal Jerman untuk menghindari ketentuan Undang-Undang Lacey AS. Dalam sistem hukum Indonesia, hasil identifikasi kayu harus dilengkapi dengan kesaksian ahli sebagai salah satu bukti yang dapat diterima untuk membuktikan pelanggaran penebangan liar.

Menyadari besarnya potensi teknologi identifikasi kayu untuk mengatasi penebangan liar dan mengoptimalkan pendapatan negara, pemerintah harus mengambil langkah awal, yaitu mengembangkan basis data kayu yang terdiri dari berbagai contoh kayu untuk meningkatkan kemampuan membedakan berbagai jenis kayu. Di Indonesia, data sampel yang cukup lengkap telah dikembangkan sejak tahun 1914 dalam Xylarium Bogoriense 1915. Di dalamnya, hampir 3.667 jenis kayu yang berasal dari hutan Indonesia telah diarsipkan. Koleksi ini adalah awal yang baik bagi pengembangan basis data lebih lanjut untuk mendukung teknik lainnya, seperti analisis DNA.

Setelah mengembangkan basis data, pemerintah perlu meningkatkan kemampuan teknis para peneliti kayu Indonesia dalam menggunakan teknologi identifikasi kayu agar bisa digunakan lebih luas. Masih banyak yang harus dilakukan untuk mencapai potensi tertinggi teknologi-teknologi ini, apalagi mengingat bahwa pengembangan dan penggunaannya membutuhkan investasi yang besar. Untuk itu, pemerintah perlu mencari dukungan masyarakat internasional (seperti Interpol, ITTO, UNODC, dll.) serta industri kayu. Pembasmian penggelapan kayu tidak hanya menguntungkan pemerintah, tetapi juga para pelaku industri dalam upaya mereka untuk meningkatkan daya saing produk mereka di pasar global serta kemampuan masyarakat internasional untuk memerangi penebangan liar.