Memperkuat Posisi Masyarakat Adat di Papua dengan Kejelasan Proses Perizinan dalam sektor Kehutanan
Data Global Forest Watch (GFW) menunjukkan bahwa Tanah Papua, yang terdiri dari enam provinsi di wilayah Pulau Papua bagian Indonesia, memiliki luas hutan alami sekitar 34,48 juta hektare pada 2020. Wilayah ini merupakan bentang hutan alami utuh terluas di Indonesia, dengan jumlah tutupan hutan mencakup 84% dari keseluruhan luas daratannya. Namun, tutupan hutan di Tanah Papua terancam mengalami deforestasi karena perluasan wilayah perkebunan dan penebangan kayu ilegal. Berdasarkan data GFW sejak 1992 hingga 2022, Tanah Papua telah kehilangan tutupan hutan primer sekitar 687 ribu hektare.


Catatan: Batas administrasi menggunakan batas Provinsi Papua dan Papua Barat.
Hutan memiliki potensi ekonomi yang sangat besar jika dijaga kelestariannya. Setidaknya, ada tiga hal yang mendasari ini. Pertama, hutan berperan sebagai sumber pendapatan masyarakat. Valuasi ekonomi hutan di Indonesia menemukan bahwa hutan di kita setidaknya menyumbangkan 14 miliar USD, hanya dari industri kayu saja (UNORCID & UNEP, 2015). Selain kayu, terdapat juga potensi hasil hutan bukan kayu (HHBK) seperti tanaman obat, dengan perkiraan nilai ekonomi mencapai lebih dari 1 miliar USD.
Kedua, hutan menyimpan potensi fiskal. Potensi ini dihitung berdasarkan estimasi kerugian pajak karena aktivitas penebangan kayu tidak berizin. Sebagai contoh, pada tahun 2003-2014 pemerintah memungut Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp31 triliun dari Dana Reboisasi (DR) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), namun berdasarkan pemodelan berdasarkan potensi yang seharusnya dapat diterima pemerintah seharusnya dapat memungut penerimaan total sebesar Rp93,9 –118 triliun (KPK, 2015).
Ketiga, nilai ekonomi hutan terkait dengan peran hutan sebagai sumber pangan bagi masyarakat, terutama bagi masyarakat yang hidup dari hasil hutan, yang tinggal di dalam dan sekitar hutan. Hutan dapat menyediakan manfaat langsung berupa pangan yang dapat memenuhi kebutuhan nutrisi dari sayuran, buah, kacang-kacangan maupun sumber protein untuk memenuhi kebutuhan nutrisi seseorang (Ickowitz, 2020).
Hutan juga berkaitan erat dengan pengentasan kemiskinan karena dapat berfungsi sebagai jaring pengaman untuk membantu kehidupan masyarakat miskin dan berpotensi mendukung penurunan angka kemiskinan masyarakat desa (Sunderlin, Angelsen and Winder, 2003). Karena itu, hutan yang terjaga dan lestari juga mendukung pemenuhan kebutuhan masyarakat adat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan.
Masyarakat Adat dan Perannya dalam Proses Perizinan Pemanfaatan Hutan di Wilayah Papua
Berdasarkan data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), sebagian besar Tanah Papua adalah wilayah adat dan/atau dikelola oleh masyarakat adat. Data tahun 2024 menunjukkan bahwa Tanah Papua memiliki sekitar 13,4 juta hektare wilayah adat, dan 92% di antaranya, atau seluas 12,35 juta hektare, berpotensi menjadi hutan adat. Hal ini membuat pemanfaatan dan pengelolaan hutan di Tanah Papua memerlukan pelibatan masyarakat adat.
Pada tahun 2020, Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) disahkan untuk mempermudah kegiatan berusaha, termasuk mengubah proses Perizinan Berusahan Pemanfaatan Hutan (PBPH). Dengan adanya UUCK, hampir seluruh proses perizinan kehutanan dapat dilakukan secara daring dan hampir seluruh prosesnya dikelola oleh pemerintah pusat.
UUCK juga telah mengatur peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam proses perizinan PBPH. Peran penting pemerintah daerah dalam tahapan proses perizinan PBPH adalah pada mendapatkan surat Rekomendasi Gubernur.

Salah satu syarat penting penerbitan Rekomendasi Gubernur di Tanah Papua adalah mendapatkan persetujuan masyarakat adat. Hal ini sangat erat kaitannya dengan kondisi penguasaan lahan Tanah Papua yang hampir seluruhnya dikelola oleh masyarakat adat. Pemanfaatan lahan untuk perkebunan tanpa pelibatan masyarakat adat dapat meningkatkan risiko konflik terkait lahan.
Berdasarkan wawancara WRI Indonesia dengan pemerintah daerah Tanah Papua dan perusahaan, persetujuan masyarakat adat harus diserahkan sebagai bagian syarat perizinan PBPH. Namun, proses ini seringkali dilakukan langsung antara perusahaan dan masyarakat. Hal ini disebabkan belum adanya peraturan resmi yang mengatur mengenai cara mendapatkan persetujuan masyarakat adat. Padahal, aturan ini sangat penting untuk memastikan masyarakat adat mendapatkan kompensasi sesuai dengan nilai keekonomian dari hutan di sekitar mereka.
Saat ini, Provinsi Papua telah menetapkan aturan terkait standar kompensasi hasil hutan. Akan tetapi, peraturan tersebut hanya diberlakukan untuk beberapa jenis kayu komersial dengan nilai tinggi. Belum ada peraturan yang mengatur perhitungan biaya kompensasi sumber daya alam lain yang ada di hutan, seperti jasa lingkungan dan hasil hutan bukan kayu.
Belum adanya aturan yang berlaku berimbas pada belum adanya dinas yang bertanggung jawab langsung untuk mendampingi proses tersebut. Alhasil, pihak swasta jarang melibatkan pemerintah dalam prosesnya. Hal ini berisiko memperparah konflik agraria antara masyarakat adat, swasta, dan pemerintah.
Memformalkan Peran Masyarakat Adat pada Proses Penerbitan Rekomendasi Gubernur

Adanya kejelasan mengenai proses pengajuan persetujuan dari masyarakat adat sangatlah penting bagi Tanah Papua yang sebagian besar lahan dan hutannya berada di wilayah ulayat. Walaupun tahapan tersebut telah menjadi salah satu syarat dalam proses perizinan PBPH, masih ada beberapa hal yang perlu diperkuat:
- Proses mendapatkan persetujuan masyarakat adat dapat dikemas dalam bentuk peraturan provinsi sehingga bisa menjadi acuan bagi pemerintah daerah terkait. Peraturan tersebut juga dapat mengoptimalisasi peran Gugus Tugas Masyarakat Adat (GTMA) dalam penerbitan persetujuan masyarakat adat.
- Proses mendapatkan persetujuan masyarakat adat perlu menerapkan prinsip Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA) untuk memastikan pelibatan seluruh masyarakat adat.
- Memperkuat pengetahuan masyarakat adat dan pemerintah daerah terkait cara menghitung nilai ekonomi sumber daya alam.
- Proses mendapatkan persetujuan masyarakat adat untuk perizinan pemanfaatan hutan dan lahan perlu melibatkan lembaga masyarakat adat yang dapat berperan dalam memfasilitasi komunikasi antara perusahaan dan masyarakat adat. Maka dari itu, lembaga masyarakat adat juga perlu diperkuat dalam memahami proses perizinan masyarakat adat.