“Sudah cukup kami berduka dengan kejadian 2005. Jangan diulangi lagi.”

Abah Widi melontarkan dua kalimat itu dengan pasrah saat mendengar wacana bahwa kampungnya akan kembali dijadikan sebagai tempat pembuangan sampah. Sebagai kepala adat untuk kampung yang dua dekade lalu menjadi korban paling parah dari longsor Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah, jawaban Abah Widi tentu masuk akal.

Dua dekade terlewati, roda kehidupan terus berputar, namun trauma dan ketakutan masih ada di benak warga Kampung Cireundeu, Desa Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat.

21 Februari, 20 tahun lalu, dini hari saat semua orang masih terlelap, TPA Leuwigajah setinggi puluhan meter longsor, menenggelamkan dua kampung dan menelan korban hingga 157 orang. Peristiwa di tahun 2005 tersebut adalah yang longsor ketiga yang terjadi—setelah tahun 1993 dan 1994—sejak pertama kali beroperasi pada 1980 dengan sistem pembuangan terbuka (open dumping). Kejadian hari itu menjadi salah satu peristiwa yang paling disorot sepanjang dua dekade terakhir saat bicara soal pengelolaan sampah di negeri ini, hingga dijadikan sebagai peringatan Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN).

Saat ini, lahan luas bekas TPA Leuwigajah terlihat rimbun, penuh rerumputan dan tanaman produktif yang digarap oleh warga. Belakangan, Pemerintah Kota Cimahi akan menjadikan lahan tersebut sebagai wilayah konservasi adat, budaya, dan lingkungan. Bambu disebut akan jadi varietas utama yang akan ditanam. Pengelolaan sampah juga akan disesuaikan dengan karakteristik masing-masing wilayah. Semua akan dimulai pada 2026.

Dari Darat Turun ke Laut: Dikepung Sampah Plastik

Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup, Hanif Faisol, menjadikan tragedi TPA Leuwigajah dua dekade silam sebagai bahan pembelajaran penting dalam momentum HPSN tahun ini. Pengelolaan sampah masih menjadi tantangan besar di Indonesia.

Data resmi pemerintah menunjukkan sekitar 12,9 juta ton1 dari total 32 juta ton sampah yang dihasilkan di 2024 tak terkelola dengan baik. Dari angka tersebut, sekitar 5,5 juta ton (19,78%) adalah sampah plastik. Masalahnya lagi, sampah yang tak terkelola ini kerap tetap berada di lingkungan dan berakhir di lautan. Hasil penelitian dari Pusat Riset Oseanografi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menemukan sekitar 350 ribu ton sampah plastik telah bocor ke laut pada 2024 lalu.

Senada dengan angka di atas, sejumlah riset dan data mengkonfirmasi bahwa sebagian besar sampah plastik di level daerah juga tak terkelola dengan baik dan bocor ke lingkungan dengan tingkat daur ulang yang masih sangat rendah, misalnya di Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara—dua wilayah yang juga merupakan area riset World Resources Institute (WRI) Indonesia. Di Sumbawa, besaran sampah plastik yang bocor ke lingkungan mencapai 49,91%, sedangkan di Minahasa Utara besarannya mencapai 53,09%. Tak hanya itu, di Minahasa Utara, tingkat daur ulang juga hanya sebesar 4%2 dan di Sumbawa sebesar 1,69%—jauh di bawah tingkat daur ulang nasional yang mencapai 10-12%.

Estimasi Besaran Aliran Kebocoran Sampah Plastik di Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Minahasa Utara

Sampah plastik yang bocor ke lingkungan ini tentu bukan kabar baik. Masih dalam riset WRI Indonesia yang sama, di Kabupaten Sumbawa, ada temuan bahwa aliran sampah plastik ke lingkungan adalah salah satu sumber pencemaran yang sulit diatasi. Sedangkan di Kabupaten Minahasa Utara, ada temuan bahwa sampah plastik yang bocor ke laut menumpuk di sekitar akar bakau dan menutupi terumbu karang. Jika dibiarkan terus-menerus, kematian ekosistem bakau dan terumbu karang hanya tinggal menunggu waktu dan kerusakan lingkungan makin sulit ditangani.

Di sisi lain, tercemarnya laut karena sampah plastik juga merugikan sektor ekonomi masyarakat pesisir. Nelayan semakin sulit menggantungkan hidup dari laut karena sampah plastik membuat jumlah tangkapan semakin berkurang secara kuantitas dan kualitas. Keberadaan sampah plastik di laut sangat rentan tersangkut pada baling-baling kapal, atau perahu milik nelayan, dan akhirnya kerap merusak mesin. Sebuah penelitian menunjukkan adanya dampak sampah plastik laut terhadap nelayan skala kecil (0 GT) yang menyebabkan peningkatan biaya operasional sebesar 69,5%, serta penurunan pendapatan nelayan hingga 38%. Kualitas tangkapan juga menurun akibat mikroplastik yang kerap memiliki warna serupa dengan plankton membuat ikan dan cetacea3 tanpa sadar mengonsumsinya.

