Dari Petani untuk Masyarakat: Menuju Digitalisasi Rantai Pasok Beras di Bali
This article is currently only available in Indonesian.
Ketersediaan air yang terbatas dan hasil panen yang tak setimpal telah menjadi masalah rutin sebagian besar petani di Bali. “Tidak ada jaminan untuk pertanian, sering kali saat panen, harga turun. Debit air juga dalam lima tahun terakhir ini semakin menurun,” ungkap I Wayan Mustra, Pekaseh Subak Jatiluwih pada acara Focus Group Discussion (FGD) berjudul, “Inovasi Digital dalam Tata Kelola Beras, Mewujudkan Visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali” pada 30 Agustus lalu.
I Wayan Mustra tidak sendiri, beberapa Pekaseh--pemimpin Subak--yang hadir dalam acara yang digelar di Aula Pascasarjana, Universitas Udayana ini juga mengalami kondisi yang sama. “Sekarang kebanyakan hasil panen dibeli dengan harga yang jauh di bawah, kalau bisa kedepannya petani bisa mendapatkan subsidi hasil,” ucap I Putu Yoga Wibawa, Pekaseh Subak Kedisan dari Gianyar.
Selain itu petani di sekitar timur Bali rata-rata memiliki lahan garapan yang tidak sampai satu hektar, sehingga banyak yang harus mengambil pekerjaan di luar pertanian, seperti menjadi buruh bangunan. Kondisi ini tidak terlepas dari konversi lahan sawah yang semakin masif terjadi di Bali. Bahkan Menurut data Badan Pusat Statistik, produksi beras di Bali pada 2023 mencapai 379.869,53, menurun 1,03% dari tahun sebelumnya.
Konversi lahan untuk mendukung industri pariwisata tidak hanya mengambil areal persawahan, tetapi juga berdampak pada daerah resapan yang penting untuk pertanian di Bali. “Daerah resapan air sudah banyak yang beralih menjadi pendukung pariwisata. Ini bagian dari ancaman kelestarian alam kita,” ungkap Dr. Ida Bagus Made Sutresna, Kepala Bidang Perekonomian dan Sumber Daya Alam dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Bali.
Ir. I Made Oka Parwata, M.MA., dari Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali juga menyatakan, “di daerah resapan air masih ada pengembangan villa [akomodasi pariwisata], harusnya daerah tangkapan air tidak dirusak, sehingga perlu ada kebijakan dan komitmen dari pimpinan wilayah.”
Bagus Sutresna dari Bappeda pun menambahkan bahwa ada kesenjangan antar sektor, khususnya sektor pariwisata yang mencapai 17% dengan pertanian 12%.
Di tengah kondisi yang tidak menentu, semangat untuk beralih menuju pertanian yang lebih ramah lingkungan masih dirawat para petani Bali. “Untuk di kelompok kami, sudah ada 4 hektar yang menjadi organik. Namun harga gabah organik dan konvensional masih sama. Lantas bagaimana apresiasi kepada kami sebagai petani organik. Memang biaya pengelolaan bisa ditekan, tapi ada waktu ekstra yang kami upayakan,” ungkap I Gede Pasek Astika, Kelian Tempek dari Subak Selumbung, Karangasem.
Meskipun produksinya masih terbatas, namun beras organik yang dihasilkan petani organik di Subak Selumbung dapat dikonsumsi petani dan keluarganya. Dalam paparannya juga, Pasek Astika mengungkapkan, “ketika bicara pertanian organik, dari hulu-hilir harus diselaraskan.”
Mendorong Pertanian Ramah Lingkungan di Bali
Pertanian organik telah menjadi salah satu agenda penting dalam transformasi sistem pangan di Bali. Ini tercermin dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2019 tentang Sistem Pertanian Organik dan Peraturan Gubernur Provinsi Bali Nomor 99 Tahun 2018 tentang Pemasaran, Pemanfaatan Produk Pertanian, Perikanan dan Industri Lokal Bali, serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Bali.
Meskipun kebijakan untuk mendorong pertanain organik telah diterbitkan, namun sampai saat ini petani masih menghadapi berbagai kendala, khususnya terkait alat produksi dan pasar. “Kami pernah mengajukan Alsintan [Alat dan Mesin Pertanian], tidak seperti harapan kami, jadi agak susah mendapatkan hal itu. Harapan kedepan bagi petani organik diprioritaskan, artinya program pemerintah itu betul-betul dijalankan,” kata Pasek Astika, Kelian Tempek Subak Selumbung.
Dalam Peta Jalan Transformasi Ekonomi Kerthi Bali telah memfokuskan pada modernisasi pertanian dan peningkatan infrastruktur digital untuk mendukung pertanian organik. Untuk mendukung rencana ini, WRI Indonesia melalui program “Solusi Digital untuk Meningkatkan Tata Kelola Rantai Pasok Beras di Bali” hadir sebagai upaya mengatasi tantangan ketersediaan beras berkualitas di Bali.
Langkah Awal Digitalisasi Rantai Pasok Beras di Bali
Mengawali upaya transformasi rantai pasok beras di Bali, WRI Indonesia bersama Fakultas Pertanian Universitas Udayana dan Commonwealth Scientific and Industrial Research (CSIRO) melakukan inception workshop untuk mendiskusikan rencana kerja dan implementasinya di Bali. Kegiatan yang berlangsung pada 29 September 2024 ini memfokuskan pada rancangan penelitian dan penyelarasan tujuan bersama untuk menanggapi permasalahan ketersediaan dan distribusi beras di Bali. Selain pengembangan platform digital, akan dilakukan analisis kebijakan sebagai pedoman rekomendasi kepada pemerintah dalam menyusun kebijakan terkait rantai pasok beras di Bali. \
Rancangan program tidak hanya berangkat dari mitra WRI Indonesia, tapi juga pemangku kepentingan lainnya, seperti Pekaseh Subak dan dinas-dinas terkait. Untuk itu, pada 30 Agustus lalu, WRI Indonesia mengundang Pekaseh atau Kelian dari beberapa Subak di Bali—Subak Kedisan, Subak Abasan Pasedehan Agung, Subak Jatiluwih, dan Subak Selumbung—kemudian dinas terkait, seperti Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistik, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan, dan Bulog Provinsi Bali. Pertemuan ini juga sebagai wadah bagi Pekaseh dan pemerintah untuk berdialog terkait kondisi pertanian dan sistem pangan di Bali.
“Harapan kami kedepannya ada sinergitas antara desa, kabupaten, dan provinsi, untuk mendukung pertanian organik ini,” ungkap Pasek Astika.