Dalam pengelolaan sawit berkelanjutan, penggunaan bahan kimia sebagai upaya  pengendali hama perlahan mulai mengalami pergeseran. Selain karena dampak yang ditinggalkan kurang bersahabat pada ekosistem, terdapat beberapa alternatif yang bisa menjadi pilihan lebih bijak bagi para petani kelapa sawit, salah satunya adalah melalui pemanfaatan beneficial plant.  

Secara umum beneficial plant atau tanaman berguna dilakukan melalui budi daya tanaman inang tempat berkembang biak bagi predator alami hama penyakit tanaman. Keberadaan beneficial plant diyakini akan mendatangkan predator alami dan agen hayati yang dapat mengendalikan perkembang biakan hama sehingga prosesnya dilakukan tanpa menggunakan pestisida atau zat kimia berbahaya yang dapat menganggu keanekaragaman hayati, menjaga keberlanjutan di area perkebunan dengan tetap menjaga rantai makanan alami dalam ekosistem. 

Upaya tersebut dilakukan oleh World Resources Institute (WRI) Indonesia dalam program Smallholder Hub, sebuah wadah peningkatan kapasitas petani sawit swadaya yang diinisiasi oleh Unilever. Sejak 2016, WRI Indonesia telah melakukan pendampingan untuk meningkatkan kapasitas para petani di berbagai daerah di Provinsi Riau, mulai dari Kampar, Rokan Hulu, Siak, hingga Pelalawan, sebagai salah satu upaya mendorong praktik budi daya sawit yang lebih berkelanjutan.  

 

Fenomena Serangan Hama di Kampar 

Pada tahun 2023 lalu terjadi ledakan hama di perkebunan Koperasi Produsen Hasrat Jaya Pagaruyung yang berlokasi di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Setidaknya 500 hektare lahan perkebunan yang dikelola oleh petani swadaya mengalami serangan hama ulat kantong yang cukup tinggi. 

“Sekitar bulan Oktober 2023, ketika tim Agronomi WRI Indonesia untuk pertama kalinya mendampingi para petani di KUD Hasrat Jaya, diketahui serangan hama ulat kantong telah menyebar. Kondisi ini diperburuk dengan temuan di lapangan yang menunjukkan bahwa para petani menggunakan bahan insektisida berdosis tinggi sebagai pengendali hama secara otodidak. Seperti diketahui, praktik ini tidak sejalan dengan kaidah sawit berkelanjutan,” ungkap Agronom WRI Indonesia di Kabupaten Kampar Provinsi Riau, Eko Prasetyo. 

Menurut Eko, meskipun petani telah menggunakan bahan kimia pengendali hama dalam dosis yang cukup tinggi, ternyata upaya tersebut tidak membuahkan hasil. Hal ini dikarenakan para petani belum mempergunakan insektisida secara efektif dan efisien, baik itu dari sisi tata cara penyemprotan, komposisi percampuran, hingga dosis takaran yang sesuai dengan kebutuhan. Minimnya pengetahuan menjadi salah satu alasan mengapa kondisi tersebut terjadi. 

“Mungkin para petani beranggapan, semakin banyak racun yang digunakan, maka akan lebih cepat mematikan hama. Namun sebenarnya, ada hal mendasar yang terlewatkan dalam proses ini. Seperti mempertimbangkan siklus dari hama itu sendiri,” sambungnya. 

Agronom WRI Indonesia, Eko Prasetyo mendampingi Group Manager ICS Koperasi Produsen Hasrat Jaya Pagaruyung melakukan sensus di area perkebunan. Kredit foto: WRI Indonesia
Agronom WRI Indonesia, Eko Prasetyo mendampingi Group Manager ICS Koperasi Produsen Hasrat Jaya Pagaruyung melakukan sensus di area perkebunan. Kredit foto: WRI Indonesia

Dalam upaya mengendalikan hama penyakit tanaman, siklus pengendalian hama memegang peran penting. Hanya jika kita mengetahui dimanakah posisi siklus hama saat ini, maka dapat dibuat sebuah rekomendasi yang tepat.

Eko menjelaskan bahwa pada saat dirinya pertama kali ditugaskan mendampingi petani di KUD Hasrat Jaya, fase ulat kantong telah memasuki tahapan ulat besar atau imago, yakni fase tidur (kepompong) dari ulat tersebut. Proses pengendalian hama pada fase kepompong yang dilakukan dengan menyemprotkan racun pada daun—yang merupakan sumber pangan dari hama ulat—tidak akan berhasil, karena pada tahap tersebut, ulat tidak bergerak mencari makan. Hal ini terbukti, penggunaan insektisida dengan cara menyemprot daun kelapa sawit di Hasrat Jaya tidak berjalan efektif pada saat itu.