Semua masalah tersebut belum termasuk impor sampah plastik yang selama ini dilakukan. Selama satu dekade terakhir, impor plastik meningkat drastis dari negara-negara seperti Amerika Serikat, Australia, Uni Eropa, hingga Cina. Belakangan, pemerintahan baru berencana ingin menyetop kebijakan itu.

Potensi sampah plastik yang semakin mencemari perairan laut bisa meningkat hampir tiga kali lipat pada 2040 mendatang, jika masalah ini tidak ditangani dengan komprehensif. Data United Nations Environment Programme (UNEP) menunjukkan, polusi plastik global yang pada 2016 mencapai 9-14 juta ton akan berlipat ganda menjadi 23-27 juta ton pada 15 tahun mendatang.

Untuk mengatasi masalah sampah plastik ini, ada inisiatif di tingkat global untuk menyusun instrumen hukum internasional yang mengikat, termasuk di sektor biodiversitas laut. Pada 2024 lalu, Intergovernmental Negotiating Committee (INC) bentukan UNEP melakukan negosiasi antar negara-negara anggota untuk merumuskan perjanjian internasional yang mengikat guna mengurangi polusi plastik. Pertemuan kelima di Busan, Korea Selatan, itu belum menemukan titik temu perbedaan pandangan antarnegara mengenai pembatasan produksi plastik dan pengurangan sampah laut.

Salah satu titik wilayah Tempat Pengolahan Akhir (TPA) Airmadidi, yang merupakan salah satu TPA terluas Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara, pada 9 Januari 2025.

Kembali ke Darat: Saatnya Menutup Open Dumping

Sulit untuk tidak menyebut masalah pengelolaan sampah yang buruk berdampak langsung ke kesehatan manusia. Ketika sampah plastik di laut berevolusi menjadi mikroplastik, cepat atau lambat mereka akan hadir di meja makan kita—salah satunya dari ikan laut yang kita konsumsi. Studi terbaru bahkan menemukan mikroplastik sudah ada di darah dan feses manusia.

Ambisi pemerintah untuk fokus dalam membangun sumber daya manusia akan menemukan jalan yang terjal, jika ternyata bahan pangan yang dikonsumsi terkontaminasi mikroplastik yang rentan mengganggu kognitif otak. Dengan masalah ini, masa depan anak-anak dan generasi muda Indonesia justru terancam.

Pada 10 Maret lalu, Kementerian Lingkungan Hidup akhirnya mengambil langkah yang cukup signifikan: menutup paksa praktik open dumping di ratusan TPA se-Indonesia. Mereka sendiri mengakui, kendati pelarangan praktik open dumping sudah ada sejak Undang-Undang No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, namun nyatanya belasan tahun prosesnya jalan di tempat.

Untuk 343 TPA yang ada di Indonesia, pemerintah akan memakai dua metode: menghentikan open dumping dan menghentikan operasional TPA. Yang pertama, penutupan open dumping dilakukan di TPA yang masih memiliki area luas untuk dilakukan kegiatan pengolahan sampah lainnya. Sedangkan yang kedua, penutupan TPA yang tak memiliki lahan, kelebihan kapasitas sampah, dan terbukti melakukan pencemaran yang serius. Kebijakan ini akan berlaku secara bertahap, seperti penyusunan rencana rehabilitas, penyusunan zona baru untuk sanitary landfill, pelaksanaan rehabilitasi, hingga penghentian total, dalam rentang waktu 4-6 bulan.

Tak hanya itu, pemerintah juga akhirnya membentuk Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Sampah Nasional, yang rencananya akan berfokus pada penerapan teknologi dan penguatan infrastruktur dalam menangani sampah dari hulu hingga hilir, serta sosialisasi secara masif.

Namun, tentu saja langkah ini tak bisa dikerjakan sendirian oleh pemerintah. Perlu ada sejumlah langkah strategis yang kolaboratif dari semua pihak—pemangku kebijakan lainnya, masyarakat sipil, akademisi, wadah pemikir, komunitas lokal, dan juga pihak swasta—untuk bisa memastikan penanganan sampah bisa secara kontinuitas efektif hingga kesehatan manusia kembali pulih serta lingkungan hidup kembali lestari.[]

1 Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN). (2025).

2 Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN). (2025).

3 Klasifikasi ilmiah untuk beberapa hewan yang termasuk mamalia laut, seperti paus, lumba-lumba, dan pesut.