Jakarta, 30 November 2023 – Koalisi Sistem Pangan Lestari (KSPL) bersama dua mitranya, yakni Garda Pangan dan Parongpong RAW Lab menyusun panduan perhitungan FLW bagi ritel dan petani swadaya dalam menjawab urgensi mengurangi susut dan limbah pangan. Panduan yang disusun ini mengadopsi perhitungan FLW internasional untuk mengukur food loss 15 komoditas hortikultura di Kota Batu, Jawa Timur. Hasil pengukuran food loss ini kemudian dipaparkan dalam Focus Group Discussion (FGD) di Hotel Aston Inn, Kota Batu, pada Kamis (30/11).

Melalui kegiatan Focus Group Discussion, KSPL memaparkan hasil pengukuran serta mengundang petani dan instansi pemerintah terkait untuk memberi masukan dan saran. Masukan dan saran tersebut kemudian digunakan untuk melengkapi Panduan Pengukuran Food Loss pada Petani yang akan dihasilkan.

Budi Widodo dari Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Kabupaten Malang mengatakan  “Saat ini belum ada yang menyebutkan kehilangan pangan di komoditas. Yang ada hanya prediksi produksi yang biasanya diambil dari pertanyaan sampel. [Jumlah] kehilangan mungkin hanya sebatas estimasi dari sampel penggunaan teknologi.”

Budi menambahkan, “[Panduan perhitungan] ini penting karena berhubungan dengan cadangan pangan.”

FGD food loss
Sesi foto bersama perwakilan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Batu, Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kota Malang, Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Kabupaten Malang, dan Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Malang. (Kredit Foto: Rhea Laras/Parongpong)

Sesi foto bersama perwakilan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Batu, Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kota Malang, Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Kabupaten Malang, dan Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Malang. (Foto/Rhea Laras)

Data kuantitatif yang minim seringkali menjadi tantangan bagi pemerintah untuk menganalisis penyebab dan menyusun langkah untuk merespon susut pangan di tingkat petani. Karenanya, Panduan Perhitungan Food Loss disambut baik untuk membantu petani mengurangi kehilangan produksi.

“Masih diperlukan banyak kajian untuk menghitung keseluruhan [food loss] di kota Batu dan kota lainnya, karena faktornya bukan hanya produksi atau tanah, misalnya social culture. Panduan ini sangat berguna bagi kami untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat untuk menekan food loss,”  ujar Tjutjuk Hardiyanto dari Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kota Malang.

Sementara itu, Sri Wahyuni dari Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Batu menambahkan, “Limbah food loss yang dapat [digunakan] untuk inovasi belum banyak [dilakukan] sehingga harus dilakukan lagi sosialisasi kepada petani. Food Loss di tingkat petani atau lahan, masalah waktu panen, seberapa banyak kehilangan hasil dan sebagainya [memerlukan] teknologi dan kolaborasi dari stakeholder untuk memikirkan hal ini.”

Kegiatan tersebut turut dihadiri oleh petani-petani hortikultura yang turut berpartisipasi melalui sesi group discussion untuk memperkaya informasi pada Panduan Pengukuran Food Loss pada Petani yang akan dihasilkan. Selain faktor yang telah diungkapkan dalam sesi bersama instansi pemerintah, ternyata terdapat beberapa faktor lain yang menyebabkan food loss di tingkat panen dan penanggulangannya selama ini.

FGD food loss
Sesi group discussion yang diikuti perwakilan petani hortikultura Kota Batu dan dihadiri perwakilan pemerintah. Kredit foto: Rhea Laras/Parongpong

“Pada realitanya, food loss telah banyak kami salurkan ke panti dan pondok [pesantren]. Sebenarnya, kalau mau mengurangi  kelebihan panen, harusnya dijual ke luar daerah atau bahkan luar negeri. Namun, ternyata petani tidak mampu melampaui standar kualitas yang diberikan,” ujar Heru Sutomo, seorang petani sayuran dari Desa Dadaprejo

Perwakilan petani juga dibagi ke dalam kelompok-kelompok diskusi untuk menemukan faktor lain penyebab food loss. Dari hasil diskusi yang kemudian dipresentasikan, ditemukan bahwa faktor terbesar penyebab food loss adalah harga. Faktor berikutnya antara lain minimnya pengetahuan tentang komoditas baru, kehadiran produk impor, kesepakatan harga dengan pengepul, gagal panen, serta masih rendahnya inovasi terhadap hasil pertanian yang tidak memenuhi standar pasar.

“Harus diakui bahwa hasil impor luar daerah sangat mempengaruhi. Contohnya, wortel dari Berastagi dan bawang prei dari Wonosobo. Sehingga, petani [di daerah sendiri] banyak menghasilkan food loss,” komentar Didik, petani sayuran dari Desa Sumbergondo.


Sekilas tentang Koalisi Sistem Pangan Lestari

Koalisi Sistem Pangan Lestari (KSPL), bagian dari Food and Land Use Coalition (FOLU), adalah komunitas global pembuat perubahan yang bekerja bersama para mitra guna mentransformasikan sistem pangan dan tata guna lahan dunia melalui penyusunan solusi berbasis sains dan aksi kolektif yang ambisius. WRI Indonesia berperan sebagai sekretariat di Indonesia.

www.foodandlandusecoalition.org/country/indonesia/ | https://instagram.com/sistempanganlestari 

Kontak:
Sakinah Ummu Haniy, Communications Lead untuk Koalisi Sistem Pangan Lestari, Sakinah.Haniy@wri.org, +62 813 8343 5507