Berbekal pengalaman tersebut, tim Agronom WRI Indonesia merekomendasikan untuk melakukan sensus dengan pengambilan sampel pada 5 persen dari total luasan lahan secara acak untuk mengetahui kondisi saat ini dari perkembangan hama ulat. Setidaknya ada 20 blok di perkebunan KUD Hasrat Jaya yang dijadikan objek penelitian. Tahapan sensus dimulai dengan mendatangi setiap pokok di masing-masing blok yang sebelumnya telah ditetapkan sebagai lokasi pengambilan sampling. Selanjutnya, para surveyor yang terdiri dari agronom WRI Indonesia dan anggota KUD Hasrat Jaya menghitung jumlah ulat yang berada di setiap pokok sekaligus mencatat posisi ulat sedang berada pada fase apa.

Pada bulan November 2023, hasil sampling memperlihatkan bahwa hama ulat sedang berada dalam fase tidur menuju imago, sehingga tim merekomendasikan untuk menghentikan penggunaan insektisida karena dinilai tidak akan berjalan dengan baik. “Dari situ, kami memutuskan untuk menghentikan sementara proses pengendalian hama selama 3 bulan, baru kemudian dilakukan evaluasi lagi untuk memberikan rekomendasi terkait upaya pengendalian yang akan diberikan berdasarkan hasil evaluasi kondisi terbaru hama ulat di perkebunan,” sambung Eko.

Selain rekomendasi untuk mengurangi penggunaan insektisida beracun, petani Koperasi Hasrat Jaya Pagaruyung mulai diperkenalkan dengan budi daya tanaman inang predator alami hama ulat yaitu tanaman bunga pukul sembilan dan juga bunga air mata pengantin yang merupakan inang dari predator hama ulat kelapa sawit.

Agronom WRI Indonesia, Eko Prasetyo, sedang melakukan observasi budi daya bunga air mata. Kredit foto: WRI Indonesia
Agronom WRI Indonesia, Eko Prasetyo, sedang melakukan observasi budi daya bunga air mata. Kredit foto: WRI Indonesia

Dalam rantai makanan, hama ulat pemakan daun sawit memiliki pemangsa alami yang seharusnya bisa ditemukan juga di sekitar perkebunan. Sayangnya, keterbatasan pengetahuan dari para petani terutama dalam upaya pengendalian hama menyebabkan hilangnya kelompok predator ini dari rantai makanan.

“Ada imbauan untuk tidak melakukan semprot total pada lahan gulma di area perkebunan karena akan menyebabkan ulat kehilangan tanaman sebagai sumber pangan. Sebagai gantinya, ulat akan naik ke atas pohon dan memakan daun kelapa sawit,” pungkas Eko.

Pendampingan lewat Program Smallholder Hub. Foto (Tim Smallholder Hub WRI Indonesia) : Project Lead Smallholder Hub WRI Indonesia, Ahmad Zuhdi, tengah melakukan diskusi dengan petani swadaya
Pendampingan lewat Program Smallholder Hub. Foto (Tim Smallholder Hub WRI Indonesia) : Project Lead Smallholder Hub WRI Indonesia, Ahmad Zuhdi, tengah melakukan diskusi dengan petani swadaya

Melalui program Smallholder Hub, WRI Indonesia dengan dukungan Unilever berkomitmen untuk meningkatkan pemahaman petani, salah satunya terkait upaya pengendalian hama yang lebih ramah lingkungan. “Ada beberapa modul pelatihan yang telah kami siapkan. Modul pertama mencakup best management practice, yang salah satunya membekali petani binaan WRI dengan pengetahuan tentang pemanfaatan beneficial plant sebagai salah satu cara untuk mengendalikan hama secara alami,” ungkap Project Lead Smallholder Hub WRI Indonesia, Ahmad Zuhdi.

Meskipun pengendalian hama ulat melalui budi daya beneficial plant bukan merupakan hal baru di industri kelapa sawit dan telah menjadi salah satu aspek yang harus dipenuhi dalam menerapkan kaidah sawit berkelanjutan, faktanya masih banyak petani yang awam dengan hal tersebut, termasuk para petani di KUD Hasrat Jaya.

Akhirnya, bukanlah keengganan melainkan ketidaktahuan yang menjadikan para petani menjadi “tidak berdaya” menghadapi tantangan pembangunan sawit berkelanjutan. Program Smallholder Hub diharapkan dapat menjadi wadah bagi pemberdayaan petani sawit swadaya dengan membawa harapan untuk mewariskan sawit berkelanjutan kepada generasi di masa mendatang.